...
Matahari sedang mengintip di balik jendela kaca, hiruk-pikuk manusia sudah mulai terasa. Orang-orang berlalu-lalang untuk pergi bekerja. Mungkin, ada juga yang pergi untuk berbelanja. Ini adalah rutinitas yang biasa ia lihat setiap paginya. Harum semerbak bunga mulai tercium di pinggir jalan. Lelaki itu bersenandung kecil sambil menata bunga ke dalam keranjang kayu.
"Sudah, Vi?"
"Sudah, bu. Aku mau satu, ya?" Ucap sang lelaki sembari mengambil satu tangkai bunga mawar dan diakhiri dengan cengiran khasnya.
"Ambil saja, Vi. Sudah kebiasaanmu. Tidak perlu minta izin."
Vittorio Kim. Lelaki muda berparas rupawan, badannya tinggi semampai, dengan pribadi yang cukup pendiam. Dia datang dari kota kecil di Italia. Ditinggal sang ibu tercinta sejak beberapa tahun yang lalu. Ayahnya? Entah ke mana. Ayahnya menghilang bak ditelan bumi semenjak ibunya diperkosa dan dibunuh oleh preman kelas rendahan di kota tersebut.
Vitto telah membenci ayahnya dan kota di mana ia dibesarkan. Dia ingin melupakan semuanya, terutama saat peristiwa naas yang menimpa sang ibu. Ia menyaksikan semuanya. Vitto kecil menyaksikan bagaimana ibunya diperkosa lalu dihabisi oleh para lelaki tak punya hati. Ini karena ulah sang ayah. Si bajingan tua.
Saat ini, ia bekerja sebagai florist di Kota New York, Amerika Serikat. Gajinya tidak seberapa, tetapi ia menyukai pekerjaannya. Sejak kedatangannya ke kota ini, Vitto dibantu oleh seorang wanita paruh baya, sekaligus pemilik toko bunga di mana ia bekerja. Dan Vitto sudah menganggapnya sebagai ibu sendiri.
"Vi, jaga di dalam. Akan ada pelanggan yang mau mengambil pesanannya."
Mendengar perintah sang ibu, Vitto langsung berjalan memasuki toko sambil menyelipkan setangkai mawar merah di antara daun telinganya. Maklum, pendiam begini orangnya sedikit tengil.
"Permisi," ucap seorang wanita di luar sana.
Seketika Vitto membalikkan badan, pandangannya terhenti pada seorang wanita cantik. Tepat, di depan pintu masuk toko tersebut. Senyumnya manis, badannya yang ramping dibalut dengan dress cokelat selutut, lengkap dengan topi berwarna senada dengan dressnya. Dan juga, sarung tangan putih yang membungkus jemari lentiknya. Satu hal yang paling Vitto suka, matanya indah.
"Bellissima (sangat cantik)," ucap Vitto secara tidak sadar.
"Pardon?"
...
Sang wanita memasuki mobil hitam nan mewah. Ia terduduk di kursi penumpang bagian belakang dengan segenggam buket bunga di tangan kanannya. Wangi semerbak bunga menguar ke indra penciumannya, ia mengelus pelan kelopak bunga tersebut dengan jari telunjuk.
"Bellissima," ucapnya pada diri sendiri, mengulang perkataan si pria tadi.
"Apa maksudnya?" Ia terheran-heran sejak ucapan sang pria yang ia temui di toko bunga. Apa itu kata umpatan? Pelecehan? pikirnya. Ia akui, pria itu memang tampan, tetapi kelakuannya cukup aneh. Setelah mengucapkan kata tadi, sang pria langsung berlari ke belakang toko. Bukannya melayani, malah melarikan diri.
"Ma'am," pria bersetelan jas hitam itu membukakan pintu mobil sembari membungkuk sebagai tanda hormat kepada sang wanita.
"Thank you."
Namanya Ruby Jane. Orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Lady Jane. Cantik, ramah, dan juga cerdas. Semua orang menyukainya. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang tokoh politik dan ibunya adalah seorang pengusaha tambang ternama. Kalian bisa menyebut mereka sebagai si keluarga kaya raya.
Ruby menghela napasnya saat ia menginjakkan kaki di bangunan megah tersebut. Kembali ke rumah. Sejujurnya, ia malas kembali ke sini. Terkadang, ia merasa sebal dengan kehidupan keluarganya. Mengadakan pesta setiap bulan dan dihadiri oleh para penjilat yang haus akan pamor dan harta.
"Sweetheart!"
"Ibu," sang ibu memeluknya dengan erat. Rindu sekali, katanya. Yang harus kalian tahu, Ruby tidak tinggal bersama keluarganya. Ia mempunyai rumah yang terletak cukup jauh dari tengah kota. Alasannya karena ia tak suka dengan kemewahan.
"Ayah sudah menunggu di meja makan,"
"Aku tidak lapar, bu. Dan ini bunga yang ibu minta." Jawab Ruby seraya memberikan sebuah buket bunga.
"Ruby!"
Ruby sudah bisa menebak apa yang akan terjadi di meja makan nanti. Ia lelah jika ayahnya terus-menerus meminta Ruby untuk menikah dengan salah satu anak dari rekan politik ayahnya. Ia tak suka, karena Ruby tahu maksud dan tujuan sang ayah untuk menikahkannya.
Berakhirlah Ruby di kamarnya. Luas dan nyaman. Ia berbaring di atas ranjang yang besar sembari menatap langit-langit kamar. Seketika, ia terpikirkan lagi oleh pria di toko bunga tadi.
Kenapa aku sepenasaran ini? Apa karena ia tampan? Atau karena kata yang ia ucapkan?
Entah mengapa, Ruby ingin menemui pria unik itu kembali.
(TBC)
Maaf untuk chapter ini jalan ceritanya masih monoton. Aku usahakan lagi untuk bikin plot yang lebih 'wah'! Tolong vote dan komen, ya. Bonus foto florist tengil.
— 🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore
FanfictionPria ini tak pernah membual. Dia akan selalu mencintai Ruby, sang 'kekasih', bahkan di kehidupan yang lain. ⚠️ triggering words!