Seseorang yang hebat di dunia, satu orang yang memiliki banyak peran, malaikat tak bersayap yang tangguh. Semua itu belum bisa mendeskripsikan semua hal tentang manusia yang luar biasa, siapa lagi kalau bukan ibu. Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya, guru pertama yang mengajarkan untuk berbicara, dengan telaten dan penuh kesabaran mendidik anaknya.
Berbicara tentang ibu memang tidak ada habisnya, kesabaran, perjuangan, dan kebaikan yang luar biasa tak ada batasnya.
Jam menunjukan pukul empat, ayam berkokok bersahut-sahutan, suara orang mangaji di surau memecah keheningan , Rido masih berkemul dengan sarung sebagai pengganti selimut untuk menangkal dinginnya malam. Dapur sudah berasap sejak pukul tiga, di sana Surti sudah berkutat untuk membuat peyek untuk dijual hari ini.
“Do bangun, udah Subuh cepet mandi terus ke masjid solat subuh.” Surti menepuk pundak Rido membangunkan anaknya. Dengan sekali tepukan tubuh Rido menggeliat matanya perlahan terbuka. “Iya Mak.”
“Bangunin adikmu itu juga, ajak mandi terus solat di masjid,” ujar Surti kembali menuju dapur menyelesaikan pekerjaannya.
Itulah kegiatan pagi yang biasa dilakukan di rumah sederhana yang hanya diisi oleh tiga orang, Rido, Surti ibunya, dan Hendra adik Rido. Mereka hidup bertiga selama ini, ayah mereka meninggal ketika Hendra berumur lima bulan. Ya Surti adalah single parent yang berjuang seorang diri untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya.
“Assalamu’alaikum,” salam Rido dan Hendra bersamaan. Sepulang dari solat subuh berjama’ah di masjid mereka bergegas pulang ke rumah untuk membantu ibu mereka.
“Wa’alakumussalam.” Do, Ndra sini bantu Emak bungkusin peyek.
“Iya Mak,” jawab mereka bergegas menuju dapur.
Disertai cerita, mereka bertiga membungkus peyek yang telah dibuat Surti sejak pukul tiga tadi, ada dua macam peyek yang dibuat Surti yaitu peyek kacang dan peyek teri, peyek-peyek itu ia titipkan di warung-warung sekitar rumah. Ridho dan Hendra juga membawa peyek-peyek itu ke sekolah untuk dijual pada teman-teman mereka.
“Emak, kalo Rido kuliah gimana Mak?” tanya Rido disela ia mengelem peyek menggunakan lilin.
“Ya enggak gimana-gimana Do,” jawab Surti masih fokus membungkus peyek.
“Gak mungkin ya Mak kalo Rido kuliah.”
“Gak ada yang enggak mungkin di dunia ini Do, selagi ada Allah dan kamu mau berusaha kamu bisa kuliah, kalo emang kamu bener-bener mau kuliah belajar yang bener biar masuk kampus negri biar enggak besar biayanya,” jelas Surti sambil membenarkan jilbabnya yang berantakan.
“Emang Emak punya uang buat biaya kuliah Bang Ido?” tanya Hendra.
“Insya Allah, Emak ada simpenan sama cincin kawin yang bisa digadai, udah cepat bungkusinnya kalian harus sekolah udah jam setengah tujuh tuh.”
Rido termenung mendengar perkataan Ibunya, ia semakin semangat untuk bisa kuliah, ibunya tidak pernah mematahkan semangat walaupun jika dipikir dengan logika biaya kuliah sangat mahal, jadi peluang untuk dirinya kuliah hanya sedikit, namun ibunya selalu seperti itu tidak pernah mematahkan mimpi atau angan-angan dirinya, semua bisa selagi masih ada Yang Maha Kuasa.
***
“Bu, ini peyeknya ada dua puluh,” ujar Rido kepada ibu kantin dan menaruh peyeknya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malaikat Penyemangat
Short StorySebuah kisah keluasaan hati dan ketabahan jiwa seorang malaikat penghuni bumi, wanita kuat nan tangguh, sang malaikat penyemangat tak lain dan tak bukan ialah ibu. Silakan selami kisah pendek yang menginspirasi ini. Selamat membaca