Percikan Api

411 61 8
                                    

Bibir merah Yunxi bergerak pelan. Masih dini hari, tapi tenggorokannya terasa kering dan sedikit perih.

Sebelum tidur tadi ia sempat memakan kue Osmanthus buatan Yanzhi. Ingin menolak, namun perut dan liurnya memberontak parah dan ia juga tak ingin tampak mencurigakan di depan istri sang Perdana Menteri.

Setengah hati tidak sudi, Yunxi menghabiskan dua potong kue sambil diam-diam merutuki diri sendiri yang semakin lemah terhadap godaan makanan semenjak hamil.

Tapi seperti biasa, pada akhirnya Yunxi memuntahkan lagi apa yang sudah masuk ke perutnya.

Ya, poin plus dari 'rutinitas' mualnya ialah tubuhnya tidak harus ‘menyimpan’ masakan wanita yang sangat dibencinya itu.

Sejak kecil, Yunxi tidak bisa makan makanan manis tanpa minum air putih karena itu akan membuat tenggorokannya gatal. Namun tadi lelaki cantik itu tidak sempat minum air putih karena ia ingin cepat-cepat menjauh dari Yanzhi.

Setelahnya Yunxi menyesal.

Ternyata persediaan air putih di kamarnya habis, jadi Yunxi harus turun ke dapur atau besok pagi suaranya akan berubah sumbang.

Memakai sandal kamarnya, Yunxi pergi ke dapur. Sembari menuruni tangga, tangan kirinya berada di atas pegangan dan tangan yang lain tak henti mengusap perut yang semakin membuncit.

Sesekali ia tersenyum lembut. Senyum yang tak pernah dia berikan pada orang lain, tak terkecuali Chen Feiyu.

Senyum yang hanya ia persembahkan untuk si buah hati walau makhluk kecil itu belum bisa melihatnya.

Yunxi percaya anak ini bisa merasakannya. Merasakan betapa besar cinta sang ibu padanya.

Sesampainya di dapur, lelaki manis itu menekan tombol hijau pada dispenser dan mengisi gelas sampai penuh.

Yunxi duduk sambil meminum airnya sampai tandas. Setelah itu, ia meletakkan gelas di tempat cuci piring dan berniat kembali ke kamar.

Ketika berbalik badan, Yunxi langsung berjengit melihat sosok tinggi bersandar di dinding yang memisahkan dapur dan ruang tengah.

Raut kesal Yunxi berganti menjadi sebuah senyum menggoda. Dihampirinya orang itu, mengecup bibirnya sekilas dan menggelayut manja di leher pria tersebut.

“Kau mengejutkan bayi kita, Dear.”

Feiyu memandang tanpa ekspresi. Dia lepaskan rangkulan lengan Yunxi di sekeliling bahunya.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, di ruang kerjaku.”

Tak ingin mendengar bantahan, pria itu berjalan lebih dulu dan secara tidak langsung memaksa lelaki yang lebih tua agar mengikutinya.

Dan Yunxi merasa biasa saja dengan perlakuan itu. Ia mengikuti Feiyu tanpa beban, justru dengan senang hati menyamakan langkah untuk menggandeng lengan kekasihnya.

Saat Feiyu mengunci pintu, Yunxi memeluknya dari belakang. Menyandarkan kepala di punggung kokoh sang Perdana Menteri yang terbalut pakaian tidur, memberikan kecupan-kecupan halus di tengkuk kekasih yang juga ayah dari bayi yang berada dalam kandungannya itu.

“Kenapa dikunci?” Yunxi menggigit telinga ‘calon suami’nya.

“Kau ingin bicara atau ‘bermain’ denganku?”

Chen Feiyu berusaha mengendalikan diri meski nafsunya sebagai pria sehat mulai beraksi.

Bagaimanapun juga, dia tak ingin tujuan awalnya berantakan.

Maka sebelum kontrolnya benar-benar meledak, Feiyu melepaskan tautan jemari Yunxi yang melingkar di perutnya.

Si lelaki manis tersenyum, menyusul prianya yang menyamankan diri di sofa.

Prime Minister's Black RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang