Teori alphabet H, I, dan J

11 2 5
                                    

“Kenapa, sih, dapetin kamu susah banget? Kaya lagi ngerjain ulangan fisika.”

“Jadi cowok maksa banget, sih.”

“Ya, harus dong. Pokoknya aku gak akan maksa-maksa kamu lagi kalau kita udah pacaran, lene.”

“Sampai dinosaurus reinkarnasi juga aku pastiin kita nggak akan pacaran, Haidan.”

>>><<<

“Hai, Ilene,” wajah Haidan sudah muncul saja di depanku, padahal masih pagi. “Dijawab dong, calon pacarnya Haidan.”

Aku mendelik tidak suka. “Calon pacar Haechan NCT, sih, no problem.”

Haidan mencebik dan memilih duduk di sampingku. “Selalu aja banding-bandingin aku sama Haechan. Gantengan aku kemana-mana kali.”

“Dih, gantengnya kamu aja nggak ada seperempat-seperempatnya dari gantengnya Haechan, ya.” Aku kembali menaruh pandang pada novel yang sejak tadi aku baca.

“Gapapa, deh, mau dia lebih ganteng dari aku juga, aku mah bakalan terus gas Ilene pokonya petrus jakandor sihombing,” ucapnya penuh percaya diri.

Aku terkekeh menertawakan kalimat terakhir yang ia ucapkan. “Petrus jakandor sihombing apaan, deh?”

Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Pepet terus jangan kasih kendor sampai hati terombang-ambing.”

Tawaku pecah, untung ini masih pagi jadi belum ada orang lain di kelas selain aku dan Haidan.

Aku menggelengkan kepala dengan sisa tawaku. “Bisa-bisanya ada singkatan kayak gitu, dapet dari mana kamu?”

“Tadi malem belajar dari ayah, aku nanya ke ayah gimana caranya gombalin cewek yang nggak alay dan nggak bikin muntah.” Ucapannya terlihat serius.

“Tapi aku ada mual-mualnya sedikit, sih,” alasanku.

“Itu bukan karena gombalanku, tapi kamu nya aja yang belum sarapan,” Haidan bangkit dari duduknya dan menatapku. “Ayo ke kantin mumpung bel masuk masih lama.”

>>><<<

“Ilene, kasihku, cintaku, bala-balaku, pisang gorengku pulang bareng kuy sama Aa Haidan,” sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi Haidan sudah ada di depan kelas Ilene menunggu di depan pintu sembari menyampirkan jaket di pundaknya.

“Panggilan maneh ke Ilene aneh banget, Dan, kaya jamet,” teman sekelas Ilene—Tio—teman tongkrongan dan teman sebatnya Haidan juga—protes.

“Dosa banget maneh ngatain panggilan sayang urang ke Ilene, maneh tuh yang kayak jamet mah rambut kayak anak ayam, celana sekolah robek dari ujung ke ujung, digunting sama Bu Emma mah ceurik,” Haidan meneliti gaya Tio dari atas sampai bawah. “Untung Ilene sukanya sama urang bukan sama maneh.”

“Sejak kapan, ya, aku suka sama kamu?” Ilene baru keluar dari kelas sambil menggendong tasnya.

“Eh, ayang aku udah keluar kelas,” Haidan sumringah dan senyumannya sangat lebar.

“Dan, berhenti sebelum aku kirimin santet ke kamu, ya!” ancamannya Ilene hanya dibalas cengengesan oleh Haidan.

“Terima aja lah, Lene. Jijik banget aku lihat Haidan kayak cicak di film Oscar the Oasis lincah banget, heran,” sewot Tio yang dihadiahi geplakan di bibir oleh Haidan.

Maneh kalau ngomong suka sopral, urang geprek juga lama-lama mulutnya.”

“Ah, apa, sih, jadi pada ribut gini,” Ilene berjalan duluan meninggalkan dua curut yang masih beradu mulut.

RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang