Jamaah

6 0 0
                                    

Langit jingga tampak lebih indah dari biasanya, mungkin karena sore ini 'terang sore'. Cuaca hari ini cukup panas menjadi salah satu penyebab pemandangan indah ini. Sekar mengintip dari balik tangannya perlahan saat Gibran berkata langitnya sangat indah. Sekar terpesona akan keindahan sore ini. Gibran di sampingnya tersenyum, sepertinya gadis itu mendengarkan omongannya.

"Kalau lo takut, bisa kok peluk gue," ucap Gibran diselingi tawa.

Sekar tertawa kecil. Ini kali pertama dia membuka matanya di mobil, meski sedikit.

"Gibran, beliin gue SM, dong."

Kok?

"Lo pikir gue se-rich Siska Kohl apa? Udah gue bilang, nanti Irene—"

"Curiga gue, lo kenalnya cuma mbak Irene doang," sela Sekar sambil memicingkan matanya.

Gibran menggaruk tengkuk kepalanya, benar sih. Dia kan bukan KPop-ers. Hanya tau beberapa saja, biar topiknya nyambung dengan Sekar, Gibran mencoba mengenali girlband dari SM. Gak salah sih kalau dia mau mengidolakan seperti yang Sekar idolakan. Ya tapi masa dia bercandanya sama seperti Sekar, berkhayal menjadi pasangan mereka. Ya geli lah, Gibran juga masih lurus.

"IYA?!" Sekar terlihat kaget karena tebakannya benar.

Tak berkata, Gibran mengangguk pelan, malu. Sekarang mungkin mukanya sudah mirip seperti kepiting rebus. Benar-benar Sekar ini, sudah tahu dirinya tengah malu, malah di tertawakan seenaknya, kan jadi tambah malu. Liat saja, nanti Gibran harus balas.

Mereka memasuki kawasan perhutanan, Gibran memberikan masker kepada Sekar, gadis itu menerimanya dengan tangan yang gemetar. Gibran tahu, Sekar tengah memikirkan yang tidak-tidak, terlihat dari Sekar yang terus menerus menggelengkan kepalanya seolah apa yang dia pikirkan semoga tidak benar terjadi.

Asap kebul dari tanah yang mengapit jalan itu membuat kaca depan mobil sedikit berdebu, sedikit menghalangi Gibran untuk melihat jalan. Untung pria itu sudah hapal dengan likak likuk jalanan ini.

"Mau putar balik aja?" tanya Gibran memastikan.

Sekar menggeleng namun tidak menjawab. Gibran meneruskan perjalanannya, kalau Gibran putar balik, sama saja dia meremehkan Sekar. Bagaimanapun, gadis ceria yang dia anggap sebagai adiknya sendiri kini harus sembuh dari traumanya. Bukan berarti Gibran ingin lepas tangan begitu saja, bukan. Hanya saja, Gibran takut jika dirinya mati, bagaimana nasib Sekar kedepannya. Umur kan tidak ada yang tahu, kalau Gibran meninggalkan Sekar dengan traumanya, Gibran yakin dia tidak akan tenang.

Sekar harus hidup dengan layak, selayaknya anak remaja pada umumnya. Biarlah masa lalu merenggut bahagianya, sebagai gantinya, biarkan Gibran menciptakan bahagia untuk Sekar. Ya, prioritasnya saat ini hanya Sekar dan pendidikannya. Bahkan untuk sekedar dekat dengan lawan jenis pun Gibran mesti mikir dua kali. Gibran takut dia akan menjadi kakak yang buruk.

"Gak ada yang aneh 'kan, dek?" Gibran mencoba menbuka percakapan agar Sekar tidak membayangkan aneh-aneh lagi.

"Sejauh ini, aman-aman aja sih. Udah hampir setahun gue nyusahin hidup lo, ya."

"Hust, ngomong aneh-aneh. Kita tuh keluarga, dek."

Sekar tersanjung, dirinya benar-benar dianggap menjadi adik oleh Gibran. "Jangan-jangan lo naksir sama gue?"

Gibran melotot sejurus kemudian dia menonyor kepala Sekar kesal. "Gendeng anjir, masa suka sama adik sendiri."

Sekar hanya tertawa sebagai balasannya. Dia bahkan melupakan khayalan-khayalan mengerikan di bayangannya.

Langit jingga berubah menjadi gelap, adzan berkumandang dari berbagai arah. Gibran pun berniat memakirkan mobilnya saat melihat masjid di pinggir jalan. Sekar bergeming, masjid ini tidak asing olehnya. Sekelebat memori berputar samar di kepala Sekar.

"Mas, keknya jangan disini, deh. Kepala Sekar gak enak banget."

Gibran sedikit terkejut, pertama dia terkejut Sekar memanggilnya dengan sebutan 'mas', jarang sekali. Kedua, tangan kanan Sekar memegangi kepalanya, seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Di depan ada Pertamina, kita shalat di masjid sana aja, ya?" sahut Gibran pengertian.

Sekar hanya mengiyakan, Gibran segera menyalakan kembali mobilnya, beranjak menuju Pertamina. Waktu maghrib itu sangat pendek, maka dari itu Gibran terburu-buru.

Setelah sampai di Pertamina, Sekar segera mengambil air wudhu, begitupun dengan Gibran di tempat yang berbeda. Untungnya disana disediakan mukena, Sekar benar-benar lupa membawa mukena. Lain dengan Gibran yang membawa sarung kemana-mana.

"Keknya besok gue harus masukin mukena lo ke jok belakang, biar gak pake mukena polkadot begitu. Masa mau menghadap Allah pakai mukena polkadot begitu?"

Sekar menahan tawanya, daripada kakak Gibran lebih seperti ayahnya. Lagian ini bukan polkadot, kok. Warna mukena yang Sekar pakai putih cuma gak bersih. Ada banyak bintik-bintik hitam di bagian bawah muka. Ya, maklum saja sih. Karena ini kan mukena bersama, terlebih pasti banyak yang sama seperti Sekar, lupa tidak membawa handuk. Jadi sisa-sisa air wudhu jatuhlah ke mukena dan jadi polkadot ala Gibran.

"Hust, imamin gih, mas."

Meski melotot dengan cara bicara Sekar, tapi pria itu tidak protes. Gibran memulai shalatnya diikuti dengan Sekar dan dua gadis lain yang kebetulan sama-sama hendak melaksanakan kewajiban.

Gibran mengakhiri shalatnya dengan dua salam lalu menangadahkan tangannya, berdoa untuk selalu mendapat keselamatan dunia akhirat pada-Nya. Selesai berdoa, Gibran mengamati Sekar dibelakangnya. Gadis itu tengah khusyuk berdoa, Gibran menunggu Sekar seraya membaca doa-doa yang dihapalnya.

Selesai berdoa, Sekar mengajak Gibran melanjutkan perjalanan. "Gib, dua cewe yang itu, kenal lo?" tanya Sekar sembari menunjuk kedua cewek yang berada disampingnya saat shalat tadi.

Gibran menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak tahu dan menjawab, "Gak manggil mas lagi? Gak tuh, gue gak kenal. Namanya aja orang pemes ya gini."

Sekar hanya bergidik jijik dan membuat ekspresi seolah mau muntah sedangkan Gibran malah tertawa melihat reaksi Sekar yang menurutnya berlebihan. Gibran melanjutkan perjalanannya, tak sampai sepuluh menit, mereka sampai tujuan. Sekar memilih untuk ke Indomaret terdekat daripada mengikuti Gibran.

Jarak dari medical center ke Indomaret tidak begitu jauh, hanya selisih sekitar lima rumah saja jadi Sekar memutuskan untuk jalan kaki. Sekar membeli beberapa cemilan dan minuman boba kemasan yang dingin. Setelah membayar ia memutuskan duduk di kursi yang disediakan. Sambil berfoto ria ia bahkan tidak sadar bahwa ada seseorang yang memerhatikannya.

***

Seperti biasanya, ayo absen tulisan ini sudah sampai kota mana saja? jangan lupa tap love, ya. Satu love dari kalian sangat berarti bagi arca sksksk. Happy reading!

Barangkali ada kesalahan penulisan, typo dan sebagainya boleh hubungi arca di kontak berikut:

Telegram: @tianyiiwaang
Whatsapp: +62 81232259343
Instagram: @arcalyaxx

Let's be my friend!

EUNOIA (NAKOMOTO YUTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang