Prolog

82 11 2
                                    

"Nobody loved me when I was nobody!" Lantang suara didendang menampar pipi sosok di hadapan.

Matanya menyalak, sama menantangnya dengan kalimat yang baru saja menyeruak. Tiada peduli dengan selisih besar badan dengan lawan wicara, telah mengongkong ia membelah ruang.

Yang ditergual tuturan mendengus. Menarik sudut bibir bagian kiri dan menghias rupa dengan secarik seringai pahit.

"Lantas selama ini, apa yang ku lakukan?" Pedih lantunnya. Sama rodannya dengan sorot dua mata. "Selama ini aku menyayangimu, tapi kamu bilang tidak ada satu pun orang yang sayang sama kamu saat kamu bukan siapa-siapa? Lucu, itu artinya selama ini aku memang tidak ada di matamu."

Tidak ada balas yang terlagu. Hanya tatap menyalak yang mulai pudar dan dua alis melepas ketegangan barang sebentar. Deru napasnya masih sama, berat nan terburu, lamun jujur emosinya mulai meragu.

Bertolak dengan tuan yang dipandang. Pada lakon nang baru saja berseru.

"Aku menyayangimu sudah lama, Ram. Sejak kamu tidak dikenal siapa-siapa, sejak ribuan kamera tidak menyorot wajahmu, dan sejak aku yang jadi satu-satunya orang yang meneriakkan namamu paling lantang!"

Getar vokalnya tidak bisa disembunyikan. Bahkan tuan menarik napas dengan sejuta beban. "Sudahlah, sepertinya kita memang tak sejalan. Aku yang berusaha mengejarmu, dan kamu yang tidak pernah memandangku."

Seringai kecut diganti dengan senyum dipaksa tulus. Tuan dengan porsi tubuh lebih besar mengambil langkah mundur. Pergi dari tatap nang sempat jadi semestanya, memberi punggung lebar yang selama ini menyokong beban rasa nyeri.





"Cut!"

Bunyi ricuh tepuk tangan menggema dua detik semenjak satu kata perintah diseru. Roll kamera berhenti berputar, pria yang mengurus pencahayaan mundur dari posisi, dan sang sutradara bangkit dari kursi. Lebar senyumnya, meriah tepuk tangannya. Dari romannya saja, Ohm sudah tahu kepuasan melingkupi sosok itu.

"Luar biasa! Sudah kuduga kalian akan membunuh adegan ini." Tangannya menepuk bangga dua bahu aktor muda yang masih berdiri di sana.

Ohm sendiri ikut mencetak senyum lebar kendati tangan menyeka setitik tangis pada ujung mata. Selepasnya melirik ke arah lawan mainnya, satu sosok yang sedari tadi jua mencuri pandang ke arahnya.

"Nanon." Tiga detik dan pada hitungan kesepuluh adu pandang diputus panggil.

Lawan mainnya memandang sang sutradara dengan dua alis nang spontan terangkat. "Kemampuanmu telah meningkat pesat, huh?" Tawa canggung keluar selepasnya.

Pun itu jadi bagian yang terakhir Ohm dengar. Pasalnya sang lakon tuan menenun izin undur diri lebih dahulu. Kembali bergerak memunggungi satu sosok nang olak melempar tatap sejuta arti. Menusuk punggung, sebab tanpa satu figur pun nang mengerti, adegan yang dimainkan nyatanya sudah pernah terjadi.

Tanpa sorot kamera.

Tanpa pencahayaan yang mendukung suasana.

Dan tanpa sutradara yang menyetir cerita.

Ohm, nyatanya pernah menenun cerita dengan sejuta makna perihal semestanya.













Nanonnya.

ores.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[1] Angkasa Bercerita; ohmnonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang