Rumah Di Dalam Hujan

822 97 11
                                    

Pond rasa, apartemen ini tidak lagi pantas disebut 'rumah'.

Ya ... walaupun di mana-mana, ketika orang berkata hendak pulang, tujuannya selalu pada rumah. Tempat di mana rasa aman akan memeluk, hangat akan hadir, serta kelegaan muncul kemudian bersama helaan napas.

Atau bisa juga, rumah adalah peranan saja. Karena banyak orang yang meyakini, bahwa rumah adalah seseorang. Ketika pikiran sedang dibalut oleh kekacauan, maka sosok bagai rumah itu datang bak pahlawan. Menyediakan mereka rasa hangat ketika dibawa dalam pelukan, ciuman singkat pada kening, usapan halus di lengan atas, juga bisik-bisik penuh tenang yang mengalun masuk telinga.

Pond merindukan Phuwin, rumahnya tercinta. Apartemen tak lagi hidup sejak sosok itu pergi, menghilang dalam hujan.

Bagi si perindu, hujan adalah perekam segala kenangan. Hujan tak pernah luput menyimpan banyak hal yang jika diingat lagi, akan sangat berharga artinya.

Dalam hujan, kedua insan itu pernah saling ciprat di bawah rintik-rintik kian deras. Menari tanpa peduli kemungkinan demam esok harinya. Pond dan Phuwin membuat awan kelabu di atas sana bingung atas kelakuan mereka. Air-air berjatuhan tak bisa menghalau senyuman lebar di wajah.

Gumpalan kapas itu menimang-nimang, apakah guyuran ini terus dilanjutkan atau harus berhenti dan ikut menikmati kebahagiaan yang menguak dari kedua insan?

Tidak, hujan tidak berhenti.

Hujan terus melanjutkan perannya, merekam segala bentuk kejadian seperti paparazi dan kameranya. Membuat siapapun akan tertegun ketika flash itu dinyalakan tiba-tiba, tanpa sengaja ataupun tidak.

Sama halnya dengan petir yang menyambar dan kilat-kilat abstrak hadir menyilaukan mata. Tidak disangka, di dalam hujan, Pond akan bernasib sama-tertegun di bawah awan kelabu yang tak tanggung-tanggung menurunkan airnya.

Namun kali ini, hujan tidak merekam kebahagiaan. Hujan berhasil menghalau senyuman untuk hadir, menggantikannya dengan tetes air mata yang segera melebur bersama rintik lainnya.

Hanya ada rasa bersalah, ciuman perpisahan, pelukan yang tak ingin lepas, dan ucapan selamat tinggal. Membuat awan menyesali keputusannya dan hujan semakin deras sebab turut bersedih atas dua insan saling menghilang menuju arah yang berbeda.

Tidak lagi pulang ke tempat yang mereka sebut dengan rumah.

Satu hingga dua bulan ini sangatlah menyakitkan bagi Pond. Tiap akan pulang dari luar, enggan sekali rasanya menginjakkan kaki di apartemennya bersama Phuwin.

Hanya saja ... mau bagaimana? Tidak ada tempat lain untuk berlindung dari musim penghujan baru-baru ini.

Apalagi ditambah suara-suara denting piano di ujung ruang tamu yang entah mengapa selalu terdengar di telinganya. Padahal tidak ada satu pun yang menyentuh dan memainkan.

Ya, Pond sadar.

Itu hanya ilusi dari kerinduan yang membelenggu hati.

Karena sejak Phuwin pergi, tak ada lagi suara denting favoritnya. Suara tawa yang biasa menggema beriringan. Tepuk tangan bangga yang muncul di akhir permainan. Kursi yang menghangat karena terlalu lama diduduki oleh keduanya.

Jari-jari Pond selalu menelusur setiap jengkal dari piano hitam itu ketika baru pulang dari pekerjaannya.

Kemudian, dia akan berjalan menuju dapur. Melirik sekilas pada piring-piring kotor di tempat cuci. Mengambil kaleng alkohol dari kulkas, lalu duduk di sofa ruang tamu seraya menatap tanpa fokus ditemani sunyi.

Dan itu dilakukan berulang-ulang. Dengan hari yang diakhiri oleh tetes kesedihan, hingga jatuh terlelap bersama hati yang lengang.

Malam ini, tidak ada bedanya. Pond sesekali menyesap minuman. Masih belum salin pakaian, tak ada niat untuk melakukan. Jarum jam dinding terus bergerak, menimbulkan bunyi kecil hampir tidak kentara.

RUMAH DI DALAM HUJAN • pondphuwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang