Shinjuku,Tokyo, April 2005
Terkadang, ada hal yang memang harus dikenang. Dan ada hal yang memang harus dilupakan. Kenangan-kenangan itu terkadang sulit untuk tidak diindahkan. Kenangan baik, memberikan kebahagian, kenangan buruk memberikan pelajaran.
Semringah wajah orang yang disayang adalah hal yang sulit dilupakan. Uluran tangan yang lembut dengan hadiah kecil di atasnya, mampu menyentuh hati yang tengah bermuram durja. Apa pun itu hal yang kau katakan, seperti sihir yang akan merubah menjadi kenyataan. Merasa bahwa kebahagiaan itu tidak akan pernah pudar.
Tidak, sampai orang yang kau sayang jatuh di atas lantai dengan keadaan tidak sadarkan diri.
"Apa ibu baik-baik saja, Ayah?"
Usapan tangan itu sangat lembut menyentuh kepalaku. Senyuman kian memudar, saat terlintas ingatan kembali bagaimana Ibu jatuh di kamar mandi. Tentu, degupan jantung yang tidak karuan, napas yang terengah-engah, wajah pucat dari Ayah. Hal itu membuat diriku bertambah khawatir.
"Tentu saja, ibumu adalah wanita yang kuat," desisnya.
Sungguh jelas bahwa itu kalimat penuh keraguan. Kupandang dengan lembut bagaimana Ayah mengutip mainan lego yang aku jatuhkan ketika sampai di rumah sakit. Sorot matanya tajam, namun kutelusuri lebih dalam ada kehangatan di sana.
Suara gesekan pintu pada lantai, mengalihkan perhatianku. Tanpa sadar aku berlari menghampiri Ibu. Benar-benar keajaiban, kutemukan dia berdiri tegak dan senyum lembut di wajahnya. Tanpa sadar aku merasa berat, saat aku diapit oleh dua orang yang aku cintai. Ayahku, pria itu terlihat lebih kekanak-kanakan daripada diriku.
"Apa yang terjadi?"
"Aku merasa lelah," sahut Ibu. Namun wajahnya tidak menunjukkan demikian, senyuman itu agak berbeda. "Kau tahu sayang? Kita akan kedatangan keluarga baru."
Tidak pernah kulihat wajah dua orang yang aku cintai, jauh lebih bahagia saat mereka mengulurkan tangannya kepadaku. Perasaan bahagia yang mereka rasakan, tidak terbagi. Berpikir bahwa kebahagiaan itu benar-benar akan abadi, justru aku tidak merasakan demikian sekarang.
"Neji akan punya adik."
"Oh." Aku menunduk, lalu melirik hati-hati. Kepala terasa berat untuk menengadah mereka. Takut bahwa aku merusak suasana hati wanita yang kucintai, tetapi aku tidak melihat demikian dari mereka.
Tangan lembut mengusap kepalaku, bersamaan dengan tawa kecil.
"Kau harus menjadi kakak yang baik untuk adikmu, Neji."
◊◊◊◊
Shinjuku, Tokyo, Februari 2007
Suara tawa itu tidak bersahabat didengar. Suaraku kian meninggi, saat teman-teman kelas mulai mencemooh diriku. Hanya karena beberapa cakaran di pipi kanan dan kiri. Sialnya saat itu plester di rumah habis, karena adik perempuan yang selalu menggigit benda apa pun yang dia lihat di depan matanya.
"Sial, aku tahu apa yang kau rasakan Hyuuga."
Seorang anak lelaki menghampiri dan memberiku tiga plester berwarna biru. Teringat tentang dirinya kemarin yang begitu semangat pulang lebih dulu, karena mendengar bahwa Ibu dan adik laki-lakinya akan tinggal menetap di Tokyo.
"Terlihat jelas kalau cakaran itu berbeda dari kucing," kata Itachi Uchiha. "Apa kau memiliki seorang adik?"
Aku mengangguk kecil dan mengambil plester dari tangannya. Muram durja berganti, berpikir dia akan marah padaku, tidak sampai dia mendesis dan terdengar jelas di telingaku. "Punya adik itu ternyata merepotkan, ibuku selalu memarahiku ketika aku berbuat salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Feigh Brother
FanfictionTahun 2011, tsunami melanda Prefektur Iwate, Tohoku, Tokyo. Saat itu Hinata melakukan perjalan musim panas dengan keluarganya tanpa sang kakak. Kedua kakak beradik itu harus kehilangan kedua orang tua mereka. Neji dari awal tidak menyukai sang adik...