01 : Masa Lalu

91 15 1
                                    

Masa lalu adalah masa lalu. Hanya kalimat itu yang tertempel di dalam otak perempuan itu. Haselia Obriana. Masa lalu nya yang kurang menyenangkan, ia tidak ingin mengingat hal itu. Meskipun kejadian itu terngiang-ngiang di dalam benaknya. Rasa bersalah memenuhi dadanya. Ia tidak bermaksud untuk menolak pengakuan cinta dari teman SMP nya yang kini entah hilang ke mana. Kelas 9. Masa dimana siswa dan siswi masih berpikir pendek dan tidak berpikir akan konsekuensi yang harus dihadapi dari perkataannya. Tapi memang benar dirinya tidak memiliki secuil perasaan pada lelaki itu. Lelaki culun yang tidak memiliki satupun teman. Ia tidak menyukainya. Sebagai perempuan.

Namun di lain tangan, Haselia suka menghabiskan waktu dengan laki-laki itu. Sebagai teman.

Perempuan itu memejamkan matanya kuat. Berusaha menghapus pikiran-pikiran bersalah itu. Suara alarm mendengung hebat ke dalam pendengarannya. Kedua mata yang tadinya mengantuk, kini sudah terbuka kaget. Tangannya menjalar menuju tombol pink di atas mesin pembangunnya itu. Sedetik setelah Haselia menekan tombol, kepalanya kembali terbaring di atas bantal. Ia menatap langit-langit kamarnya.

Jujur saja, ia penasaran akan kemana perginya lelaki itu. Sudah sekitar 1 tahun semenjak pengakuan tiba-tiba pemuda itu. Dirinya yang sekarang sudah berada di jenjang ke-2 di SMA, kelas 11. Ia rindu bermain dan bercengkrama dengan lelaki itu. Namun gadis itu merasa tidak berhak untuk merindukan lelaki itu setelah mematahkan hatinya.

Suara air mengguyur, wastafel dengan air yang terus-terusan mengalir. Wajah penuh kantuknya sudah terbilas dengan sempurna. Seragam dengan rok abu-abu yang menemaninya selama 1 tahun ini. Derap kakinya terdengar, tangga rumahnya telah menjadi saksi pertama akan kepergiannya ke sekolah untuk menempuh jenjang yang baru. Kelas 11.

"Ma! Aku berangkat dulu!!" Ujar perempuan dengan tas hitam yang menggelantung tidak karuan pada pundaknya. Tangannya menjulur untuk mengambil roti tawar dengan mentega buatan sang Ibu. Ia memasukkan roti itu asal ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan penuh.

"Makan dulu, Sel!!" amuk Mamanya yang terburu-buru berjalan dari dapur menuju meja makan. "Ga nutut, Ma! Ini aku mam rwotwi twawar... (roti tawar)" Si Ibunda melengos malas.

"Ya sudah! Sana berangkat!" Dengan gesit, perempuan itu berjalan cepat menuju halaman rumah tersayang. "EH! SELIA! JANGAN LUPA BAWA PAYUNG! SEKARANG LAGI MUSIM HUJAN!!" Teriakan Mamanya ditanggapi dengan anggukan. Tepat setelah lehernya menelan gigitan roti, ia kembali berteriak. "IYA, MA!!"

Dan benar saja kata Ibunya. Air hujan mulai menuruni permukaan tanah. Seluruh daerah rumahnya basah akibat guyuran air semesta. Payung biru tua hadiah dari Bank itu menutupi kepalanya setelah sepasang sepatu berhasil merangkap kaki berkaos kaki putih. Jarak rumahnya dan sekolah bisa terbilang dekat atau sangat dekat. Sehingga setiap hari, gadis itu akan berjalan menuju tempat ia menuntut ilmunya. Papanya yang merupakan pekerja kantor sudah menginjak rem mobilnya dan meninggalkan pekarangan tempat tinggal sejak 1 jam yang lalu. Tanpa transportasi, perempuan itu bahagia berjalan di dalam jalanan beraspal abu-abu yang menjadi saksi bisu kehidupan SMA nya.

Sepatu Converse hitam miliknya sudah bertemu sapa dengan tanah becek khas hujan. Aroma air hujan yang menusuk hidung. Ia mengeratkan sweater putih karena cuaca yang dingin. Dan payung besar itu berhasil melindunginya dari tangis Bumi hingga gedung sekolah. Bangunan putih sedikit kuno yang mulai terisi para pelajar dengan seragam SMA.

Dadanya berdebar. Setelah liburan panjang selama 1 bulan, kini saatnya untuk kembali di dalam rutinitas siswi yang menyibukkan. Tangannya terangkat untuk menjepit rambut depannya ke belakang dengan jepitan coklat berbahan akrilik bening. Langkah kakinya memasuki gedung megah itu. Melewati beberapa murid yang berpapasan dengannya, tangan itu otomatis melambai, menyapa satu per satu siswa siswi.

"Hasel!" panggilan dari orang-orang yang membuatnya tersenyum. Kepalanya mengangguk tiada henti karena sapaan dari teman-teman seangkatan maupun kakak kelas. Perempuan itu memang ramah. Bahkan melebihi kata ramah. Ia mungkin memiliki ribuan teman. Sejak usianya kecil, kedua orang tuanya memang mengajarkannya untuk berteman dengan siapapun. Dan hal itu membuat dirinya mengenal seorang Hareksa.

Tubuhnya terduduk dengan santai di atas kursi kayu. Pandangannya tak luput dari ponsel bercahaya putih di hadapannya. Jemarinya menggeser layar itu dengan samar. "HASELIAAAA!!!!" Pekikan keras yang ia hapal benar adalah sahabat karibnya sejak SD. "ALENAAA!!!!" balasnya tak kalah keras. Terdengar kekehan dari keduanya. Alena berjalan mendekat dan terduduk di kursi depan Haselia yang merupakan milik murid lain. "Lo kehujanan gak tadi??!?!?" heboh perempuan berponi itu. Hasel menggeleng. "Engga, pake payung."

"Untunggg! Tadi gue lupa bawa payung! Tapi gue udah sampe duluan sebelum hujan." Jelasnya yang membuat kedua alis Haselia terangkat. "Hoki banget lu?!?" sebalnya tidak terima. "Alena gitu dong!" Pamer gadis berambut panjang itu dengan kedua tangan yang terbuka lebar. Kedua netra Hasel memutar dengan enteng.

Kelas yang sudah mulai penuh disambut dengan bel sekolah. Para murid terduduk di kursi masing-masing. Haselia harus terpisah dengan Alena yang terduduk di dalam kelas lain. Ini semua akibat keduanya yang selalu berbicara saat pelajaran. Alhasil, guru-guru setuju untuk memisahkan keduanya sampai lulus.

Wanita paruh baya dengan kemeja biru muda itu memasuki kelas ramai itu. "Selamat pagi, anak-anak!" Seru pengajar dengan rambut keriting yang dikuncir satu. 

"Selamat pagi juga, Bu!" seru satu pemuda yang terduduk di bangku depan. "Ya, ini hari pertama kalian kelas 11, semoga bisa belajar dengan baik dan bisa akrab dengan teman-teman sekelasnya, ya." 

Setelah memenuhi percakapan dengan basa-basi, guru sejarah itu akhirnya memotong perkataannya akibat pesan yang diterima melalui ponsel hitamnya.

"Oh iya, anak-anak. Kelas kita bakal kedatangan murid baru nih!" Kalimatnya mengundang suara heboh dari murid-murid.

"Mana, Bu?"

"Cowok atau cewek, Bu?"

"Kenapa? Kalo cewek mau lu gebet ya?" Suara tawaan memenuhi kelas setelah para murid laki saling menyahut perkataan satu sama lain. Hingga suara pintu terbuka yang membuat seluruh bola mata menoleh menuju satu titik.

Kecuali Haselia yang sibuk menggambar sebuah mata pada buku tulis bersihnya. "Nah! ini anaknya!" Sambut Bu Enda yang membuat semuanya berbisik-bisik. "Ayo, nak. Perkenalkan dirimu. Namanya siapa, nak?" Suruh wanita pengajar itu kepada sang murid baru. Lelaki dengan balutan jaket denim biru muda, rambut legam sedikit panjang yang menampilkan dahinya, ia mulai membuka suara.

"Nama saya Hareksa."

Satu nama membuat kepala gadis yang tengah menyelami dunianya sendiri terangkat penuh. Kedua netranya membesar. Pupilnya hanya terpaku pada satu titik. Titik dimana seorang pemuda berperawakan tinggi nan tampan berdiri di depan kelas. Dengan tak sengaja, netranya berpapasan dengan milik lelaki itu. Tidak. Itu tidak mungkin Hareksa yang ia kenal. Ia berbeda. Bukan. Itu bukan Hareksa temannya semasa SMP.

"Nama lengkap dong, nak." sahut Bu Enda kepada Hareksa.

"Hareksa Juvianno."

Tubuhnya melemas. Pandangannya masih belum lepas dari manik indah milik Hareksa. Hareksa Juvianno. Laki-laki yang selalu memenuhi benaknya akibat rasa bersalah. Hareksa Juvianno yang ia cari selama 1 tahun belakangan ini. Iya. Seorang Hareksa Juvianno itu berdiri di depan kelasnya. Terlalu menghayal jika ia menganggap kejadian ini asli. Tapi ini memanglah nyata. Ia tidak sedang tertidur dan terbaring di dalam taman mimpi. Ia sedang terduduk dan memandang teman SMP nya yang juga menatapnya tajam.

Ia menemukannya.

To be continued...


haiii! ini update dan chapter pertama Hareksa!!! semoga sukaaa~ see u all di update-an selanjutnyaa! I LOVE U ALL! STAY HEALTHY YAAA!! BYEEEE

love,
verdantulips.

Hareksa ; Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang