BAGIAN 1

180 10 0
                                    

Cras! Cras!
"Aaa...!"
Keheningan pagi mendadak pecah oleh teriakan bernada kematian yang seperti hendak merobek angkasa dari sebuah bangunan besar berpagar tembok setinggi dua tombak. Pada bagian pintu gerbang menggantung sebuah papan bertuliskan Padepokan Naga Merah.
"Heaaa...!"
"Chiaaa...!"
Belum juga teriakan tadi menghilang tuntas, kembali terdengar suara-suara yang menyiratkan adanya sebuah pertarungan sengit yang ditingkahi bunyi senjata beradu.
"Berhenti...!"
Pertarungan mendadak berhenti ketika terdengar bentakan keras menggelegar. Dari pintu bangunan utama Padepokan Naga Merah keluar seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Dia memakai baju jubah berwarna merah dengan gambar seekor naga dipunggung. Rambutnya panjang, diikat kain berwarna merah yang dihiasi gambar naga pula tepat di kening.
Laki-laki berjubah merah yang diiringi belasan pemuda itu menghentikan langkahnya di depan seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna kuning keemasan. Di dadanya yang membusung tampak sebuah gambar burung merak. Di belakang gadis ini, berdiri pula sekitar sepuluh orang gadis lain, berpakaian kuning keemasan pula.
"Ada apa ini, Nisanak? Mengapa kau membuka silang sengketa dengan padepokan kami?" tegur laki-laki berjubah merah. Nada bicaranya penuh tekanan. Matanya menyorot tajam, seolah hendak menghujam jantung gadis yang bersenjata pedang ini.
"Kau Jaka Suprana, Ketua Padepokan Naga Merah?" gadis berbaju kuning keemasan bersenjata pedang yang agaknya menjadi pemimpin ini malah balik bertanya.
"Betul! Siapa kau?!" sahut laki-laki berjubah merah yang bernama Jaka Suprana, Ketua Padepokan Naga Merah.
"Aku Ratih, utusan pemimpinku. Kami dari Padepokan Merak Emas," jawab gadis bernama Ratih tegas.
"Mengapa kalian sampai membantai beberapa muridku?"
"Sebenarnya anak buahku tak bermaksud membunuh. Tapi justru murid-muridmu yang cari masalah. Ah..., sudahlah. Kedatangan kami bukan mempersoalkan murid-muridmu yang angkuh, melainkan menyampaikan tantangan dari pemimpinku," tukas Ratih.
"Tantangan apa?" tanya Jaka Suprana dengan kening berkerut.
"Pertarungan!" tandas Ratih.
"Pertarungan?" ulang Jaka Suprana. Keningnya makin berkerut.
"Aku tak pernah kenal pemimpinmu. Apalagi mempunyai persoalan. Jadi mana mungkin bertarung dengannya? Lagi pula, urusan apa sehingga dia menantangku?"
"Aku tak tahu. Tapi kalau kau menolak tantangannya, maka akan dianggap kalah. Dan kau mesti mengumumkan kekalahanmu di depan orang ramai."
"Gila!" maki salah seorang murid Padepokan Naga Merah.
"Guru! Biarkan kuhajar mereka sekarang juga! Biar mereka tahu, siapa sebenarnya Naga Merah!" sambut murid lain lebih berani.
Sret!
Pemuda itu sudah mencabut golok dan siap menerjang.
"Tahan, Ranta!" Jaka Suprana memberi isyarat Dan dengan sikap tenang, kakinya melangkah mendekati Ratih.
"Kau tahu, Nisanak. Aku tak mungkin berbuat begitu...," desah Jaka Suprana.
"Kalau begitu kau harus terima tantangan pemimpin kami!" sentak Ratih, makin berani.
"Baiklah. Tentukan kapan dan di mana?"
"Sekarang juga."
"Sekarang?!"
Jaka Suprana benar-benar mulai jengkel. Hatinya panas dipandang sebelah mata begitu. Padahal Padepokan Naga Merah yang didirikannya lima tahun lalu cukup dikenal padepokan silat yang memiliki guru berkepandaian tinggi. Tapi utusan dari Padepokan Merak Emas ini betul-betul menguras kesabarannya.
"Aku yang mewakili pemimpin kami untuk menghadapimu!" kata Ratih menegaskan.
"Hhh...!" desah Jaka Suprana, tak jelas.
"Kau telah terima tantangan. Bersiaplah!" Ratih tak peduli laki-laki itu mendesah menahan amarah, seperti lahar bergolak yang menunggu saat dimuntahkan. Secepatnya gadis ini lompat menyerang. "Heaaa...!"
"Huh!"
Jaka Suprana mendengus. Dengan kegesitannya, tubuhnya bergerak ke samping. Begitu tendangan Ratih dapat dihindarinya, langsung dilepaskannya hantaman kepalan kanan ke pinggang.
"Hiih!"
"Uts!"
Ratih mencelat ke atas. Setelah berputaran sekali, kedua kakinya menyapu tengkuk dan punggung. Jaka Suprana terkejut, secepatnya dia menjatuhkan diri, dan secepat itu pula melenting bangkit.
"Ayo, kerahkan segala kemampuan yang kau miliki!" ejek Ratih, langsung meluruk kembali.
"Keparat! Hup...!" Jaka Suprana melenting ke belakang membuat jarak. Begitu kakinya menjejak, dia melesat melepas serangan dengan tubuh berputar laksana gelombang di lautan.
"Jurus apa yang kau mainkan?" tanya Ratih, bernada mengejek. Tubuhnya meloncat ke sana kemari, menghindari serangan.
"Ini jurus 'Naga Merah Mengamuk'. Kau rasakan kedahsyatannya!" sahut Jaka Suprana, kian jengkel saja direndahkan begitu.
"Apakah ini jurusmu yang terhebat?"
"Aku masih punya sepuluh jurus hebat lainnya!"
"Bagus! Kalau begitu, cepat keluarkan semuanya. Jangan sampai ada yang tertinggal!"
Ratih kelihatan betul-betul menganggap remeh Ketua Padepokan Naga Merah. Agaknya dia terlalu percaya diri. Namun itu cukup beralasan, karena kemampuannya memang tinggi. Gadis itu mampu bergerak segesit walet dan secepat anak panah mendesing.
"Hap!"
Beberapa kali gadis itu melompat ke belakang menghindari terkaman. Sementara, Jaka Suprana betul-betul tak memberi kesempatan sedikit pun. Ratih telah mempermalukannya di depan murid-muridnya. Maka dia akan membalas secepat mungkin.
"Hiaaah...!"
Wut!
Tiba-tiba Ratih menjatuhkan diri. Dan dengan bertumpu pada kedua tangannya, kedua kakinya melebar sambil berputar di atas. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! Des!
"Aaakh!" Jaka Suprana menjerit tertahan saat dua pinggangnya terhajar kaki gadis itu. Dia mencelat ke belakang namun berdirinya tampak limbung. Mukanya kelihatan merah. Marah bercampur geram.
"Naga Merah Mengejar Awan..! Heaaa...!"
"Bagus, bagus...! Terus keluarkan semua jurus perguruanmu."
Jaka Suprana tak mempedulikan kata-kata bernada meremehkan yang meluncur dari mulut Ratih. Tubuhnya langsung meluruk deras mengerahkan segala kemampuannya. Dia ingin menjatuhkan lawan secepat mungkin dengan pukulan yang dahsyat bertenaga dalam tinggi yang bertubi-tubi.
Plak! Plak!
Dua pukulan beruntun Jaka Suprana berhasil ditangkis. Tubuh laki-laki ini langsung melesat ke atas untuk kembali melancarkan serangan dari udara. Tapi baru saja bergerak, Ratih telah menghadangnya dengan sambaran kaki. Maka secepat kilat Jaka Suprana mengibaskan tangannya.
Plak! Plak!
Begitu terjadi benturan, tiba-tiba Ratih menyodokkan kepalan kanannya ke dada. Angin serangan begitu kuat. Namun dengan menggunakan tenaga benturan tadi. Jaka Suprana cepat menghindar kebelakang sambil berputaran.
"Yeaaa...!"
Baru saja Ketua Padepokan Naga Merah itu mendarat, Ratih telah melesat dengan ujung kaki kanan mengarah ke wajah. Jaka Suprana berusaha menangkis, namun gadis itu cepat menarik kaki kanannya. Dan secepat kilat ganti kaki kirinya yang mengancam dada. Sehingga.,..
Des...!
"Aaakh...!"
Jaka Suprana kontan terjungkal roboh disertai teriakan keras. Dari sudut bibirnya terlihat darah kental menetes. Meski begitu, dia berusaha bangkit. Tapi Ratih tak memberi kesempatan. Kembali, tubuhnya berkelebat, ketika Jaka Suprana berusaha bangkit Dua kali tendangan langsung dilepaskan.
Des! Des!
"Aaa...!"
Ketua Padepokan Naga Merah betul-betul roboh. Pemuda itu megap-megap seperti ikan kekurangan air. Sementara murid-muridnya terkesiap. Mereka buru-buru mengerubungi. Namun sebagian lagi langsung mencabut golok seraya mengurung gadis-gadis di bawah pimpinan Ratih.
"Keparat!"
"Beri pelajaran saja!"
Suara-suara teriakan yang sarat kebencian terdengar dari mulut murid-murid. Namun semua itu hanya disambut senyum dingin Ratih. Bahkan dia memberi isyarat pada anak buahnya yang siap membantu agar tidak ikut campur.
"Serang...!"
Begitu terdengar teriakan bernada perintah, murid-murid Padepokan Naga Merah segera meluruk maju sambil mengibaskan golok. Ratih mendadak berkelebat dengan kedua kaki menyapu pergelangan tangan dua yang berada paling dekat.
Pak! Pak!
Kedua murid itu kontan melintir. Kesempatan itu digunakan Ratih sebaik-baiknya. Secepat kilat tubuhnya berkelebat kembali melepaskan hantaman maut.
Des...! Diegkh...!
Dua orang kontan terjungkal roboh tanpa sempat memekik, begitu hantaman Ratih mendarat telak di dada dan rahang. Namun gadis bernama Ratih semakin kesetanan saja. Bahkan seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Gadis itu terus melepaskan serangan-serangan dahsyat, melumpuhkan perlawanan murid-murid Padepokan Naga Merah. Maka dalam waktu singkat, tak seorang pun yang bisa bangkit lagi. Mereka merintih-rintih kesakitan. Sedangkan Ratih dan anak-anak buahnya hanya memandangi dengan sinar mata dingin.

***

Sepak terjang gadis-gadis yang mengaku berasal dari Padepokan Merak Emas tidak hanya menimpa Padepokan Naga Merah. Kali ini pun Padepokan Saka Buana yang sangat dikenal dalam rimba persilatan pun tak urung pula disantroni gadis-gadis itu.
Ketua Padepokan Saka Buana yang dikenal bernama Ki Jalasena sudah sejak tadi menahan geram melihat sikap sombong gadis cantik berbaju ketat kuning keemasan yang berada paling depan. Bahkan murid-murid laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun itu terus memberi dukungan.
"Apalagi yang kau tunggu, Ki Jalasena? Apa kau ingin jadi pengecut dengan menolak tantangan Ketua kami?" lanjut gadis berbaju kuning keemasan.
"Ayo, Guru! Tunjukkan pada mereka kalau kita bukan pengecut!" teriak seorang pemuda murid Padepokan Saka Buana.
"Kita harus buktikan kalau kesombongan mereka hanya omong kosong belaka!"
"Ayo, Guru! Tunggu apa lagi?!"
Ki Jalasena menarik napas untuk melonggarkan isi dadanya yang terasa sesak oleh hawa amarah. Matanya tak berkedip memandang gadis itu.
"Baiklah. Kuterima tantangan ketuamu...," tegas laki-laki tua berpakaian serba putih itu.
"Bagus! Kau boleh memulainya sekarang," sambut gadis berpakaian kuning keemasan yang menjadi pemimpin kelompok itu.
"Apa maksudmu?!" tukas Ki Jalasena.
"Kau bertarung melawanku!" tantang gadis itu.
"Nisanak! Jangan main-main kau! Ketuamu-lah yang mesti bertarung! Bukannya kau!" sentak Ketua Padepokan Saka Buana.
"Ketua kami memberi kepercayaan penuh padaku untuk mewakilinya. Kalau kau bisa mengalahkanku, baru boleh berhadapan dengannya," jelas gadis itu kalem saja.
"Kurang ajar!" bentak Ki Jalasena.
"Orang tua! Apakah kebisaanmu hanya memaki? Perlihatkan kehebatanmu sebagai Ketua Padepokan Saka Buana yang terkenal!" sindir gadis itu.
"Baik! Jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu!"
"Jangan khawatir! Aku pasti baik-baik saja."
"Anak sombong, lihat serangan!"
Begitu habis kata-katanya, Ki Jalasena menyodorkan kepalan kanan. Namun gadis itu cepat menepis dengan tangan kiri.
Plak!
Ketua Padepokan Saka Buana melanjutkan serangan dengan tendangan. Secepat kilat, gadis itu berkelit ke samping seraya menepis dengan tangan.
Pak!
"Heh?!"
Tendangan itu bertenaga kuat, karena Ki Jalasena ingin merasakan sampai di mana kehebatan tenaga dalam gadis ini. Tapi nyatanya setelah benturan barusan justru membuatnya kaget. Gadis itu sama sekali tak merasa sakit. Malah kaki laki-laki tua itu sendiri yang agak kesemutan.
"Boleh juga kau, Bocah!" puji Ki Jalasena.
"Maka itu, jangan sungkan. Atau kau mendapat malu di depan murid-muridmu," sahut gadis itu jumawa.
"Hehehe...! Anak bodoh! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa, he?!" balas Ki Jalasena, tak mau diremehkan begitu saja.
"Aku berhadapan dengan orang tua sombong yang merasa dirinya hebat!"
"Huh!" Diiringi dengusan keras, Ki Jalasena melompat sambil mengibaskan tela pak kirinya. Seketika serangkum angin kencang melesat disertai suara menderu tajam. Namun agaknya gadis itu tak terpengaruh sama sekali. Bahkan tubuhnya meluruk menyerang di antara desir angin serangan. Dilepaskannya hantaman tangan bertubi-tubi ke tubuh laki-laki tua itu.
"Yeaaa...!"
"Heh?!"
Ki Jalasena terkesiap. Buru-buru ditangkisnya serangan berantai gadis ini dengan tangannya. Sampai-sampai dia mesti bermain mundur beberapa langkah. Namun gadis itu tak memberi kesempatan sedikit pun. Tak hanya kedua tangannya, tapi kakinya pun ikut membantu serangan. Hingga pada satu kesempatan....
Desss...!
"Aaakh!"
Ki Jalasena mengeluh tertahan, ketika dada dan perutnya terhantam telak pukulan dan tendangan. Dengan terhuyung-huyung ke belakang dia mendekap dada dan perut Wajahnya merah menahan sakit Namun yang lebih berat lagi, dia harus menahan malu di depan murid-muridnya.
"Hebat! Hebat sekali kau, Nisanak. Siapa namamu?" puji Ki Jalasena berusaha bangkit berdiri dengan tertatih-tatih.
"Terima kasih, Orang Tua. Namaku Ayu Tantri!" sahut gadis itu.
"Kau pasti anak buah kesayangan ketuamu. Tepatnya orang terdekatnya yang bisa dipercaya," tebak Ki Jalasena.
"Begitulah. Tapi bukan hanya aku. Ada lebih dari sepuluh orang yang seangkatanku. Serta kurang lebih seratus orang yang satu tingkat kepandaiannya di bawahku," jelas gadis bernama Ayu Tantri.
Diam-diam Ki Jalasena mendesah kaget. Kalau orang kepercayaannya sudah begitu hebat, bagaimana ketuanya sendiri? Tak dapat dibayangkan, bagaimana hebatnya Ketua Padepokan Merak Emas itu. Namun begitu, mana mau kekagetannya diperlihatkan.
"Orang tua! Aku telah menjawab keingintahuanmu. Sekarang mari lanjutkan pertarungan kita!" tantang Ayu Tantri.
"Tentu saja! Aku jadi ingin tahu dan bertemu ketuamu!" sahut Ki Jalasena.
"Keinginanmu terkabul kalau kau bisa mengalahkan aku!"
"Kau akan kukalahkan, Cah Ayu!"
"Buktikan omong kosongmu!"
"Heaaat...!"
Dengan bernafsu, Ki Jalasena kembali menyerang. Kali ini dia tidak setengah-setengah lagi bertindak. Segala kemampuannya dikerahkan untuk menjatuhkan gadis itu secepatnya.

***

206. Pendekar Rajawali Sakti : Pangeran ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang