Aliran Mu’tazilah: Pemikiran dan SanggahannyaPenulis : Nia Istiani (IAIN PEKALONGAN,KOTA PEKALONGAN), Indonesia.
Sekte Mu’tazilah adalah sebuah sekte yang mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yang memilih untuk menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yang ia dirikan dijuluki dengan sekte Mu’tazilah yang diambilkan dari lafadz i’tazal (menyendiri/menyimpang) karena telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam.
Pada mulanya, Mu’tazilah yang diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dengan penetapan empat kaidah saja, yaitu:
Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yang telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap ilmu Allah tidak mungkin Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah dahulu niscaya akan ada dua hal yang dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah. Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yang dapat diukur tingkat keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut akan sirna karena tidak ada yang abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Dia akan membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu sebagaimana manusia yang membutuhkan otak dan hati sebagai tempat menyimpan ilmu.Walhasil, mayoritas sekte Muktazilah meyakini Allah mengetahui dengan dzatnya yang abadi tanpa melalui perantara ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo: Maktabah al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212). Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah adalah bersifat Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah tidak bersifat Qadim niscaya Allah awalnya tidak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan sebagaimana manusia yang terlahir bodoh tidak mengetahui apa-apa kemudian ia belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu tidak mungkin karena pendapat Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada Allah.
Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yang baik menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tidak boleh menghendaki keburukan kepada makhluk-Nya karena hal tersebut bertentangan dengan sifat Maha Penyayang dan Maha Pengasih yang dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga harus mengutus nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yang mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan seluruh keburukan yang dilakukan ataupun menimpa manusia adalah akibat dari perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.
Ketiga, menetapkan bahwa orang yang fasiq dan durhaka kepada Allah tidak termasuk golongan orang yang beriman dan juga bukan termasuk golongan orang kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tidak dapat disebut sebagai orang beriman. Karena hanya orang yang baik dan menjauhi maksiat yang pantas disebut orang beriman. Di sisi lain, orang yang fasik dan ahli maksiat juga bukan dari golongan orang kafir karena mereka telah membaca syahadat dan masih beriman kepada Allah.
Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yang bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yang akan kekal di neraka selama mereka tidak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dua kebenaran yang wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu kelompok yang salah dan berdosa dan ada satu kelompok yang benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yang bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah sebagai orang yang tidak pantas sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, mereka tidak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam.