"Kau bertanggung jawab atas semua kesalahan rekan-rekanmu?"
Sakura ingin membantah, berkata tidak dengan lantang di depan wajah sang atasan. Untuk apa dia membela para hama di depan sana? Untuk apa dia menyerahkan diri dan mendapat hukuman hanya agar nama baik mereka tetap terjaga? Apa yang dia dapatkan dari ini semua?"
"Kau diam saja?"
"Aku tidak bersalah." Sakura menggeleng yakin, berusaha untuk tetap tegar meski dirinya gemetar. "Sama sekali tidak bersalah. Ini bukan karenaku, bukan karena keteledoranku."
Bahkan dari pintu yang tertutup, Sakura bisa mendengar mereka semua mengumpat serta memaki dirinya. Berkata sumpah serapah hanya untuk melampiaskan rasa jengkel dalam hati. Oh, dia sudah terbiasa. Ini perkara mudah karena dirinya terlatih untuk mati rasa.
"Kalau begitu, kau bisa pergi."
Apa dia bisa bernapas lega sekarang? Tidak. Tidak mungkin mereka semua—para hama tidak berguna itu membiarkannya bernapas lebih lama.
Ketika pintu terbuka, yang terdengar hanya suara gerutuan. Cibiran menemani siangnya yang dingin. Suasana berubah kelam, meski matahari masih tinggi.
"Aku muak dengan para pencari perhatian. Dasar penjilat," tukas salah satu rekannya yang paling tua. Dia sebenarnya tidak bisa mengontrol orang lain dan bersikap seenaknya. Sakura sudah berhati-hati walau dirinya ikut tercebur ke dalam masalah. "Siapa pun harus berani mengembalikan nama baik kita semua. Ini demi tim dan reputasi."
Cih, reputasi.
Sakura muak menjadi sasaran kemarahan serta kegagalan para manusia tidak becus di dalam ruangan ini. Lima tahun dia bekerja, apa yang dia dapatkan selain depresi dan tekanan kerja tinggi? Tidak ada. Dia bahkan merasa kesepian dari hari ke hari. Siapa pun tak mampu mengatasi rasa sakit ini.
"Kau ingin ikut kami pergi minum nanti malam, Sakura?" tawar salah satu rekannya yang mendapat delikan tajam. "Sebagai imbalan karena kau berani menantang bos tadi. Kami menghargaimu."
Pendusta.
Kalian semua berbohong.
"Aku akan langsung pulang," sahutnya tanpa ekspresi. "Terima kasih telah menawariku duduk bersama."
"Ini minum, bukan ajakan kencan. Kau berlebihan."
Senyumnya terulas malas. Meski dirinya tahu ini hanya ajakan basa-basi dan akan terjadi sesuatu setelahnya, Sakura perlu bersikap sopan. Dia yang paling muda, paling sebentar dan merasa tidak memiliki pengalaman serta kuasa apa pun. Lima tahun tak lantas membuatnya mampu beradaptasi dengan benar.
Tetapi malam itu berbeda. Hujan deras mengguyur kota sampai rasanya jalanan tidak lagi terlihat. Orang-orang berusaha berlari mencari tempat untuk berteduh. Melindungi barang berharga mereka dan berusaha mengusir dingin yang merayapi tulang.
Sakura baru kembali pukul sembilan malam. Memilih bergelung di dalam kantor, bekerja sampai larut dan berharap ketika tiba di rumah dirinya langsung tertidur, tanpa memikirkan kegelisahan apa pun. Nyatanya, dia harus terlambat pulang.
Tidak ada taksi yang berhenti untuk menepi mencari penumpang. Satu-satunya opsi adalah berlari menuju halte terdekat dan pulang dengan bus umum. Sakura sudah berpikir matang untuk pergi dengan transportasi biasa, bersiap melindungi tas dan dirinya dari tiupan angin dan hujan.
Mobil itu menerobos lampu merah setelah menabrak pemotor yang berhenti di depannya. Tidak peduli setelah mendapat klakson bertubi-tubi, kecepatan kencang itu tidak lagi terkendali dan oleng. Sakura nyaris menyentuh lantai halte sebelum orang-orang menjerit, memberi peringatan pada dirinya segera mundur dan menjauh.