Siapa pun, tolong bicara sesuatu.
Semua orang terpana, melihat aksi spontannya yang menyurut suasana sampai ke titik mendidih. Ibunya hanya bisa memasang senyum, sekaligus merasa bersalah karena wajah pangeran bengis itu berubah nyaris ke arah muak.
Sakura benar-benar membuat kekacauan. Bagaimana pun, dirinya tidak buta dan bisa melihat arti tatapan pria itu pada Karin seutuhnya tanpa terkecuali. Tadi, dirinya membuat kesalahan dengan bertingkah memalukan. Sekarang, semua bertambah rumit.
"Aku rasa percakapan kita selesai sampai di sini."
Jadi, dia ditolak?
"Heh?"
"Yang Mulia," Lilia ikut bangun bersama sang suami, membungkuk sopan dan membiarkan sang pangeran Andalucia beranjak pergi begitu saja. Di mana tata krama yang diagungkan semua orang itu?
"Sakura?" Karin mencelus tak percaya pada sang adik. "Kau seberani itu walau tahu hasilnya sia-sia?"
Lalu pada Sakura yang berlari mengabaikan. Ayahnya terlihat khawatir dan sang ibu tidak bisa berbuat lebih. Kelakuan putrinya pasca kecelakaan dan kritis itu benar-benar membuat cemas banyak orang. Sakura tampil sebagai sosok lain dan mereka berusaha menerima kehadiran sifat baru putrinya.
"Tunggu."
Tidak ada sahutan. Pria itu malah melengos berjalan begitu saja seolah yang berteriak adalah angin.
"Hei, tunggu dulu."
Kali ini sang tangan kanan berhenti, berbalik memandang Sakura iba dan memelas. Seakan tatapan matanya memberi isyarat baginya untuk diam, jangan banyak tingkah atau mendekat.
"Kau!"
Pekikannya berhasil membuat sang pangeran berhenti berjalan. Tubuh tegapnya berbalik intens, yang membuat Sakura kehilangan napas karena terintimidasi, bukan akibat wajah tampan nan mempesona itu.
"Apa?"
"Anda mendengarku tadi," ujarnya mencoba bertahan. Kalau saja iris gelap itu berubah menjadi pedang, dirinya sudah terbelah menjadi empat bagian. "Tentang perasaanku."
"Perasaan?"
Sang pangeran merespons dengan dingin, mencibir keras. Jelas sekali kalau sorot matanya mencemooh. "Kau berlaku tidak sopan sebelumnya dan bicara tentang perasaan. Apa yang kau pikirkan sekarang?"
"Aku hanya—,"
Pangeran muda itu memicing, menilai penampilan Sakura dari atas sampai bawah dengan pandangan merendahkan. "Kau adik Karin, tetapi sama sekali tidak terlihat di mataku sebagai sosok yang sempurna. Dirimu tampil seperti manusia biasa."
Memang. Dia hanya manusia biasa. Ini tampilan aneh karena sosoknya terbangun di masa lalu.
"Aku menyukai Anda."
Gila.
"Kau sudah gila," sungutnya menahan jengkel. "Kepalamu terbentur batu cukup keras karena lalai saat menunggang kuda rupanya berakibat fatal padamu."
Sakura mundur untuk membungkuk, masih memasang wajah datar seolah tidak terpengaruh meski dadanya berdebar keras, hampir meledak. "Maafkan kebodohanku tadi. Aku hanya berpura-pura dan itu tidak serius. Tetapi soal perasaan, aku tidak main-main. Ini serius."
"Aku terbiasa mendapat penolakan," akunya pahit sembari menekan lidah ke langit mulut saat membuka kenangan. "Namun kali ini aku bertekad untuk berhasil."
"Kau punya rencana lain?" tanya sang pangeran dingin, tatapan matanya menilai tajam. "Seperti menghancurkan dinasti keluargamu sendiri atau mencari bala bantuan di saat terdesak dari keluarga Bengaria?"