[1] Tempat Pembuangan Sampah

4 0 0
                                    

Lima tahun silam.

Zea terdiam di meja makan. Tersenyum masam. Setiap malam, selalu saja begini. Zea tidak pernah bisa menikmati makan malamnya dengan tenang. Suara benda jatuh, kaca pecah, dan teriakan amarah selalu menjadi pendamping makan malamnya. Itu hanya permulaan.

Setelah makan malam, ibunya lebih dulu pergi ke kamar. Sedangkan ayahnya mulai melampiaskan kemarahannya pada Zea. Di pukuli itu sudah biasa. Ia hanya bisa pasrah. Menerima semua yang ayahnya lakukan.

Hingga suatu hari, ia mendengar keributan di kamar ibunya. Kali ini bukan keributan biasa. Zea yang penasaran segera berlari ke kamar itu. Awalnya hanya mengintip dari balik pintu. Hanya saja semakin lama Zea semakin tertarik. Ia benar-benar masuk ke dalam kamar.

Tertawa. Tawanya terdengar sangat renyah. Akhirnya Zea bisa kembali tertawa setelah sekian lama.

Ia melangkah perlahan. Masih dengan tawanya yang amat menggemaskan. Kaus kakinya yang putih tak sengaja menginjak sebuah noda. Membuatnya berwarna merah. Duduk di sebelah kedua orang tuanya. Menatap lamat wajah ibunya, kemudian ayahnya. Kembali tertawa. Namun tawa yang tadinya menggemaskan kini berubah menjadi tawa mengerikan.

"Zea sayang papa mama", ujarnya sambil terus tertawa, diikuti tepuk tangan kepuasan.

***

Tahun 2021

Zea hanya seorang anak SMA biasa. Umurnya kini enam belas tahun. Ia menjalani hari-harinya layaknya seorang gadis SMA pada umumnya. Hanya saja ia tidak mempunyai teman.

Sebenarnya ada banyak orang yang mendekatinya. Entah itu mengajak berkenalan, sampai yang menyatakan cinta juga banyak. Tidak heran karena Zea cantik. Tapi kebanyakan hanya di jawab singkat dan di balas senyum kecil.

'Nama kamu siapa? Boleh kenalan?'

'Zea'

Kira-kira seperti itu. Bahkan ada yang Zea abaikan begitu saja. Gaya bicaranya tidak sopan. Walaupun sebenarnya gaya bicara tersebut sudah lumrah digunakan oleh para remaja, Zea tetap tidak suka.

'Lu pindahan dari mana? Nama lu siapa? Bagi nomor telfon dong'

Zea hanya tersenyum kecil. Ia tak peduli mau dibilang apapun oleh mereka. Toh mereka hanya tidak terima diabaikan, jika di tanggapi mereka malah senang. Makanya dibiarkan saja.

"Heh itu yang dipojokan, coba ulangi yang saya jelaskan tadi", panggil seorang guru di depan.

Zea menoleh bingung. Melihat sekitar. Teman-temannya menertawainya.

"Nggak bisa jawab kan? Makanya kalau guru sedang menerangkan diperhatikan. Jangan malah ngelamun. Kamu masih butuh ilmu untuk ke depan. Jadi kamu harus-"

Guru di depan masih berbicara panjang lebar. Zea hanya menunduk. Menghela nafas. Ia mengakui kesalahannya.

Bel istirahat berbunyi. Semuanya pergi ke kantin. Menyisakan Zea di pojok kelas. Ia sengaja tidak ke kantin. Disana ramai. Zea tidak suka keramaian. Lebih baik disini.

Sejak tadi ia sudah tidak tahan. Zea mengeluarkan cutter dari saku bajunya. Dan mengambil kantong plastik hitam di dalam tasnya.

Sebuah 'tikus'.

Kejadian lima tahun lalu membuat Zea menjadi seperti ini. Mempunyai hasrat membunuh yang besar. Saat ini memang hanya tikus. Entah besok, tahun depan, atau mungkin sepuluh tahun lagi. Ia ingin mencoba membunuh manusia. Tidak. Zea benar-benar ingin membunuh manusia.

Tidak ada yang tau tentang hal ini. Tidak ada yang tau tentang masa lalu Zea. Zea juga enggan menceritakannya. Itu hanya akan mengingatkannya kembali.

Tikus itu mencicit. Saat Zea hendak menggoreskan cutter itu ke perut si tikus, tiba-tiba ada seseorang masuk. Spontan membuat Zea menjatuhkan cutternya. Sementara tikus itu berlari pergi. Orang yang masuk juga ikut terkejut. Mungkin ia mengira tidak ada siapapun di kelas. Jadi main masuk begitu saja.

"Kamu lagi ngapain?", tanya cowok itu polos.

"Nggak", Zea menggeleng. Dengan cepat mengambil kembali cutternya.

'Sialan!' umpat Zea di dalam hati.

'Bodoh sekali aku! Melakukan hal macam ini di dalam kelas'

Pikiran Zea saat ini sedang kacau. Ia benar-benar tidak tau tempat. Keinginan membunuh itu menguasai kepala Zea.

"Kamu nggak papa?", dia berjalan mendekat.

Zea masih sedikit takut aksinya tadi ketahuan. Namun sepertinya orang ini tidak melihatnya. Jadi ia berusaha tetap tenang. 'Tidak akan terjadi apa-apa'

Lagi-lagi Zea menggeleng.

Cowok itu mangut-mangut. "Oh iya, saya Ardan. Dari kelas X IPA B. Kamu?"

"Zea"

"Zea. Oke salken yah. Semoga kita bisa jadi temen", dia tersenyum.

Zea mengangguk. Berharap cowok ini segera pergi.

"Maaf, aku ganggu ya. Yaudah, aku pergi dulu. Daa", dia melambai pada Zea.

Zea hanya tersenyum kaku.

'Cowok ini boleh juga'

***

"Zea pulang..."

Zea melangkah masuk ke dalam rumah. Menyalakan lampu. Sudut ruangan yang awalnya gelap kini menjadi terang. Pemandangan biasa bagi Zea. Ia punya banyak koleksi tikus. Bentuknya juga beragam. Ada yang kepalanya saja, ada yang perutnya setengah terbuka-menampakkan organ didalamnya, dan banyak lagi. Semua itu Zea tata rapi di sebuah kotak kaca. Bagaikan pajangan benda berharga. Sementara yang belum selesai, di gantung di tembok. Dan, semua ini ada di ruangan 'spesial' miliknya.

"Sialan! Aku lupa buang sampah", mata Zea menangkap kantong plastik besar di pojok ruangan 'spesial' nya.

Zea tidak sempat berganti baju. Ia harus cepat-cepat membuang sampahnya sebelum diketahui orang lain. Di dalam kantong plastik itu adalah karyanya yang tidak ia sukai. Alasannya banyak. Karena bentuknya terlalu biasa. Atau bahkan tikus yang sudah mati sebelum di otak atik.

"Membunuh sesuatu yang udah mati itu kurang seru. Zea nggak bisa tau reaksinya", Zea pernah bilang itu satu tahun yang lalu.

Sekarang ia sudah berada di pembuangan sampah dekat rumahnya. Meletakkan sampahnya dan segera pergi. Di saat yang sama, seorang gadis yang mungkin sebaya dengan Zea juga membuang sampah. Sebuah keresek yang lebih besar dari kereseknya tadi. Gadis itu menghela nafas. Tampaknya ia kelelahan setelah membawa kresek besar itu.

Zea menoleh ke belakang, namun gadis itu lebih dulu berbalik badan. Ia mengenakan hoodie pink dan rok pendek. Juga sarung tangan(?)

Yah, saat itu Zea berusaha untuk tidak curiga. Maksud gadis itu mungkin agar tangannya tidak kotor. Bukannya itu sudah wajar? Itu yang Zea pikirkan. 'Ia bukan pembunuh seperti mu Zea. Ia hanya gadis biasa'

Sejak dulu Zea ingin mempunyai teman yang sama dengannya. Ia ingin mempunyai rekan. Sayangnya mencari orang seperti itu cukup sulit. Bukankah mereka cenderung menyembunyikan kepribadiannya. Tidak ada yang mau identitasnya diketahui. Apalagi sampai ketahuan membunuh.

Zea lanjut melangkah. Tanpa ia sadari. Gadis itu juga mengamati Zea. Berpikir hal yang sama. Ah tidak, gadis itu sudah tau.

"Sampai ketemu lagi, gadis spesial", ia tersenyum lebar. Mengambil sesuatu dari saku. Mengibaskan tangannya. Sialan! Ia lupa membersihkan darahnya.




***

Tunggu part selanjutnya ya...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi! Different GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang