Dua tahun setelah lulus dari SMP, kupikir masa SMA ini akan berjalan bahagia dengan yang seandainya. Ternyata tidak, banyak hal yang aku pikir akan baik-baik saja malah jadi yang sebaliknya. Apalagi setelah aku berpisah dengan sahabatku.
Tidak, aku tidak sedih karena berbeda sekolah. Yang jadi titik kesedihanku adalah ketika dia berubah dan tidak lagi menoleh ke arahku sekalipun dia sedang terluka.
Dan seseorang yang sampai sekarang masih menjadi penghuni spesial di dalam hidupku. Orang kepercayaan yang aku sendiri tidak tahu kenapa bisa sepercaya itu kepadanya padahal aku baru mengenalnya dua hari dan langsung kunobatkan sebagai place curhat terbaik, Bima Santoso. Nama belakang itu nama Bapaknya, kata dia.
Kalau ditanya apakah aku mempunyai banyak kenangan bersama Bima aku jawabnya tidak. Kenapa? Karena waktuku untuk dia hanya ada di sosial media pun sebaliknya dengan dia walaupun sempat satu sekolah dua tahun itu tidak membuatku dan Bima sering berkomunikasi secara langsung di sekolah, bisa dibilang tidak pernah. Ya, hanya dua tahun karena dia adalah abang kelasku.
Di kelas dua SMP aku mulai memiliki rasa kagum padanya, padahal dia sendiri mengecap aku sebagai 'ratu gamon' karena hal yang aku ceritakan padanya hanya tentang mantan, mantan, mantan, dan lagi-lagi hanya mantan, pura-pura gamon aslinya mengagumi seseorang dalam diam.
Dan sempat dia bertanya, "Lo benar-benar nggak mau move on?"
"Lagi males."
Benar-benar malas karena kalau aku sudah move on, pasti akan sangat jarang aku menghubungimu, Bima. Ya seperti itulah kebanyakan isi percakapan aku dan Bima.
Hari ini sangat panas, lebih panas dari biasanya. Satu botol air dingin tidak cukup untuk menyejukkkan tenggorokan apalagi hati. Karena aku baru saja membuka Instagram dan melihat story Bima yang baru saja memposting foto berdua dengan pacarnya. Iya, dia sudah punya pacar lagi setelah putus dari mantannya di SMP.
"Nyesek, tapi bukan siapa-siapa hahah. Sabar ya Kiara." Aku mengelus dada untuk menetralisir rasa sesak.
Jatuh cinta sendiri tidak selalu menyenangkan. Jatuhnya bikin sakit, cintanya yang bikin lelah kalau tidak ada juga balasan. Entahlah, keduanya sama-sama sulit untuk dijelaskan.
"Ki, lo nggak ikut main?" Tanya Zaskia teman sekelasku yang baru saja menghampiriku dari lapangan.
"Nggak deh, capek." Setelah mengatakan hal itu aku langsung berdiri dan meninggalkan Zaskia dengan wajahku yang benar-benar sudah lelah padahal aku hanya duduk saja menonton yang lain bermain basket karena ada classmeeting hari ini.
Baru saja aku ingin tidur di bangku tempatku belajar, ponselku berdering lama menandakan ada sebuah panggilan masuk.
Kubaca namanya, ternyata Bima yang menelpon, "Tumben."
Aku langsung mengangkatnya, "Halo? Kenapa bang Bim?"
"Bisa bantu gue nggak?"
"Bisa, bantu apa emangnya?"
"Kita ketemu di kedai kopi sebelah SMP ya, nanti gue ceritain."
"Jam?"
"Pulang sekolah jam berapa lo?"
"13.40"
"Jam dua gue jemput, share loc aja alamat lo."
"Oke."
Tutt...
Bima langsung mematikan teleponnya. Aku jadi penasaran apa yang akan dia ceritakan, lama sekali menunggu waktu pulang sekolah karena sekarang masih pukul 12.50 masih ada sekitar satu jam kurang lebih.
"Kira-kira apa yang mau Bang Bim ceritain ya? Ah nggak tau deh."
****
"Kiara, lo benar nggak mau ikut kita?" Tanya Mona yang merupakan teman sekelasku juga, ia sibuk mengajakku untuk pergi bermain tapi karena sudah ada janji, jadi mereka aku tolak.
"Maaf ya, gue beneran ada janji."
"Yahh ya udah kalau gitu, kapan-kapan ikut lo ya!"
"Iya Mona, makasih ya udah ngajak gue."
"Ya, gue duluan."
Baru saja Mona pergi, tiba-tiba motor X-Max Hitam berhenti di depanku. Aku tahu persis itu adalah motor Bima.
"Kok sekarang? Inikan belum jam 2."
"Biar cepat. Gue antarin lo sekalian pulang ganti baju dulu biar nggak diomelin Mama lo."
"Ya aku mana boleh keluar bareng cowok, Bang Bim."
"Gue nanti yang izinin."
"Ttapi-"
"Naik aja dah, nggak perlu takut."
Akhirnya aku pun pulang dengan Bima, ia benar-benar mengantarkan aku sampai depan rumah dan benar-benar ingin menemui Mamaku.
"Mana Mama lo?"
"Masuk dulu."
Baru saja aku ingin membuka pintu, pintunya sudah terbuka duluan dan menampakkan Mamaku yang cantik jelita keluar rumah.
"Loh ini siapa Kiara? Ajak masuk lah!"
"Eh Tante, permisi Tante saya Bima teman Kiara. Boleh nggak saya ajak Kiaranya keluar sebentar."
"Kok beda seragamnya sama Kiara?"
"Kita beda sekolah Tan, saya teman SMP nya."
Aku sudah keringat dingin, takut Mama marah kepada Bima karena berani mengajakku keluar.
"Terus ngapain kamu ajak Kiara keluar?"
"Mau main aja Tan, boleh ya?"
"Oh ya udah, Kiaranya ganti baju dulu ya. Kamu masuk dulu sekalian tunggu Kiara."
Benar-benar tidak percaya dengan jawaban Mama. Aku pikir Mama akan marah karena aku diantar laki-laki dan diajak keluar. "It's my dream, Ma. Kenapa nggak dari dulu begini."
Aku langsung mengganti seragamku setelah Mama suruh dan Bima menungguku di ruang tamu.
Aku tidak ingin memakan waktu lama, aku hanya memakai pakaian sederhana dan langsung menghampiri Bima yang sudah menunggu.
"Yuk!"
Setelah berpamitan dengan Mama, aku dan Bima langsung pergi menuju kedai kopi dekat SMP. Bima tahu aku suka nongkrong di sana bersama temanku, makanya ia mengajakku ke sana.
***
"Lo tahu dia siapa?"
###
Banyak hal yang harusnya aku tinggalkan di tahun yang penuh kesedihan. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan sesuatu yang belum selesai bahkan belum pernah dimulai, apapun itu termasuk perasaanku.
Vote boleh kali ya. Ngetiknya perlu tenaga dalem, menguras banyak energi karena gue nggak punya orang dalem buat ngetik ini.
Terima kasih 🙏
Jangan lupa follow, cari aj Instagram gue, terserah mau pake nama apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisa Rasa
Teen FictionDengan memulai cerita ini aku tahu akan ada banyak risiko yang harus aku terima. Apa pun itu semoga sisa rasa yang ada mendarat di tempat yang semestinya. https://pin.it/18iZt8O (sket orngnya dri sini ya fren, sisanya dari canva)