Jeje's POV
----------
Mereka bilang jatuh cinta itu indah. Perasaan layaknya menikmati malam yang selalu diterangi oleh cahaya bulan bersamanya juga menyaksikan matahari terbit dalam pelukan satu sama lain. Perasaan membara yang serasi dengan warna langit cerah yang membiru dan jutaan galaksi yang menyelimuti jiwa saat aku menatap matanya.
Namun, mereka lupa menyebutkan bahwa jatuh cinta juga menyakitkan bahkan jika cerita itu harus berakhir.
Sudah hampir tiga tahun lamanya dan sampai sekarang aku masih bertanya-tanya dalam benak, sebenarnya cinta itu seperti apa? Catatan-catatan kecil yang kamu tulis untukku, lagu-lagu yang sering kamu nyanyikan untukku, caramu memelukku begitu erat seolah-olah aku begitu rapuh untuk dilepas, tawa yang kita bagi bersama, kekhawatiranmu yang terlihat jelas dari raut wajah ketika mendapati wajahku yang sedikit pucat dan gegas bertanya apakah aku baik-baik saja, dering ponselku yang selalu terdengar di pagi hari dengan suara serakmu yang terdengar di ujung telepon seolah-olah akulah orang pertama yang selalu kamu sapa ketika kamu hendak mengawali hari, dan segala hal yang telah kamu lakukan untukku.
Apakah itu cinta? Harusnya seperti itu, bukan? Apa lagi yang bisa terasa seindah ini bahkan sekalipun hanya dalam kenangan dan kilas balik memori?
Ah, aku sudah melupakannya, kurasa. Namun, aku selalu berharap aku akan menemukan sesuatu seperti yang pernah kita miliki, singkat namun terasa kuat dan hidup.
Aku ingat senja terakhir yang kita nikmati bersama sebelum akhirnya kita memilih jalan yang berbeda. Atau lebih tepatnya, kamu yang mengawali kita sudah tidak searah lagi. Jika itu cinta, mengapa harus kita akhiri?
April 8, 2010
"Aku pernah menjadi layaknya pahlawan," suaranya serak saat ia tiba-tiba berbicara setelah keheningan beberapa saat menyelimuti kita. Kita terlalu sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing sembari sepasang mata kita berusaha mengabadikan keindahan danau di hadapan kita dengan suara air gemericik pelan disertai semburat warna jingga tampak muncul dibalik pepohonan rindang di sebelah barat.
Ekspresi yang Bimala tunjukkan berubah, seolah-olah ia sangat terluka. Sorot matanya sedingin dan sekuat badai salju.
"Rasanya seperti selama ini aku berhalusinasi dan di saat yang bersamaan ingin menyelamatkan orang-orang yang aku sayangi," Bimala berhenti sejenak lalu melanjutkan, "tapi tahu, nggak?"
Aku tetap terdiam sambil menatap sisi samping wajahnya--yang masih tidak menoleh ke arahku, menunggunya menjelaskan maksud dari kalimatnya beberapa menit lalu.
"Hidup nggak akan membiarkan kamu menjadi pahlawan. Hal itu hanya membuatmu hancur, mengobrak-abrik jiwamu, sampai akhirnya kamu berlutut kemudian menyerah."
Aku bisa melihat Bimala menggertakkan rahangnya dengan kaku. Lalu ia menoleh ke arahku. Menatapku dengan lekat. Dalam sepersekiandetik, selama aku bersamanya, baru saat itulah aku seakan tidak mengenal sepasang mata yang tengah menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SUNSET IS BEAUTIFUL, ISN'T IT?
RomanceThey told me falling in love was pretty. But they forgot to mention it was painful too when it comes to over. - Jeje ------- Sequel from "The Moon is Beautiful, Isn't It?" with Jeje's POV