ABAI

4 0 0
                                    

Pagi menjelang siang, tepat di acara pertemuan relawan kesehatan mental universitas pusat kota. Aku menghembuskan nafas perlahan, dengan jantung yang berdegup kencang. Keringat dingin mengalir, meski tidak sampai membasahi baju ku tetap saja terlihat jelas kalau aku sedang gugup.

"Tarik nafas dan keluarkan perlahan, kamu hanya kaget karena diminta memberi sambutan mendadak, kamu sudah cukup terbiasa bicara didepan umum, jadi bukan masalah besar" ucap Sela, temanku menenangkan

"Bukan masalah besar bagaimana? 2000 mahasiswa dari 30 universitas berkumpul di satu aula megah akan mendengarkan sambutan dari ku yang amatir ini sel, salah sedikit saja akan membuat ku terpojok habis-habisan, dan jangan lupakan, ini pengalaman pertama kali" aku menjawab dengan intonasi pias, sungguh aku cemas

"Segala sesuatu selalu dimulai dari yang pertama bukan? Kamu ga amatir An, aku tau itu. aku menemani mu dari 6 tahun lalu, kamu punya banyak penghargaan dan pengetahuan yang cukup di bidang ini, kamu juga sudah sering mengisi seminar, kamu telah berproses"

Belum selesai aku mengangkat suara untuk berdalih tiba-tiba panggilan atas nama ku terdengar, menggema di sudut-sudut ruangan, menembus 2000 pasang telinga yang tengah duduk sambil menggenggam catatan. Aku menahan nafas sambil merutuki Arya dalam hati, ketua komunitas yang mendadak harus keluar kota itu betul-betul membuat ku ingin meledak, bisa-bisanya dia pergi tanpa merasa harus datang. Bukankah acara ini adalah impiannya? Pencapaian nomor wahid yang ingin dia raih? hutang yang harus di bayar tuntas? Dan ya Tuhan, dia bahkan mengorbankan 2 kali wisudanya untuk ini

Aku pasrah, terdiam beberapa saat

"Awali saja dengan senyum dan salam, mudah bukan?" Bisik Sela menyeringai. Suka sekali dia meledek

Ingin aku cubit tangan Sela, namun terlanjur lemas

"Doakan aku sel, aku janji akan mencubit pipi mu setelah turun dari panggung" aku mengancam

"Hahaha aku tunggu cubitannya, aku jamin akan menghindar sebelum tersentuh"

Aku balik badan, menegakkan pandangan, memasang wajah paling sempurna. Mulai melangkah dengan gaya yang tidak terlalu menyedihkan. Ku kira.

"Selamat pagi hadirin sekalian, salam sejahtera bagi kita semua" ku buka sambutan dengan sapaan klise, menyapu seluruh isi kursi dengan tatapan mantab

"Langsung saja, manusia seringkali terlibat atau malah melibatkan diri dalam kehidupan yang tidak ia suka. kesepian, resah, takut, cemas. Dan segala bentuk rasa sakit yang datang. Di Indonesia sebanyak 1.800 orang berusia 15-35 tahun bunuh diri setiap tahun, usia yang cukup disayangkan karena saat-saat itu adalah waktu produktifitas seseorang" aku berhenti sejenak, melihat audience untuk memperkirakan tingkat ketertarikan

"Manusia menjadi sangat amat sensitif mentalnya, karena bertambahnya waktu, pengetahuan menampakkan sisi teoritis dan analogis yang lebih kuat dan gampang terjangkau informasi nya. Sehingga membuat manusia lebih mudah mengerti akan perasaan dan sebab akibat kenapa ia begini dan begitu".

"Izinkan aku menceritakan kisah sahabat ku yang terpapar skizofrenia selama 8 tahun, bahkan hinga detik ini dia masih berusaha berdamai dengan rasa sakitnya. Kita panggil saja Ratih. Kisah ini dimulai sejak Ratih bertemu dengan seseorang yang amat dia sayangi, sampai beberapa waktu kemudian Ratih selalu saja dibuat merasa bersalah, selalu harus lebih dulu meminta maaf atas kejujuran yang pada saat mengatakannya dia benar-benar mengumpulkan seluruh keberanian. Ratih berusaha memberikan perhatian penuh, bertanya kabarnya, bercerita tentang hari-hari yang dilalui dengan apa adanya meski balasan yang ia terima selalu singkat, seolah dia tidak betah berlama-lama mengobrol dengannya". Aku menelan ludah, mulai mengingat lagi cerita masa lalu sahabat ku

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ABAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang