#1

8 5 0
                                    

Sang surya belum menampakkan dirinya. Langit masih gelap gulita, ditemani awan-awan tipis yang bergelantungan. Tidak banyak manusia yang melakukan kegiatan di subuh ini. Lampu-lampu rumah masih padam, menandakan sang pemilik masih terlelap. Ayam jago pun masih terkurung di dalam kandangnya.

Hidup ini susah.

Seorang gadis berambut coklat bergetar kedinginan. Tubuhnya dipenuhi penuhi tetesan dinginnya air pagi. Walaupun sudah setiap hari ia begini, tubuhnya masih tidak bisa menerima itu. Gadis bernama Rania itu mulai mengenakan pakaiannya. Kaos hitam yang warnanya mulai pudar dipadukan dengan celana jeans berwarna biru yang kemarin dipakai juga. Rania mengenakan riasan tipis saja. Hanya riasan dasar seperti lipstick dan perona pipi, agar terlihat segar dan enak dipandang. Rambutnya ia biarkan tergerai agar leher belakangnya tidak membeku. Jaket tipis berwarna hijau tua ia pakai dengan cepat.


Cklak!

Begitu pintu dibuka semilir angin langsung menampar wajahnya. Hawa dingin itu langsung menusuk dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tentu saja Rania langsung menggigil merasakan terpaan angin dini hari. Jaket tipis itu tentu tidak dapat menahan betapa tajamnya hawa dingin. Rania tidak memiliki jaket lain, hanya itu jaket yang kini ia punya. Sebenarnya uang yang ia dapat cukup untuk membeli pakaian yang lebih nyaman, namun Rania memilih untuk menyimpannya.

Rania meninggalkan kamar kecilnya. Menatap langit berawan yang gelap. Hari Rania dimulai sangat pagi, seperti biasanya. Rania berjalan dengan terburu-buru menuju salah satu toko kelontong di ujung jalan. Dia bekerja paruh waktu di toko itu. Setiap pagi, dia harus memeriksa data-data barang yang baru dikirim. Saat malam hari, dia akan berjaga sampai tengah malam. Rania memeriksa dengan teliti. Semuanya sudah tepat seperti data. Rania bergegas ke tempat kerjanya yang kedua, restoran.

1 jam. 2 jam. 3 jam. 4 jam. 5 jam.

Akhirnya selesai juga pekerjaan Rania. Dia segera mengganti bajunya, ada kelas siang ini. Rania bergegas mengganti pakaiannya, dia harus segera datang ke kampus. Rania anak yang pintar. Dirinya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Rania harus menjaga sikap dan nilai agar beasiswa itu tidak dicabut. Seperti selalu datang tepat waktu dan nilai yang nyaris sempurna. Kerja keras bagaikan kuda itu terbalas dengan Rania menjadi mahasiswi dengan nilai terbaik. Entah bagaimana dia bisa membagi jadwal antara bekerja dan belajar. Dua hal itu adalah kegiatan yang sukar dilakukan secara bersamaan.

"Malam ini lo datang?" Zahra. salah satu teman dekat Rania menghampiri. "Iya, dapet sif malam juga." Rania menyemprotkan parfum aroma stroberi, menghilangkan bau masakan yang menempel di badan. "Gue duluan ya!" Rania dengan tergesa-gesa keluar dari restoran, dia harus mengejar bus.

Keberuntungan tidak memihak Rania. Ia bisa melihat bus yang harus dinaikinya sudah pergi. "Sialan!" Rania berlari. Dia tidak punya pilihan selain berlari ke kampusnya. Bisa saja dia naik taksi, namun dia tidak ingin mengeluarkan banyak uang.

Lampu merah menyala, Rania langsung berlari menyebrangi jalan besar, tidak memperhatikan kanan atau kiri. Di pikirannya dia harus mengikuti kelas hari ini.

CKIIITTT...

BRUUUKKK...

Rania tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya merasa tubuhnya melayang di udara lalu terjatuh mengenai sesuatu yang keras dan terguling ke bawah. Semuanya terjadi begitu cepat, Rania tidak bisa merasakan apa-apa. Otaknya seakan tidak bisa berpikir. Namun dia tahu satu hal yang pasti, dia sekarat.

Walaupun tubuhnya terpental lalu terkapar di atas aspal yang panas terkena sinar matahari, dia tidak merasakan sakit yang luar biasa. Dia bisa merasakan sesuatu mengalir di punggungnya, namun dia tidak bisa bergerak. Wiiiuuu wiiiuuu wiiiuuu! Sirene ambulans terdengar dari jauh.

Cahaya matahari tertuju ke arah Rania. Mata Rania menyipit, cahaya matahari itu terlalu cerah. Rasanya ingin dia memejamkan mata. Namun Rania tahu, dia harus menjaga kesadarannya untuk tetap hidup. Walaupun kalau dia mati sekarang tidak ada ruginya.

Tapi sepertinya dia memang ditakdirkan untuk mati hari ini. Semuanya perlahan menghitam. Tidak ada lagi pohon-pohon atau cahaya matahari yang menyilaukan. Tidak ada lagi belajar atau bekerja. Hidupnya berakhir sampai sini.

Teriakan orang-orang akhirnya terdengar di telinga Rania. Kegelapan perlahan-lahan mengambil alih Rania.

"Selamat tinggal dunia."

...

"Ranialia!" Itulah hal yang pertama kali di dengar begitu ia membuka mata. "Ranialia siapa?" Gadis itu menggaruk kepalanya, dia tidak tahu siapa yang bernama Ranialia. Namanya hanya Rania tanpa Lia. "Ya tentu saja anda. Apa anda tidak apa-apa?" Gadis itu langsung terbangun. Dia benar-benar belum mati. "Aku ... Aku dimana? Kalian siapa?" Rania menatap aneh orang orang di hadapannya. "Tuan putri tidak ingat kami?" Perempuan muda melangkah maju.

Rania menggeleng. "Kalian menculikku ya!" Rania menatap sinis orang-orang di hadapannya. "Apa maksud anda, tuan putri?" Seorang lelaki yang terlihat lumayan tua melangkah maju dengan sopan. "Tuan putri? Ranialia?" Rania langsung keluar dari ruangan itu. Dia mendorong pintu besar berwarna putih itu. Dia menatap sekeliling. Ada beberapa orang berpakaian jas langsung membungkuk hormat. Ini menambah Rania bingung. Dia langsung berlari menyusuri lorong panjang yang dipenuhi penjaga yang selalu membungkuk setiap Rania lewat. Akhirnya dia berada di ujung lorong, dia bisa melihat ruangan besar yang terbuka dan megah. Di tengah ruangan ada chandelier mewah. Rania langsung berlari menuju salah satu balkon, dia merasa sangat asing dengan tempat ini. Apakah ini tempat syuting?

"Tuan putri!"

Beberapa orang menghampiri Rania. "Tuan putri!" Perempuan tadi langsung mendekati Rania. "Mundur! Jangan mendekat!" Semuanya langsung berhenti dan menjaga jarak dengan Rania. Rania langsung berlari ke ruangan dia terbangun, entah kenapa kakinya bergerak sendiri kesana. "Jangan ada yang masuk!" Rania menutup kasar pintu besar itu.

Ruangan itu sangat besar, lebih dari kamar kosnya. Rania tidak percaya apa yang terjadi saat ini. "Ini pasti mimpi! Iya mimpi!" Rania memukul kepalanya. "Aw! Sakit." Rania langsung mengelus kepalanya. Dia tersadar, ini bukan mimpi. Rania sangat takut, apa yang baru saja terjadi padanya?

Tok... Tok... Tok...

"Ranialia," suara berat yang diyakini laki-laki terdengar dari luar kamar. "Siapapula Ranialia itu?" Rania menghiraukannya. "Rania, aku masuk!" Seperkian detik kemudian pintu kamar itu terbuka, dan tampak seorang lelaki tampan berumur 20-an. Rambut dan matanya berwarna biru, seperti karakter fiksi di novel fantasi. Lelaki itu langsung menutup kembali pintu. "Rania," lelaki itu menghampiri Rania. "Jangan bergerak!" Sontak itu membuat lelaki berambut biru itu berhenti. "Siapa kamu?!" Rania membuat jarak di antara dirinya dan lelaki itu. "Rania, kamu tidak perlu menjahiliku seperti itu."

Rania merasa dipermainkan. Dia itu anak pertama, bagaimana caranya dia memiliki kakak yang tampan ini. "Kakak? Apa maksudmu? Aku tidak punya kakak! Kalaupun aku punya, tidak mungkin setampan itu!" Rania tiba-tiba mengeluarkan air mata. Lelaki itu menatap aneh Rania, setelah berkata dia tidak punya kakak, lalu dia langsung menangis setelah memanggilnya tampan?

"Rania, terimakasih atas pujiannya. Jangan menangis seperti itu. Kamu harus diperiksa dokter," lelaki itu mengulurkan tangannya. Rania hanya menatap tangan itu. Dia tidak tahu dimana dirinya sekarang. Dia bingung, haruskah percaya dengan lelaki tampan di hadapannya atau tidak. Tampang lelaki ini sangat meyakinkan, Rania memutuskan memercayainya. Memang bodoh kalau dipikir. Bagaimana dia bisa percaya manusia semudah itu? Tetapi Rania menerima uluran tangan itu.

Lelaki itu keluar sebentar lalu masuk lagi bersama seorang bapak-bapak yang memakai jas panjang berwarna putih. "Selamat siang, Tuan putri Ranialia," bapak tua itu membungkuk, membuat Rania salah tingkah. "Izinkan saya memeriksa anda, tuan putri." Rania yang tidak tahu harus melakukan apa hanya mengangguk saja. Bapak tua itu memeriksa Rania, seperti seorang dokter. "Tuan putri Ranialia tidak apa-apa." Dokter itu merapikan peralatannya. "Namun, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk di CT Scan. Kita harus memeriksa apakah ada kerusakan di otaknya." Pernyataan dokter itu membuat Rania dan lelaki berambut biru terkejut.

"Apa maksudmu? Apakah separah itu?"

"Kita tidak bisa tau pastinya. Maka dari itu kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut."

"Segera ganti pakaianmu. Kita ke rumah sakit," ucap lelaki itu dengan tegas. "Oke. Tapi, siapa nama anda?" Rania bertanya dengan takut-takut. "Kamu benar lupa? Apakah Danny nama yang sukar diingat?" Rania hanya tersenyum kecil. Lelaki bernama Danny yang mengaku sebagai kakaknya dan memiliki rambut biru. Rania mengira dirinya tidak waras dan mulai berhalusinasi. Mana mungkin seorang kakak yang tidak pernah dia punya tiba-tiba muncul? Apalagi dengan rambut berwarna biru? Gila.

"Ganti bajumu. Kamu terlihat jelek." Danny dan rombongannya langsung keluar dari ruangan. Menyisakan Rania dan sesosok perempuan yang sedang menunduk.

"Namamu siapa?"

"Eh? Nama saya Cherr, tuan putri." Perempuan yang diketahui bernama Cherr itu menunduk hormat. "Berhenti memanggilku tuan putri! Kalian aneh sekali. Katanya tadi aku disuruh ganti pakaian." Rania kesal, dia tidak tahu mengapa semua memanggilnya tuan putri. "Baiklah, mari." Cherr menuntun Rania ke salah satu pintu di sisi kamar. Begitu pintu terbuka, tersaji berbagai macam pakaian yang banyak. "Ini pertokoan atau apa? Banyak sekali bajunya!" Rania memegang salah satu rak paling dekat. Dia tidak punya banyak baju di kosan. Hanya ada selemari kecil. Tiap baju dia harus gunakan tiga kali dalam seminggu. "Ini benar bisa aku pakai?" Rania menatap ragu, inikan milik orang lain. "Tentu saja." Cherr langsung mengambil beberapa pakaian di ujung rak. "Bagaimana dengan baju ini?" dress panjang berwarna pink dengan lengan pendek. Rania menggeleng, memakainya pasti tidak nyaman. Dia menulusuri rak yang lain. Dia mengambil salah satu baju dan celana. Baju berwarna hitam dengan aksen emas dan juga celana berwarna hitam polos. Rania terkejut, kainnya terasa berkualitas. "Aku akan pakai ini saja." Cherr terkejut dengan pilihan Rania. Seingatnya Rania tidak pernah berpakaian seperti itu.

"Tunggu apa lagi? Dimana aku harus ganti?" Cherr tersadar dari lamunannya lalu menunjuk salah satu bilik di tengah-tengah ruangan. Begitu Rania masuk ke dalam bilik itu, dirinya terkejut sampai jantungnya keluar. Amat sangat terkejut. Cermin di hadapannya memantulkan gadis cantik berambut biru sebiru lautan. Tidak lupa manik mata yang juga berwarna biru seperti batu safir. Rania meraba-raba wajah dan rambutnya. Semua fitur wajahnya terlihat sama saja. Hanya rambut dan warna mata yang berubah. Ini aneh. Rania semakin yakin bahwa dirinya benar-benar gila. Dia terbangun di kamar yang luas dan memakai baju yang nyaman. Walaupun ini halusinasi, Rania sangat bersyukur. Kapan lagi dia bisa merasakan baju nyaman dan ruangan besar.

Lima menit berlalu, Rania sudah siap dengan bajunya, tak lupa sendal jepit yang entah ia temukan dimana. Ia masih takjub dengan kualitas baju yang dikenakannya. Rania tidak pernah memiliki baju dengan kualitas sebagus ini. "Apa yang harus dibawa?" Cherr langsung memberikan salah satu tas berwarna abu-abu. Dengan gemetar Rania menerimanya. Tas itu terlihat sangat mewah, pasti dari merek ternama. Tas itu sudah terisi, Rania yakin Cherr sudah mengisinya.

Tak butuh waktu lama, Rania keluar dari ruangan yang diyakini itu adalah kamar. "Pangeran Danny sudah menunggu di ruang tunggu, nona muda." Rania bingung mengapa orang-orang ini memanggil orang lain sebagai "putri" dan "pangeran". Tapi, dia mengurungkan niatnya untuk bertanya. Cherr menuntun Rania sampai ke ruang bagian depan. Rumah ini sangat besar, Rania mungkin bisa tersesat di dalamnya.

Awalnya Rania bingung apa yang dimaksud dengan ruang tunggu, namun Rania mengerti. Bentuknya sama dengan ruang tamu yang biasanya ada di rumah-rumah. Namun dekorasinya sangat mewah, bahkan berlebihan. Dinding berwarna putih gading dengan aksen kayu berwarna coklat dan juga beberapa corak emas. Lantai dengan lapisan marmer yang bercahaya. Tak lupa lukisan di setiap dinding. Kursi-kursi panjang yang terlihat mahal berada di tangah-tengah ruangan. Tentunya ada meja kecil di antara kursi itu. Meja itupun terlihat terbuat dari kayu jati yang dipoles dengan warna hitam. Mata Rania berbinar melihat kemewahan yang tak pernah ia lihat. Namun meringis memikirkan berapa harga yang dibutuhkan hanya untuk satu ruang tunggu.

"Sudah siap? Ayo-" Danny terdiam melihat apa yang dikenakan Rania. Rania terlihat, berbeda? "Mengapa dia melihatku seperti itu? Apa aku aneh?"  Rania melihat pakaian yang dikenakannya. Tidak ada yang aneh. "Kamu terlihat berbeda dari biasanya."

"Terlihat berbeda dari biasanya? Padahal baru bertemu hari ini," batin Rania. Danny langsung keluar dari ruang tunggu, diikuti Rania. Rania langsung takjub melihatnya. Begitu keluar, dia disuguhi mobil mewah yang ia tidak tahu apa mereknya. "Dia pasti sangat kaya." Hanya itu yang dipikirkan Rania. Dia menatap takjub Danny, lelaki yang berkata bahwa dia kakaknya.

Rania melihat ke sekeliling. Ini adalah sesuatu yang ia lihat di drama ataupun film. Halaman yang besar. Jalanan besar untuk kendaraan dan 80 meter di hadapannya ada air mancur. Ini seperti istana. "Menunggu apa lagi kamu? Cepat masuk!" Danny membuyarkan ketakjuban Rania terhadap pemandangan. "Eh? Iya." Rania masuk ke dalam mobil mewah berwarna hitam itu. Begitu masuk, dia lagi-lagi dikejutkan dengan interior mobil.

Mobil itu akhirnya keluar dari gerbang besar nan megah. Lalu sepanjang jalan, Rania hanya bisa takjub dengan pemandangan di luar. Sangat asri. Tak lama kemudian, Rania dapat melihat pohon-pohon hijau digantikan gedung-gedung besar yang terlihat sangat moderen.

Rania sangat fokus terhadap apa yang dilihatnya sampai-sampai ia tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti di depan rumah sakit. "Ayo!" Danny keluar dari dalam mobil. Rania lagi-lagi terkejut ketika pintu mobil di sebelahnya terbuka. "Ah, te-terimakasih." Lelaki yang memakai setelan jas itu hanya menunduk. "Mari, nona." Cherr tiba-tiba berada di depan Rania. "Kok kamu bisa disini?"

"Tentu saja, nona. Kami akan selalu bersama nona." Rania lagi-lagi terkejut melihat ada 3 mobil mewah di belakang mobil yang baru saja ia naiki. Mereka semua mengikuti Rania.

Rania langsung menghampiri Danny. Danny tiba-tiba menyerahkan tangannya. "Hah?" Rania tidak mengerti apa maksud Danny. "Kamu ini." Danny menarik tangan Rania lalu menggandengnya. Rania tentu saja terkejut. Pasalnya dia tidak pernah menggandeng seorang pria sebelumnya.

Dengan malu-malu Rania berjalan sembari menggandeng Danny. Bisa dikatakan dia gila, menggandeng seseorang yang baru dilihatnya. Tatapan semua orang berfokus kepada mereka berdua. Bisik-bisik semua pengunjung terdengar di segala penjuru ruangan.

"Bukankah itu keluarga gubernur?"

"Tuan putri Ranialia terlihat cantik ya!"

"Untuk apa mereka kesini?!"

Rania sangat aneh mendapatkan tatapan memuja dari semua orang. Mengapa? Kenapa? Apakah dia terlihat seperti gembel? Selama dia hidup 20 tahun, tidak pernah ia mendapatkan tatapan seperti ini dari semua orang.

Akhirnya langkah mereka sampai di salah satu ruangan. Rania dan Danny masuk dan terlihat seorang dokter dengan jas putihnya menyambut mereka. "Selamat siang Pangeran Danny dan Putri Ranialia." Dokter itu membungkuk hormat. Setelah itu mereka duduk. Dokter itu menerangkan apa yang akan dilakukan Rania, walaupun Rania tidak mengerti.

Setelah penjelasan panjang, Rania diperintahkan untuk mengganti bajunya. Sesudah mengganti bajunya menjadi baju pasien, mereka memasuki ruangan yang terlihat sangat canggih. Rania melihat sebuah alat yang biasanya ia lihat di televisi. Seperdetik kemudian dia meraa takut, dia akan masuk ke dalam situ hari ini.

Berbagai prosedur dilakuan. Kini Rania dan Danny sedang menunggu hasil. Dokter masuk kedalam ruangan sembari membawa map besar. "Izinkan saya membaca hasil pemeriksaan. Kita telah melakukan berbagai prosedur dan mendiagnosa bahwa," dokter itu menggantungkan kalimatnya, membuat Rania penasaran saja. "Tuan putri Ranialia mengalami amnesia."

...

ANOTHER WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang