Hari ini gue bangun pagi. Argh, malas sekali biasanya baru bangun jam lima kemudian tidur lagi, kali ini gak bisa karena mau sekolah setelah sekian lama daring karena Corona, rasanya sangat amat tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Ibu guru bertanya ke gue? Mau dijawab apa, selama daring, kan materi masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Gue diam sebentar karena setiap bangun tidur kepala selalu pusing dan pandangan buram, biasa efek dari darah rendah memang begini, setelah pusing gak berasa lagi dan pandangan gak buram gue langsung pergi ke kamar mandi dengan ogah-ogahan.
Keluar dari kamar mandi menuju kamar. Ganti baju menggunakan seragam SMA baru yang kebesaran, biasalah emak-emak katanya biar muat tiga tahun sekolah itu juga kalau gak ada corona susulan lagi, kalau gak rugi cuma dipake beberapa tahun kayak seragam SMP.
Gue melihat jam pukul enam WIB sambil sarapan berisikan sayur lodeh, jujur gak enak karena gue gak suka sayur, tapi mau gimana lagi yang ada cuma sayur, makan ajalah daripada kelaparan ya, kan? Mana kantin masih tutup.
Kaki gue memencet tombol untuk menyalakan TV karena mager, lagi makan juga, setelah TV menyala gue memencet remote secara random, berharap ada acara yang seru, tapi gak ada yang ada cuma acara gosip yang nantinya akan nambah-nambah dosa dipagi hari yang membagongkan ini.
Gue kembali mematikan TV, gak ada gunanya, gak menghibur kecuali kartun. Gak ada gitu tontonan buat remaja? Kadang cuma main hape, bosen gak sih lama-lama gitu? Gue sih, bosen jujur aja ya.
Setelah puas menggerutu di pikiran sambil makan dengan muka bete, akhirnya ini makanan pun habis gak bersisa karena lapar dari malam belum makan. Gue menaruh piring di dapur bersiap untuk menyiapkan buku pelajaran, tas dan air minum walaupun gak pernah diminum.
Gue mengambil sepatu di rak lalu memakainya diteras sambil menggendong tas. Sudah lama gak memakai sepatu, untung masing inget cara menalikannya, kalau gak, ribet.Masa harus nanya ke Abang, sih?
Gue sudah siapa untuk berangkat, tapi masih pagi sekali sekitar jam enam lebih lima belas menit, biasanya dulu selalu berangkat jam setengah tujuh, gak tahu deh sekarang, kan sudah beda sekolah, mungkin beda juga jam masuknya, yaudahlah, ikutin anak-anak aja.
Gue menunggu sekitar tiga lima belas menit akhirnya teman-teman lewat di depan rumah lalu berangkat bersama jalan kaki ke sekolah, jaraknya gak jauh sih, tapi kalau siang kepanasan bagaikan neraka jahanam versi duniawinya, untung ini masih pagi jadi bisa lihat kabut di tengah hamparan sawah, jadi sejuk, tapi akhirnya pas nyampe kelas engap. Mungkin, karena selama Corona ini gue rebahan Mulu, ya? Tubuh ini mendadak jadi jompo.
Di kelas gue gak kenal siapa pun, kecuali empat temen SMP—Miu, Savinna, dan Nabika yang membuat gue ingin duduk dekat mereka, agar gak canggung-canggung amat.
"Eh, lo masuk IPS?" tanya Miu yang kaget melihat gue kayak melihat setan gentayangan.
"Iya lah. Yakali gue masuk IPA," ucap gue sambil memutar bola mata.
"Tapi lo kan jago IPA pas SMP," sela Savinna.
Benar apa yang diomongin Savinna, pas SMP gue sesuka itu sama IPA walaupun collab sama MTK sih, tapi not bad lah. Lantas apa yang membuat gue memilih jurusan IPS? Ya karena walaupun suka IPA, gue gak akan pernah masuk jurusan IPA karena melihat buku pelajaran Abang yang isinya membagongkan, jadi untuk menyelamatkan diri akhirnya memilih IPS.
"Ya karena gue gak mau ketemu kimia dan tetek bengeknya. Pastinya, IPAnya lebih jahannam lagi daripada yang SMP," jelas gue.
Mereka bertiga mengangguk-angguk.
"Kalo kalian masuk IPS karena apa?" tanya gue penasaran. Apa mungkin sama kayak gue?
"IPS is my life!" ucap ketiganya serentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
dry
Teen FictionIni adalah kumpulan cerita fiksi remaja yang sebagian besarnya berdasarkan pengalaman pribadi