•-•
•-•
"Ya Allah! Capek banget!"
"Ini semua gara-gara bang Agus!"
"Pokoknya pas pulang nanti, gua harus kasih dia pelajaran!"
"Ck, ngeselin ah!"
Itu semua omelan Alisa yang tiada henti ketika ia diharuskan memotong-motong rumput di taman belakang sekolah. Sejak tadi nama Agus selalu ia salahkan, doakan saja lelaki itu tidak panas telinga di kampusnya.
Tapi serius, Alisa merasa tersiksa disini. Ditambah lagi, Mang Kok--tukang bersih-bersih di sekolahnya-hanya menatapnya sembari tertawa pelan, Alisa masih ingat bagaimana lelaki 40 tahun itu memberikan gunting kebun nya sembari tertawa.
Alisa hanya menghela nafas.
"Kapan beres nya, sih?"
"Haus."
"Lapar."
"Panas."
"CAPEK, YA ALLAH!"
"Udah ngomel nya?"
Deg
Alisa bisa melihat bayangan seseorang yang terpantul di depan tempatnya berjongkok. Lalu ia menoleh ke belakang untuk mengetahui siapa kira-kira yang menegurnya barusan. Sudah pasrah saja jika itu adalah seorang guru, namun ternyata-
"Loh? Jeka?"
Alisa tidak salah lihat kah? Pasalnya yang ia tau, lelaki itu juga dihukum, namun bukan disini, melainkan di toilet laki-laki. Iya, membersihkan toilet luas itu seorang diri.
"Kok lo- bisa disini? Buk-"
"Ya suka-suka gua, dong." Tajam sekali.
Alisa bangkit dari posisi jongkok nya, lalu menatap lelaki dengan nametag Jekalandra itu dengan pandangan bingung.
"Toilet cowok kan jauh, kok lo bisa kesini?" Nampak sesaatnya, lelaki itu menaikkan satu alisnya. "Ga sengaja lewat, terus denger lo lagi ngomel." Alasannya terdengar tidak masuk akal untuk Alisa, sebab bagaimana bisa dia lewat kesini, sedangkan posisi toilet bahkan tidak memerlukan rute lewat taman belakang. Tapi Alisa memilih abai, urusan kebenaran nya, akan ia cari tau nanti, sebab tatapan di depannya begitu mengintimidasi.
"Y-ya- oke. Terus? Ngapain disini? Udah sana lo ke-"
"Gua mau bantuin lo."
"Hah?"
Alisa mendadak budeg. Sedangkan Jeka memutar bola matanya.
"Gua. Mau. Bantuin. Lo. Siniin guntingnya."
"Eh, ga ga ga, ga usah."
Alisa refleks memundurkan gunting yang ia pegang, lalu menatap Jeka-masih dengan pandangan anehnya. Pasalnya ini begitu tiba-tiba, lagipula Alisa merasa tidak enak.
"Gua, bisa sendiri. Lo ke kelas aja, lo juga cap-"
"Lo daritadi ngomel, daripada ga ikhlas mending gua aja."
"Siapa bilang gua ga ikhlas? Gua bisa sen-"
"Diem. Lo duduk disana." Tanpa aba-aba, Jeka menarik gunting kebun itu-tentunya tanpa menggoreskan sedikitpun luka pada Alisa-lalu menyuruh gadis itu duduk di tepian taman. Dan Alisa hanya bisa mengangguk sembari menghela nafas, begitu melihat tatapan menuntut yang diberikan lelaki itu.
Sementara Jeka menyelesaikan pekerjaannya (r: pekerjaan Alisa), keduanya hanya terdiam, terjebak dalam masing-masing pikiran, tanpa berniat memecahkan sepi disana.
Tak ada pembicaraan berarti yang keluar, hanya terdengar suara Alisa yang sesekali menyahut, "Jek, kalo capek gantian aja." Namun hanya diangguki lelaki itu, tanpa pergerakan berarti.
Tak berapa lama, ia pun selesai.
Lalu menghampiri Alisa, dan mengambil tempat untuk duduk di sebelah gadis itu.
"Lo- aduh, gua jadi ga enak, malah lo yang beresin. Capek banget, ya?" Jeka menggeleng, "Biasa aja." Jawabnya.
"Gua beneran ga enak nih, Jek! Kapan-kapan gua traktir, deh." Jeka sedikit mengernyit.
"Lo tau nama gua?" Alisa menoleh. Ah iya juga, ia belum pernah berkenalan secara resmi, hanya mendengar namanya dari Rose, dan beberapa murid yang sering membicarakan lelaki di sebelahnya ini.
"Tau, dari Rose. Lagian juga banyak yang ngomongin lo." Jeka hanya mengangguk-angguk, tapi jujur, ia heran mengapa banyak yang membicarakannya. Memang tidak sadar diri kalau ia terkenal!
"Tapi gua gatau nama lo."
Alisa tidak tersinggung sungguh! Ia malah terkekeh, bilang saja ingin berkenalan!
"Gua Alisa, Alisa Nadia Bramantyo. Lo panggil apa aja, bebas." Jeka mengangguk-angguk, lagi. "Alis?"
"Jangan Alis juga, dong! Disangka nya yang lain entar."
"Bercanda." Senyum kecil tersungging begitu melihat wajah kesal Alisa, lucu, pikirnya.
"Emmm, btw-" Jeka menoleh, alisnya terangkat, menunggu kelanjutan ucapan gadis itu, nampaknya ia ragu ingin berucap, "Apa?"
"Eh ga jadi deh, hehe."
-Padahal pengen ngajak temenan, tapi takut dibilang sokap. Kapan-kapan aja deh, ya? Lagian baru juga ketemu lagi.
"Makasi buat yang tadi, gua tandain nama lo, kapan-kapan gua traktir deh, serius." Jeka terkekeh mendengar tutur nya, "Kirain ditandain mau ngajak berantem."
"Ya enggak, lah!"
"Ya udah, tapi ga usah ditraktir juga, gua ikhlas, lagian." Pandangan nya mengarah ke depan, sedangkan Alisa malah menatapnya, "Iya, makasih. Tapi kata Abang gua, seenggaknya kita harus ngehargain orang yang udah bantu kita. Jadi- kalaupun ga bisa ditraktir, gua bakalan bantu lo kalo lo butuh bantuan."
Jeka tersenyum kecil, padahal ia hanya membantu sedikit, tidak seberapa. Membantu memotong rumput, sangat simple, kan? Hanya saja, gadis ini sebegitu inginnya membalas kebaikannya. Maka tak ada pilihan lain selain menganggukki ucapannya.
"Ya udah, gua mau ke kelas, deh. Tapi sebelum itu-"
Jeka segera menoleh, menatap Alisa yang juga tengah menatapnya- tepatnya, seperti tengah menelisik sesuatu di wajahnya.
"Pipi lo- kenapa bisa lebam? Anu, kalau mau, gua bisa obatin."
•-•
TBC
•
•
•[ REVISION ]
Drop ur vote and comment !
Don't be silent reader, please?
See u in next chapt 💛💜 !
@jojovinia ofc
KAMU SEDANG MEMBACA
LIGHT (revisi)
FanfictionBenteng itu runtuh, jatuh, meluruh. Bersamaan dengan ia yang masuk, dan memberi warna baru. On going, 21/08/21