001

111 26 13
                                    

Senin, 11 Agustus 2021.

Gelap. Seperti yang terlihat saat kedua mata terpejam. Semesta menjadi gelap gulita. Tak ada kehidupan. Hanya pendengaran yang menajam. Serta gemuruh angin terdengar, mengarahkan deburan ombak yang menghantam tubuh Jeo. Ia menggigil, remaja bernama Jeohan itu membiarkan takdir hidupnya semena-mena.

Rintihannya teratur... tangan kirinya meraba sekeliling, mencari sisa keyakinan diri. Sebagian tubuhnya terus diterjang ombak-ombak yang mengikis di bibir pantai.

“Aku takut,” rintihnya.

Kedua matanya terbuka lebar. Namun, naas keduanya tak dapat menangkap objek apapun. Ia ketakutan. Rintihannya berubah menjadi jeritan. Ia memanggil Ibunya, berharap Ia berada di sampingnya, menemaninya dalam kegelapan sembari menggenggam tangan Jeo. Jeritannya semakin mencuat, terdengar melengking. “EOMMAAAAAA”

Suaranya menguar di udara. Tidak ada jawaban karena tidak ada yang mendengar. Suara Jeo tertelan realita bahwa dirinya sendirian berada di antah berantah. Jeritan berganti menjadi suara tangisan. Nadanya turun beberapa oktaf, tetapi masih terdengar kerisauan di dalamnya. Jika ini adalah mimpi buruk, sekuat tenaga Ia berusaha terbangun. Benar. Jika dirinya bisa bangun dari mimpi buruk ini, maka rasa dingin yang menguliti akan berganti menjadi kehangatan. Gelap, gelap akan memudar seiring dengan semburat cahaya yang terlihat di ujung lorong kegelapan.

Jeo menutup matanya perlahan, meyakinkan diri bahwa Ia akan terbangun keesokan harinya berada di tempat tidur kesayangannya. Ia ragu, perlahan kelopak matanya turun sebelum tertutup sempurna. Air mata mengalir dari ujung matanya, membasahi pelipis dan menuruni rahang wajahnya yang tegas. Bibirnya mengatup, menahan isak tangis yang entah kapan akan mereda.

Ia berdoa dalam hatinya, “jika ini adalah alam bawah sadarku Aku berharap akan terbangun. Gelap akan menjadi terang. Rasa dingin yang mencekam akan berganti menjadi kehangatan. Juga, suara deburan ombak akan berganti menjadi dering alarm di kamar tidurku. Tuhan, Aku berdoa sepenuh hati padamu. Berkatilah Aku Amen.”

Ia masih memejamkan matanya erat. Dalam hati, Ia berharap dengan keyakinannya. Tuhan Sang Pencipta, juga semesta akan menjawab doanya.

***

Son teumsaero bichineun nae mam deulkikka duryeowo
(Aku takut hatiku yang bersinar terungkap dengan ujung jari tanganku)
Gaseumi mak beokcha seorowo
(kesedihan hatiku tak terbantahkan)
Jeogeumman kok chamgo nal gidaryjwo
(hanya sesaat, kau menungguku sebentar saja)
Neorang narangeun jigeum andwoeji
(kau dan aku, tidak boleh bersama saat ini)
Sigyereul deo bochago sopjiman
(Aku ingin memajukan waktu)
Nega itdeon mirae-e seo
(di masa depan ada dirimu)
Nae ireumel bulleojwo
(panggilah namaku)

You and I  by Lee Jieun

“Kau masih mendengarkan lagu itu?”

“Eung....”

“Kau tidak ingin mendengarkan lagu lain?” Jeo hendak meraih MP3 yang lebih besar dari genggaman tangan Haru itu.

Haru menepis tangan Jeo perlahan. Ia mencegah Jeo yang hendak menyentuh barang kesayangannya itu, sembari menggeleng pelan. Bibirnya menipis dan matanya mentaap Jeo sayu, irisnya seolah menegaskan bahwa ini adalah milikku tak seorang pun dapat menyetuhnya.

Jeo menatapnya, sebelum mengalah pada Haru. “baiklah temanku. Aku tidak akan menyentuh barang antikmu itu.”

Jeo sembarang menyenderkan tubuhnya ke kursi kayu tempat duduknya yang berada di sebelah Haru. Posisinya bukan berada di akhir, melainkan di tengah. Di depannya ialah kursi milik si nomor satu. Sementara di sampingnya bertengger Haru yang tak kalah tegap dan tinggi darinya, cukup untuk menghalangi pandanagan guru—pikirnya Ia akan aman saat tengah tertidur di jam pelajaran, hingga tidak ada Guru yang mengetahuinya.

KELAS 3-4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang