Terik cuaca hari ini kurasa cukup untuk membuat setiap orang memilih rumah sebagai kandang ternyamannya. Udara di luar benar-benar panas, padahal biasanya mendekati pukul 4 sore semangat mentari mulai menjinak. Mungkin ini ulah waktu, yang sengaja ingin mengurungku bersama yang telah lalu.
Iya, kenangan. Kamu benar.
Arloji kuno itu masih tersimpan rapi di laci, arloji yang selalu mengantarku padamu. Tidak dalam wujud fisik, melainkan hanya sebatas pada kenang tentangmu aku tiba. Arloji milikmu, Bapak.
Satu dari sedikit yang kuingat, yaitu hari di mana aku merengek ingin naik delman bersamamu, seperti lagu anak-anak yang sedang kuhafalkan masa itu. Hari itu, saat Bapak seharusnya beristirahat di rumah sehabis kerja malam, tapi justru Bapak isi dengan mewujudkan keinginanku. Saking senangnya, aku yakin Bapak dan Pak Kusir sudah bosan mendengar suara nyaring dari bocah yang terus bernyanyi dengan percaya dirinya.
Tunggu, ralat.
Bukan hanya bernyanyi, tapi bernyanyi sambil teriak karena tidak rela jika suaraku ditelan bising kendaraan di jalan. Sungguh, di mana letak rasa malu diriku saat itu?
Yaaa...
Senyum selalu berhasil merekah menghias wajahku setiap mengingat kebersamaan itu. Sayang, tidak banyak yang tersisa dalam ingatanku. Hanya beberapa potong kenangan yang terus mengulang di kepala.
Andai saja aku bisa mengingat setiap detail memori yang terjadi sejak rohku ditiupkan, pasti akan mudah bagiku mengingat setiap waktu yang pernah kita lalui bersama. Pun saat aku masih berada di dalam gendonganmu tiap malam atau pagi, sebelum dirimu terlelap setelah delapan jam penuh tenagamu dikuras.
Di dunia ini, kurasa kita semua selalu berharap tentang sesuatu yang baik, entah harapan mengenai cita-cita di masa depan, atau bahagia yang tak pernah pergi. Pada dasarnya memang benar. Di mana ada harap, di situ harus ada siap.
Harapanku dimulai sejak aku hadir di tengah-tengah keluarga yang sederhana dan hangat. Aku selalu berpikir bahwa situasi ini akan bertahan selamanya, memiliki sebuah keluarga yang utuh dan sempurna. Aku bahkan tidak ingin menjadi siapa pun. Menjadi aku adalah hal terindah yang tidak ingin kutukar dengan apa pun.
Namun, ternyata semesta punya jalan lain dalam mendewasakan. Dunia di luar memang saaaangat luar biasa, sehingga aku harus menjadi gadis yang tangguh. Tangguh dan tidak boleh bergantung pada orang lain, tanpa melihat usia. Benar kan?
Aku diantar oleh semesta menemui satu malam dalam hidupku. Waktu itu malam baru berganti tugas dengan mentari yang mau beristirahat, tapi dering ponsel di rumah langsung menyela cerita yang sedang dibagi Ibu kepada kami, dua anak terakhir Ibu. Selanjutnya, malamku hari itu hanya diisi oleh tangis, sesak, juga tanya dengan jawab yang bagiku tidak jelas apa maksudnya. Enam belas tahun yang lalu kiranya aku ikut menangis tanpa tahu apa-apa.
Memangnya ke mana Bapak pergi? Kenapa tidak akan kembali?
Suasana rumah begitu sesak, Pak. Putri bungsumu ini dibuat bingung dan berharap pada ketidakjelasan. Kata mereka Bapak sudah pergi sangat jauh sampai tidak bisa pulang ke rumah lagi. Tapi kemudian aku melihat ada pesan berbayar yang terkirim ke nomor telepon Bapak, seolah Bapak masih ada, bisa membaca pesan itu, tapi hanya sembunyi dariku saja.
Jarum jam arlojimu terus berputar, dan Bapak memang tak pernah kembali. Aku pun perlahan mengerti, Bapak benar-benar pergi, sangat jauh. Usiaku lima, dan aku harus menghadapi hal yang kuinginkan hanya sebuah mimpi.
Hal terakhir yang aku ingat dari Bapak hanya lambaian tangan itu. Bapak melambaikan tangan ketika bus antarkota siap berangkat mengantarku, Mba, dan Ibu kembali ke kota kembang. Siapa sangka, lambaian tangan Bapak sore itu adalah lambaian terakhir yang Bapak berikan sebagai tanda perpisahan denganku. Bukan lagi berpisah dengan jarak antara Yogyakarta dan Bandung, tapi lebih jauh dari itu.
Melewatinya di usia sekecil itu tidak mudah. Dibilang masih belum mengerti, yaa tidak, aku sudah mengerti arti pergi. Hanya saja sulit menerima, juga terus merasa bahwa ini tidak nyata, tapi aku terjebak dalam imajinasiku sendiri. Pada akhirnya, membisu adalah cara terbaikku menghadapinya. Perlu sekitar enam tahun untukku berani berbicara tentang Bapak pada orang lain, kata Ibu sih begitu, aku bahkan tidak terlalu ingat.
Kadang aku bertanya, mengapa Dia merindukanmu secepat ini? Aku bahkan belum sempat diantar ke sekolah oleh Bapak, atau mungkin sekadar mengajariku melukis di rumah. Bukankah Bapak pandai melukis?
Huhhh...
Semakin aku tumbuh, semakin banyak hal yang ingin kubagi dengan Bapak. Sering aku bercerita, 'Bapak, kemarin sudah bagi rapot dan aku mendapat juara satu, lalu ibu guru memberi hadiah buku dan penggaris.'
Atau mungkin mengadu, 'Bapak, tadi kerja kelompoknya selesai terlalu sore. Teman-teman dijemput ayah mereka, tapi aku harus memberanikan diri naik angkot. Ibu pasti khawatir, Pak.'
Atau mungkin juga sekedar update keadaan, 'Bapak, putri bungsumu ini sudah menjadi gadis yang pundaknya memiliki amanah cukup banyak. Doakan bisa bertahan dan selesaikan semuanya ya Pak. Rasanya capek sekali soalnya.'
Tidak, kamu tidak salah. Aku memang masih sering bercerita demikian dengan Bapak. Bapak tetap seolah ada mendengarku. Ini seperti dialog semu antara aku dan Bapak.
Sudah dua dekade lebih usiaku, dan sudah dua windu kau berpulang. Peluk hangat dariku selalu kutitipkan melalui doa kepada-Nya, sampai kita bertemu, Bapak.
YOU ARE READING
Dialog Semu
Non-FictionDialog Semu merupakan sebuah cerita pendek non-fiksi dengan sudut pandang Aku, yang dibuat dalam rangka memperingati tepat dua windu sebuah kepergian. . . Memang, menerima kepergian adalah kegagalan yang abadi, sebab sesulit itu untuk menerimanya.