"It's gonna be a great night, yeah."
Tak ada bintang malam itu. Tidak ada bulan atau apapun. Hanya hitam yang setia memayungi Tokyo, mungkin hingga sepuluh jam ke depan.
Salju turun. Putih, pucat. Semua berjalan tergesa, dengan tangan mengepal di balik jaket. Berharap dapat menemukan sedikit kehangatan disana.
Gadis berambut pendek dengan mata mengantuk itu tidak terbawa oleh ritme. Ia tetap berjalan, tenang. Seakan-akan begitu menikmati apa yang ada di sekelilingnya. Putih, dingin, uap yang keluar dari mulut, semua terlihat menyenangkan.
“Ai, cepatlah sedikit!” Bahkan, professor Agasa yang jarang menegurnya kali ini pun bertindak.
Tak ada perubahan. Ia tetap berjalan dengan kecepatan yang stabil. “Professor pulang duluan saja. Aku ingin menikmati ini, barang sehari,” ujarnya.
“Apa bagusnya musim dingin? Musim serba susah. Harga sayuran mahal, beban listrik semakin besar, belum lagi udara dingin yang membuatmu malas beraktivitas. Penelitianku selalu tertunda ketika musim dingin datang. Sangat tidak produktif,” sahut professor Agasa. Keluarlah semua keluhan dari seorang professor yang tinggal sendiri.
“Peduli apa dengan produktivitas. Yang jelas aku ingin menikmati fuyu kali ini.” Dua kalimat itu cukup membuat laki-laki gendut disampingnya terdiam.
“Aku pulang dulu. Kau, jangan pulang terlalu larut. Jangan ganggu tidurku dengan mengetuk pintu tengah malam.” Ia akhirnya harus menyerah dengan gadis keras kepala itu. Dengan sedikit tidak rela, dilangkahkan kaki pendeknya. Pulang.
Bagaimanapun cintanya terhadap musim ini, Ai tidak bisa melanggar perjanjian dengan tubuhnya. Suhu udara yang berada jauh di bawah nol derajat celcius memaksanya untuk masuk ke sebuah cafe. Dirinya tidak pernah sepaham dengan tubuhnya.
Pada akhirnya, gadis itu harus menyerah. Tapi tak apa. Disamping jendela, di atas sofa merah marun, dengan secangkir cappucino, ia masih bisa melihat salju yang turun.
Handphone di saku jaketnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Nama Ran Mouri yang tertampang di layar membuatnya mendesah masgul.
“Moshi-moshi,” kata Ai malas. Salamnya dibalas cepat oleh Ran. Setelah itu muncullah rentetan pertanyaan.
“Ai, apa Conan ada disana?” tanya Ran dari seberang.
“Eh? Tidak. Kenapa memangnya?”
“Aku baru saja mengecek kamar tidurnya. Tapi dia tidak ada disana. Tidak mungkin dia keluar rumah disaat bersalju seperti ini,” jelas Ran.
Senyum itu sedikit terlukis di wajah putih Ai. Kudo-kun ya. Seberapa penting sih, mengkhawatirkan orang yang selalu menggantung harapamu, Ran?
“Kau dimana, Ai?” tanya Ran, menyadarkannya bahwa hubungan jarak jauh itu masih tersambung.
“Ah, ya, aku di rumah,” jawab Ai sekenanya.
“Lho? Tadi aku dari rumah professor. Katanya kau tidak ada.” Ai tertawa getir. Ia lupa kalau professor pasti akan bercerita. Dibalasnya kata-kata Ran barusan dengan cengiran kuda yang keluar terpaksa.
Hubungan diputuskan. Ai menarik nafas lega. Setidaknya ia tidak perlu berbohong lebih banyak. Sungguh, ia tidak suka berbohong. Tapi realitanya, ia banyak ‘berbohong’ untuk perasaannya sendiri.
Disesapnya cappucino yang asapnya sedikit mengepul. Pemanas ruangan cafe bekerja dengan baik. Ia tidak merasa kedinginan sedikit pun.
Ai sedang mengecek handphonenya ketika seorang wanita dengan tubuh semampai mengambil tempat duduk di seberangnya. Dari sudut mata, ia tidak bisa menebak dengan jelas bagaimana rupanya karena topi putih lebar yang hampir menutupi sebagian wajahnya.