1

1.6K 68 10
                                    

Difa mengamati sekeliling rumah dengan menghela nafas berat. Beberapa hari lagi keluarga kecilnya harus meninggalkan rumah yang selama ini banyak menyimpan kenangan manis bersama suami dan juga anaknya.

Tidak ada alasan lagi, karena pihak dari perumahan Hill Citraland akan melakukan pembangunan rumah dalam jumlah besar-besaran dalam beberapa waktu yang akan mendatang.

Raka tidak mau mengambil resiko dengan masih bertahan, karena memikirkan kemungkinan besar udara disekitarnya menjadi tidak sehat. Banyak polusi disebabkan oleh proyek yang dikerjakan nanti.

Memang banyak penghuni yang memilih untuk bertahan dengan alasan angsuran rumah sudah lunas dan menjadi hak milik pribadi, tapi tidak dengan Raka.

"Mas apa gak bisa kita tetap disini aja" pinta Difa dengan harap-harap cemas, karena suaminya punya keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.

Raka yang saat ini tengah membaca koran melirik Difa sekilas "Aku gak mau debat, kita udah pernah bahas ini berulang kali"

Difa lagi-lagi menghela nafas berat "Ya aku pikir sayang mas, kita udah nempatin rumah ini belasan tahun. Dan sekarang kita harus pindah, disini banyak banget kenangan kita. Banyak kenangan masa kecil abang"

"Justru itu, aku memikirkan keselamatan anak istriku. Pahami posisi dan pola pikirku, aku bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Bukan sebatas pencari nafkah, kemudian tanggung jawabku selesai. Aku gak haus hormat dari kamu sebagai istri, tapi sekali lagi aku minta pengertian kamu. Hormati keputusanku, aku tau apa yang terbaik buat keluargaku" barulah setalah itu Raka beranjak menuju kamar meninggalkan Difa yang termenung sendiri diruang tengah.

Difa akui, rumah yang dibeli suaminya untuk ditempati nantinya jauh lebih besar dan luas. Untuk sekelas pengusaha tersohor baik dalam negeri maupun luar negeri, rumah ini dikatakan tidak layak huni. Karena UMKM kelas bawah pun bisa membelinya dengan mencicil setiap tahunnya.

Tapi Difa tidak memikirkan itu, rumah ini adalah kenangan yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Rumah yang dibeli bersama, menggunakan uang bersama. Meskipun ukurannya terlampau kecil dari rumah megah lainnya. Difa sudah nyaman dan cinta dengan rumah ini.

"Ibu mau saya buatkan minum" ucap mbak Nia pengasuh Daniel saat kecil dulu.

Difa menggelengkan kepalanya dengan tersenyum ramah "Nggak usah mbak"

Mbak Nia menganggukkan kepalanya dengan pamit undur diri, tapi sebelum itu Difa mencegahnya terlebih dahulu "Oh ya mbak, abang belum pulang?"

"Belum bu, kata abang tadi agak lambat pulangnya"

"Ya udah mbak, makasih ya"

Mbak Nia menganggukkan kepalanya cepat "Iya bu" jawabnya dan setelah itu melenggang pergi kebelakang.

Penghuni rumah bukan hanya keluarga kecil Difa, melainkan ada mbak Nia dengan suaminya beserta beberapa asisten rumah tangga lainya dan juga 2 sopir pribadi.

Tak lama terdengar suara langkah kaki menuju ruang keluarga, tidak terlalu keras tapi masih bisa didengar jelas menapak lantai. Membuat Difa sedikit mengernyitkan keningnya bingung. Tidak mungkinkan anaknya, sebab baru saja pengasuh anaknya dulu sudah memberitahu bahwa anaknya akan pulang telat dari biasanya.

Ditengah Difa bertanya-tanya dalam hati, munculah sosok laki-laki berpakaian formal dengan menundukkan sedikit tubuhnya dihadapan Difa.

"Oh kamu Bim, saya kira siapa tadi" celetuk Difa dengan menatap laki-laki dihadapannya.

Daniel Arkana ZafdanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang