Jejak yang Tertinggal

4 0 0
                                    

Ketika semalam ibu menelpon, aku sedang makan malam sambil menikmati tontonan hingga terhenti kunyahan di mulutku demi mendengar pesan singkatnya. Ku isyaratkan pada suamiku meminta izin kepadanya agar esok aku bisa berkunjung ke rumah ibu.

Ku atur ulang semua agenda keesokan hari nya agar semua target tetap tercapai apapun yang terjadi. Ku sisihkan uang yang khusus ku simpan untuk keperluan mendadak tanpa menghitung2 timbal baliknya. Serta, ku simpan energi ku sejak pagi agar dengan sehat dan bugar ketika berjumpa dengan ibu.

"Persiapan macam apa itu" Kemudian aku tercekat di depan cermin sebelum berangkat mendengar sisi telingaku bersuara yang entah dari mana. "Kamu berlebihan, ini hanya pulang ke rumah, bukan event super penting".

"Benar sekaligus salah" Lalu ku abaikan.

Aku selalu membawa lembaran kertas baru, putih, bersih sebelum pulang agar cerita yang tertulis nanti benar2 murni. Tanpa bercampur dengan hiruk pikuk urusan pekerjaanku atau semacamnya di luar sana.

Cuaca sedang bersahabat. Motorku sedang lincah dan hatiku sedang dalam kondisi sangat baik. It's a perfect day for a melancolic woman like me.

Segera ku panggil ibu setibanya di sana sambil menenteng bungkusan besar berisi makanan. Rupanya ibu baru saja bangun dari tidur di ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.
"Ibu ketiduran nak, kamu sama siapa ke sini?" Ibu menyambutku.
"Sendiri bu" Sambil kuraih dan kucium punggung tangannya.
"Ayo makan bu" Ajakku sambil menunjuk bawaan di tanganku.

Aku senang setiap kali membawa makanan, karena ibu selalu makan dengan lahap dan selalu bilang enak. Entah benar enak atau tidak, tapi aku tak pernah kecewa membawakannya buah tangan. Sembari makan kami berbincang  tentang ini itu di rumah. Sesekali ibu bertanya tentang cucu2nya dan pekerjaanku. Nothing special, ku jawab seadanya tanpa menambah atau menjadikannya cerita panjang. Sebab yang ingin kudengar adalah cerita dari ibu.

Akan tetapi aku lupa menyiapkan 1 hal penting, kelapangan dadaku.
Ibuku memiliki 5 anak lainnya yang punya banyak kelebihan dan kondisi hidup yang cukup membuatnya bangga. Kudengarkan untaian kalimat pujian pada semua saudaraku satu per satu dari nya. Ku ingat dan inilah salah satu kesalahan besarku...

"Alhamdulillah semua anak2 ibu -selain aku- sukses" Ku gariskan senyum di kanan kiri mulutku agar sempitnya dadaku tidak kentara di matanya.
Lalu setelahnya aku menjadi penghitung ulung dari semua karunia yang pernah diterima oleh saudara2ku dan membandingkannya denganku.

Makin berat lah semua ini karena kebodohanku menjadikan jejak ini makin tak bisa dihapus ; aku benci ketidakadilan dan perbedaan.

Lalu berpamitan lah aku yang tadinya membawa penuh hati yang bahagia dan pulang dengan membawa serta cerita yang tak ku suka.

Dimanapun aku, akhirnya  kumembenci perbedaan dalam pemberian, siapapun itu dan dalam hal apapun itu.

Bukankah kebencian adalah beban berat?
Ya, dan sampai sekarang aku berusaha mengubah benci menjadi "menerima"...
Jejak yang tak ada pada mereka, yang hanya ada padaku...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelita di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang