Senyum Yuki perlahan berubah jadi tawa. Sumpah ini bukan karena Yuki sedang bahagia. Jarinya terus menekan huruf A di keyboard laptop sampai tanpa sadar sudah memenuhi satu halaman microsoft word. Yuki menyadari ada yang salah dengan dirinya saat ini. Sepertinya dia harus benar-benar merombak isi kepalanya sekarang.
"Lo lagi bego ya?" Tanya rekan kerjanya yang baru saja datang, berdiri di belakang Yuki, menatap kebodohan Yuki, prihatin dia.
Yuki mengangguk, menutup halaman microsoft word tanpa menyimpannya. Lantas menidurkan kepalanya di meja kerja.
"Gimana bisa mereka nggak bertemu berbulan-bulan? Nah gue nggak liat mukanya seminggu, eh nggak nggak, sehari aja udah jadi bego gini."
"Ya bilang dong kalo lo kangen." sahut rekan kerjanya yang sekarang sudah duduk di kursi sebelah Yuki.
"Gimana mau bilang, gengsi dong gue, malu." elak Yuki. Mungkin bukan karena malu tapi lebih ke dia nggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Saat nanti dia berani bilang kangen, itu artinya Yuki mengakui kalau dirinya memang beneran punya rasa. Dan itu serius nggak baik kalau mereka nggak berakhir bersama. Yuki nggak mau itu terjadi.
"Yaelah tinggal bilang, gue kangen lo Zidan."
Bukannya menjawab Yuki malah melempar gulungan kertas ke muka temannya itu, kesal dia. Apa sih obatnya gengsi? Ada? Kalau ada sepertinya Yuki mau beli.
"Nah terus lo maunya gimana?"
"Gue mau Zidan disini, disini aja, jangan kemana-mana. Gila kan gue? Nggak inget umur kan? Astaga, gue emang beneran udah gila sepertinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia
PoetrySaat kamu terus melangkah Siapa yang tahu dulu kamu berada dimana Saat kamu terus melangkah Siapa yang tahu kamu berhenti dan berbalik arah Saat kamu terus melangkah Siapa yang tahu hatimu untuk siapa