Oktober adalah bulan di mana yang membuat jiwaku terasa lelah, namun semua itu terasa sirna di telan bumantara. Aku sangat bahagia karena setelah sekian lama menunggu kakakku untuk melepas masa lajangnya. Ya, umur kakakku sudah lebih dari cukup untuk menjalani kisah rumah tangga yang sebenarnya. Namun, untuk mencapai itu tidak semudah merobek kertas. Ada lika-liku yang harus dilewati kakakku yang bernama Rohman dan calon istrinya, Ratih.
Hari yang sangat bahagia di tunggu-tunggu. Tenda sudah dipasang di depan rumah dan janur kuning tertempel di pintu gerbang rumah.
Mentari bersinar dengan terangnya, menambah suasana menjadi riang gembira. Para kerabat dan tetangga mulai datang untuk memperlancar acara pernikahan kakakku. Kami sebagai tuan rumah, hanya bisa menyambut kedatangan mereka yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu pernikahan kakakku.Tepat pukul 09:00 WIB, para sinoman sudah berkumpul semua. Mereka pun mulai mengerjakan tugasnya masing-masing yang sudah diberikan Pak Harto, Ketua RT di tempatku.
Aku sendiri menyiapkan alat dan barang untuk prasmanan yang akan dihiasi oleh mudi-mudi RT 12 dan dicampur beberapa sanak saudara. Aku bersyukur mempunyai tetangga yang toleransinya tinggi. Mereka selalu bekerja sama dan saling membantu dalam keadaan susah maupun senang.Tiba-tiba, ada beberapa orang yang sudah datang untuk bertamu. Pagi itu, kami belum siap apa-apa. Hanya punya kacang rebus dan pisang goreng. Akhirnya, semua itu dihidangkan para tamu yang datang.
“Baru mulai kok sudah ada yang datang!”“Terserah! Gak dikasih makan, orang belum masak apa-apa.”
Para pemasak pada ribut karena belum persiapan, sudah pada datang.
“Ke sini sekarang, belum dikasih apa-apa, orang baru mulai masak kok.” Ibuku menjelaskan kepada tamu-tamunya. Mereka pun hanya tertawa.“Loh ini sudah siap,” canda salah satu tamu sambil menunjuk hidangan yang ada di depannya.
“Dinikmati apa yang ada, saya ke belakang dulu.” Ibuku berpamitan dengan tamu-tamunya.
“Nggeh.” Jawab tamu-tamu itu serempak.
Teriknya matahari tepat di atas kepala. Keringat mulai mengucur dari badan para pemasak. Panasnya api bercampur sinar matahari menambah suasana nikmat dalam memeriahkan hajatan ini.
“Assalamualaikum.” Seorang lelaki paruh baya bersama anaknya dari pintu gerbang mengucapkan salam.
“Wa'alaikumussalam,” jawab kami serempak. Kami pun kaget, melihat siapa yang datang. Ternyata, saudara jauh dari Wonosari, Gunung kidul.
“Weh.. Orang wonosari sampai sini!” Ibuku menyambutnya dengan senang.
“Alhamdulillah,” jawabnya dengan senyuman yang renyah.
Kami pun berkumpul bersama saudara-saudara yang datang ke rumahku. Kami mengobrol panjang lebar tentang pengalaman masing-masing.***
Dingin yang begitu mencekam kalbu. Angin sepoi-sepoi dari pepohonan sekitar rumahku, membuat pori-pori terasa membeku.
Malam semakin kelam, tak menghiraukan mereka untuk bekerja. Ada yang memasang background dan ada yang melipat bungkus Snak untuk acara hari terakhir, menjaga tamu dari mempelai putri.
Aku membantu memasang dekorasi, karena yang membuat bahan dekorasi adalah aku. Ya, aku sering bikin karya yang biasanya aku abadikan di kamar. Akan tetapi, waktu acara pernikahan kakakku dilihat banyak orang. Aku pun membuat dengan tenaga dan pikiran yang ku punya.
Kami pun mengerjakan semua itu sambil bercanda. Kami tidak sadar bahwa malam sudah semakin larut dalam dinginnya angin.
Tiba-tiba ada sebuah mobil pick up membawa alat soun sistem. Mereka adalah orang-orang yang disuruh keluargaku untuk menyalakan musik-musik waktu hajatan agar lebih ramai. Mereka pun mempersiapkan semuanya. Dan yang paling tidak ku suka adalah mereka mencoba alat tersebut di tengah-tengah orang sedang terlelap tidur. Sontak aku marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Doa
Teen FictionSetelah sibuk mempersiapkan acara pernikahan kakakku, aku merasa bosan. Akhirnya, aku meminta saran kepada temanku yang bernama Ririn. Ia mengenalkan seorang pria kepadaku yang bernama Andre. Aku pun berkomunikasi lewat whatshap karena Andre berada...