CHAPTER 02 : FIRST DUNGEON

257 28 19
                                    

</>

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

</>

Kabutnya perlahan hilang. Seoul tak lagi diselimuti kegelapan sebab seiring jarum jam bergerak merangkak, suasana kota mulai bisa terlihat lagi dengan mata telanjang, kendati masih belum ada tanda-tanda bahwa listrik akan kembali berfungsi.

Setelah death bell: lonceng yang sepertinya berukuran raksasa memenuhi seluruh penjuru Seoul dentingannya jatuh sepuluh menit yang lalu, kota ini mulai kembali terlihat tak begitu suram. Dari pintu kaca di mana Luan berdiri tepat di ruang tengah, pria tersebut bisa melihat cukup jelas gedung-gedung lainnya. Ada beberapa manusia juga yang terlihat kebingungan seperti dirinya di seberang sana. Melambai-lambaikan senter ke atas dan ke arah gedung apartemen Luan, lalu beberapanya terdengar berusaha menaikkan suara untuk mengetahui keadaan satu sama lain kendati tiga puluh menit ke depan setiap lima belas detiknya, lonceng raksasa itu masih terdengar berdenting mengisi seluruh kota. Tepat seperti apa yang Yian katakan, bahwa death bell ini akan berbunyi dengan durasi tiga puluh menit, entah untuk tujuan apa, sebab Yian belum mengatakan seluruhnya.

Di dalam kamar mereka, Yian sudah kembali sadar, tubuhnya tak lagi mengejang dan kakak perempuannya sedang telaten mengobati luka di punggung adiknya, walaupun wanita itu juga sedang terluka. Luan tahu luka milik Yian yang sebesar dan sedalam itu tak akan cukup jika dibalut dengan perban yang bahkan persediaannya tak banyak di unit ini. Pria itu bisa mati dalam beberapa hari ke depan karena infeksi, apalagi dengan napas yang kini mulai menyempit dan peluh yang terus membanjir di tubuhnya karena suhu tubuhnya cukup tinggi. Yian barangkali lebih tahu dengan kondisi tubuhnya sendiri, maka dari itu Luan masih bungkam dan tidak mau ikut campur konversasi milik Sora dan si bungsu Park itu di dalam kamar.

Namun, lima belas menit berlalu dan Sora selesai memberikan perawatan sementara untuk adiknya, Luan akhirnya dipanggil untuk kembali masuk ke dalam kamar. Netranya melihat Yian di atas ranjang dengan bagian tubuh atasnya yang telanjang, tetapi kini sudah dibalut menggunakan dengan perban nyaris seluruh bagiannya.

Masih dikelilingin keheningan, Luan akhirnya membuang napas cukup keras. Mirip seolah dia mendengkus, lalu menyugar surai hitamnya ke belakang. “Dengan luka seperti itu, perbannya tidak akan cukup untuk beberapa hari ke depan dan persediaan obat juga terbatas.”

Mengabaikan kalimat Luan dan memusatkan atensi pada Yian dengan tatapan kuyu, Sora lantas mengatakan cukup lirih, “Kalau begitu aku akan mencarinya ke luar. Kabut di luar juga sudah tidak seburuk sebelumnya.”

“Kau akan pergi sendiri?”

“Selama aku masih bisa sendiri, aku tidak akan meminta bantuanmu. Lagi pula ini urusan keluargaku,” jawabnya dingin, bahkan tak sampai menoleh pada lawan bicaranya. Luan mengembuskan napas berat juga panjang saat mendengarnya.

Ada satu yang mungkin paling sulit Luan tangani dari sekian banyak sifat buruk Park Sora: akan sangat amat menjadi keras kepala jika itu menyangkut keluarganya yang hanya tersisa, Park Yian seorang. Luan bahkan pernah dianggap sebagai orang asing kalau itu menyangkut Yian. Wanita ini akan sangat amat over protektif pada adiknya. Apalagi dengan keadaan dan kondisi Yian yang seperti ini. Luan bahkan tak punya peluang untuk masuk, melihat dari bagaimana Sora kini berbicara, bersikap, yang bahkan seperti tak sudi menatapnya. Benar-benar seperti orang asing. Dan kesialan itu bertambah ketika sekarang Luan tak lebih dari mantan kekasihya. Benar-benar sialan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[M] REMNANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang