Antagonis 4

1.1K 223 20
                                    

Warning: ada adegan yang agak 17+. Harap bijak:v

Antagonis 4

"Nggak bisa izin saja, Gin? Kamu benar-benar kelihatan pucat."

Ucapan Tante Arwen-adik ipar Mama-membuatku mendongak. Ternyata bukan hanya dia saja yang kini menatapku, tapi juga Om Hendra dan Alan, anak mereka.

"Hari ini ada presentasi." Aku menatap tiga orang kesayangan Icha ini satu per satu. "Aku harus berangkat."

"Tapi bos kamu pasti ngerti kalau kamu lagi sakit. Lagian selama ini kamu belum pernah izin, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak usah, Tan."

Buat apa aku bolos kerja dan hanya berdiam diri di rumah? Itu akan membuat kepalaku penuh oleh hal lain yang justru menambah rasa tertekan. Imbasnya, aku akan mengkomsumsi pil penenang lebih banyak dari biasanya dalam sehari. Padahal semalam aku harus menambah dosis karena tidak bisa tidur sampai dini hari setelah lembur mengerjakan bahan presentasi hari ini.

Setelah menyelesaikan sarapan dengan cepat, aku bangkit kemudian mencium tangan Om Hendra dan Tante Arwen. "Aku berangkat dulu."

"Lan, antar Gina."

Ucapan Om Hendra membuatku menoleh. "Nggak usah, Om. Aku naik ojol."

"Saya tidak terima bantahan, Gina."

Mengembuskan napas berat, akhirnya aku menurut. Alan, pria yang lebih muda dua tahun dariku itu juga langsung keluar, masih dengan raut datarnya seperti biasa. Selama perjalanan, jangan harap dia akan mengajakku bicara. Sejak kecil, dia sudah tersetel menjadi manusia kaku yang irit bicara. Entah kepada orang yang dia sayang, maupun kepadaku yang dulu pernah dia benci.

Lima tahun berlalu sejak terungkapnya status Icha di rumah ini berikut masalah-masalah yang menyertai, aku tetap diterima bersama mereka. Setelah semua yang aku dan Mama lakukan, mereka masih memperlakukanku seperti manusia pada umumnya. Itulah yang justru makin membuatku tertekan dan ingin segera keluar dari rumah. Kebaikan mereka tidak sepantasnya diberikan kepada antagonis sepertiku.

***

Aku tidak tahu ada apa dengan Rivaldo selama beberapa hari belakangan ini. Kadar 'siksaan' yang dia berikan makin berlipat ganda. Tak hanya itu, dia juga jarang menunjukkan senyum jail, lebih ke wajah serius yang setiap waktu seolah menahan emosi.

Sebenarnya aku tidak peduli dia punya masalah atau apa, hanya saja, imbasnya selalu ke aku. Seperti yang dia lakukan kemarin, memerintahku untuk mengerjakan bahan presentasi dalam sehari sehingga aku harus membawanya pulang untuk diselesaikan di rumah. Akibatnya, seperti yang dibilang Tante Arwen tadi pagi, aku memang sakit. Kepalaku sangat pusing dan badan terasa lemas sekali.

Tapi apa Rivaldo-another part of protagonist-itu akan paham? Tentu tidak. Apalagi ada satu poin presentasi yang ternyata salah kuinput dan menimbulkan sedikit kesalahpahaman di ruang meeting tadi. Meski aku bisa dengan tenang menyelesaikan dan rapat kembali berjalan lancar, Rivaldo tidak akan melepasku. Dia yang kini berdiri menyandarkan pinggul di tepi meja, menatapku bak singa yang mengintai mangsa. Sementara aku duduk di kursi sesuai perintahnya. Aku sendiri sudah pasrah, bahkan berharap dipecat saja.

"Makin hari kamu makin memuakkan, Regina." Dia memulai dengan kalimat kasar andalannya. "Do you know it?"

Aku mengangkat wajah, sehingga kami bertatapan selama beberapa detik. Setelahnya aku berkata, "Yes, i know."

Percuma menyangkal. Toh aku juga tahu dia muak denganku. Aku selalu salah, aku sadar itu. Bahkan bernapas pun sudah merupakan dosa di matanya.

"Dan kenapa kamu ngelakuin itu ke saya?"

Antagonis (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang