Bab 1: Ide Gila

16 3 2
                                    

Malam telah kelam sempurna, bulan terlihat bagaikan cincin bersinar mengintip dari balik awan. Nando menghentikan jari yang bergerak di atas keyboard. Tercenung menatap kosong layar laptop dihadapannya. Bagaimana pun dia berusaha fokus, pikirannya tetap melayang tidak tentu arah.

Lelah melawan pikiran sendiri, lelaki berusia lebih dari tiga puluhan itu akhirnya berdiri dan berjalan menuju jendela. Menatap pemandangan dari jendela kamar rumahnya ke atas langit yang terlihat cerah. Bintang yang bertaburan terlihat bagaikan titik-titik berkelap-kelip berwarna keperakan. Pemandangan indah tetapi tidak bagi Nando yang  sedang kalut.

Nando menghisap rokok, meresapi dan membiarkan nikotin yang terkandung menghangatkan tubuh. Mendengkus menyadari hidup terasa sungguh membosankan. Dia memang bisa dikatakan lelaki yang sangat beruntung, semua sudah hampir dimiliki. Namun, malam ini terasa sepi.

"Kau akan menjadi wali anak itu, mengapa tidak sekalian saja kau menjadi pengganti ayahnya," kata-kata Mamanya tadi siang terngiang. Saat Nando datang berkunjung ke rumah orangtuanya. "Ini jalan terbaik menurut Mama," tegas Diana, Mamanya.

"Jika anaknya laki-laki, semua tidak ada pengaruh, Ma. Jadi, itu tidak bisa dijadikan alasan," Nando membantah. Rahangnya berkedut ketika wanita yang duduk di depan kembali mengungkapkan rencana yang menurut Nando sebuah ide gila.

Diana tidak segera menjawab, tangannya bersedekap menatap anak sulungnya. "Bagaimana pun juga Dhya akan mendapatkan sebagian dari peninggalan Adrian, hal itu yang Mama khawatirkan," kata Diana serius.

"Itu sudah hak Dhya, Ma. Apa yang perlu dikhawatirkan?" Desahan keras keluar dari bibir Nando, dia menggeleng-gelengkan kepala dan menghempaskan punggung ke sandaran kursi. "Aku tidak menyangka dengan apa yang telah kita miliki, Mama masih merasa kurang?"

Pandangan mata Diana berubah tajam. "Kau pikir Mama melakukan ini karena harta?" Diana bertanya dingin. "Mama tidak sepicik itu, Nando."

Nando menatap Diana lalu memalingkan wajah. Dia yakin apalagi yang ada di dalam pikiran wanita yang terkenal aristokrat dan feodal ini. Kehidupan borjouis yang mengelilingi tidak menjamin mereka puas dengan apa yang ada di tangan.

"Dhya masih muda dan umurnya belum genap dua puluh lima tahun saat melahirkan nanti," Diana menjelaskan. "Siapa yang bisa menjamin dia tidak akan menikah lagi?"

Dahi Nando mengernyit, mencoba memahami perkataan Diana. Menghela napas lalu, "Kita tidak bisa melarang, Ma. Walau Dhya dulu istri Adrian. Apa pun pilihan hidupnya nanti bukan urusan kita lagi."

"Jika Dhya tidak mengandung anak Adrian. Mama tidak akan ikut campur, Nando." Suara Diana terdengar meninggi. Dia berdiri dan berjalan gelisah mendekati jendela.

"Mama tidak sanggup membayangkan jika anak yang dilahirkan Dhya nanti akan diasuh oleh lelaki yang mempunyai pribadi buruk," pelan Diana berkata. Suaranya terdengar hampa dan matanya memandang kosong ke luar jendela.

Nando terdiam sejenak, mengutuk dalam hati menyalahkan diri karena telah berprasangka buruk kepada wanita yang melahirkannya ini. Setelah berdebat beberapa kali kini  dia baru memahami apa yang dipikirkan Mamanya setelah kematian Adrian.

Nando berjalan mendekati Diana, mengusap bahu wanita yang lebih sering berkeluh kesah kepadanya dibandingkan dengan sang Papa yang jarang memberi waktu kepada keluarga. Ah Papa, di mana dia kini di saat wanita yang telah mengorbankan dan menghabiskan hidup untuk mencintainya sedang dalam kegundahan. Mata Nando terpejam mengingat lelaki yang telah membuat dia ada, tetapi tega membagi hati.

"Dhya wanita mempunyai pendirian, Ma. Dia tidak akan sembarangan memilih laki-laki untuk ayah anaknya nanti. Aku yakin itu. Bukankah kita sudah mengenal bagaimana pribadinya selama ini," kata Nando berusaha menenangkan.

"Kita tidak memungkiri, menjelang akhir hidupnya Adrian sangat bahagia karena kehadiran Dhya di sisinya," tambah Nando lirih. Dia memeluk bahu Diana, mencoba memberi kekuatan. Kepergian Adrian untuk selamanya dua bulan yang lalu betul-betul membuat Diana terpukul. Nando teringat bagaimana beratnya Diana untuk bangkit saat kehilangan Adrian. Walaupun mereka sudah menyiapkan diri untuk menghadapi hal ini.

Diana terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. Dia merebahkan kepala di bahu anak semata wayang yang dimilikinya kini.

"Ini juga yang menjadi pikiran Mama sekarang," Diana bergumam lirih. "Mama tidak ingin wanita sebaik Dhya lepas ke tangan orang lain."

Dengan berat Nando membuang napas, menatap jauh ke depan. Bayangan wajah itu melintas. Wanita yang setahun belakangan ini hadir di keluarga mereka. Dhya Salsabila, seorang yang tidak hanya memberi arti bagi Adrian menjelang ajalnya, tetapi juga untuk dirinya.

"Dhya tahu apa yang harus dilakukan untuk hidupnya. Dia wanita baik dan tulus, masih mau menerima Adrian walau telah mengetahui penyakitnya. Bukan karena itu juga Mama berat melepaskannya." Mata Diana menerawang lalu menghembuskan napas. "Kelapangan jiwanya untuk menerima Adrian kembali setelah semua perlakuan Papamu kepadanya. Itu yang membuat Mama tidak rela dia jatuh ke tangan orang lain."

Sebersit nyeri menjalar di hati Nando saat Diana mengukit perlakuan Papanya kepada para gadis yang pernah di bawa anak-anak lelaki mereka ke rumah ini untuk dikenalkan. Semacam penghinaan, tetapi telah membuka mata Nando. Bagaimana perempuan yang dulu pernah dicintainya begitu tulus namun memberinya luka. Sehingga merubah pribadi Nando yang awalnya setia, akhirnya menjadi pematah hati wanita bahkan tidak segan untuk menghancurkan hidup mereka.

"Nikahilah Dhya, Nando. Jadikan dia kembali menantu Mama."

Mata Nando terpejam, permintaan Diana kesekian kali yang sering diucapkan setelah empat puluh hari kematian Adrian. Perkataan yang ditanggapi datar oleh Nando, tetapi selalu mampu membuat hatinya bergetar.

"Apa Mama tidak lebih khawatir kalau Dhya menikah denganku?" Nando bertanya untuk menjawab perkataan Diana. "Aku tidak pantas untuk disandingkan dengan Dhya, Ma. Dia terlalu baik untukku."

Kepala Diana terangkat, menatap Nando muram, "Mama yakin kamu akan berubah setelah bersama Dhya, Nando. Jangan mengelak, kamu pantas berada di sisi Dhya."

"Dengan reputasi yang aku miliki?"  Nando membantah. Dia menggeleng tidak yakin, "Dhya akan berpikir ulang menjadikan aku ayah untuk anaknya, Ma."

"Kamu sendiri bagaimana?" Diana bertanya menegaskan. "Apa kamu mau seorang Dhya lepas ke tangan orang lain?"

Bibir Nando tertutup rapat, terdiam. Kerutan di dahinya semakin dalam memikirkan jawaban apa yang akan diberikan. Bayangan wajah Dhya semakin jelas. Bagaimana  bahagianya Adrian selama bersamaan wanita itu dalam ikatan pernikahan terlintas.

"Dhya wanita yang pantas untuk pelabuhan terakhirmu. Apalagi yang kamu cari? Mama lelah dan bosan melihat petualanganmu."

Nando mendesah keras, "Kita tidak bisa memaksakan kehendak, Ma. Lelaki seperti aku bukan type Dhya."

"Lalu bagaimana Dhya menurut pendapatmu? Apa dia type wanita yang kamu cari selama ini?"

Nando mendesah kembali, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ingin dia jujur kepada Diana kalau dia sangat menginginkan semua itu terjadi tetapi dalamnya jurang antara mereka berdua membuat Nando pesimis. Dhya sosok pribadi yang selama ini menjaga diri dan kehormatan sedangkan Nando. Seluruh orang tahu dia seorang lelaki yang suka mempermainkan wanita.

"Besok Mama akan menemui Dhya. Sepertinya kita sudah mempunyai keputusan," kata Diana setelah menunggu beberapa saat tidak mendengar juga jawaban dari Nando.

Nando membunuh rokok dan mendengkus mengingat pertemuan dengan Mamanya tadi siang yang membuat gelisah. Kalau saja kehidupannya masih seperti dulu, dia akan melupakan kekalutan dengan menghabiskan malam berada di antara tubuh-tubuh molek yang berebut ingin mendapatkannya. Semua itu berubah sejak setahun terakhir ini sosok Dhya hadir dalam hidupnya. Seorang wanita yang diam-diam dicintainya bahkan ketika masih berada dipelukan Adrian, adik Nando satu-satunya.
***












Pemikat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang