Rasa

19 0 0
                                    


Hari itu cerah, indah bertabur awan yang menawan. Ifa dengan cerianya menghitung berbagai jenis hewan yang terbang di atas langit biru, imajinasinya kian liar ketika Ia mulai memejamkan mata dan kemudian membukanya perlahan.

Awan itu semakin nyata, seakan menyapa Ifa yang sedang larut dalam rasa yang tak bisa Ia definisikan bagaimana, mengapa dan seperti apa rasa itu ada dalam dirinya.

"Fa, buruan makan!" Teriak ibu membuat Ifa terkejut. Lantas, awan di langit pun lari berpencar tanpa bentuk dan kemudian perlahan hilang.

"Iya, Bu." Jawab Ifa singkat.

Beranjak dari kursi malas berbahan bambu dengan desain sederhana tanpa busa, bentuknya memanjang ada lengkungan untuk meluruskan kaki dan sedikit meninggi dibagian bahu untuk bersandar. kursi itu multi guna meski harganya standar, selain untuk rebahan juga bisa beralih fungsi untuk pijat refleksi.

"Aku akan tetap menunggu jawaban iya darimu, Fa."
Membaca pesan dari Juna membuatnya melamun dan seketika Ia sadar akan rasa yang sedang ia alami.

"Apakah ini yang disebut rasa cinta? Atau rasa suka? Entahlah, Aku tak tau pasti." Gumam Ifa berbisik pada dirinya yang sedang menikmati nasi goreng telor ceplok tak berbentuk padahal tak diaduk.

"Ya, akan kujawab nanti setelah pengumuman kelulusan. Apapun jawabannya nanti, semoga kamu menerimanya." Balasan pesan langsung diterima di menit yang sama. Ifa larut dengan gawainya hingga membuat ibunya harus mengeraskan suara agar Ifa segera menghabiskan makanan yang disantapnya lalu beranjak mencuci perabot dapur yang sudah berserakan menunggu tuannya untuk dibereskan.

Ifa tak punya energi seperti hari-hari biasanya, Ia lemas tak berdaya, wajahnya pucat sayu seperti orang yang Anemia.

Bagi orang lain mungkin akan ditanggapi serius, tapi tidak bagi keluarganya. Semua anggota keluarga tahu, bahwa hari ini adalah hari penentuan buat Ifa. Apakah Ia akan memakai almamater sebagai bukti bahwa Ia mahasiswa atau malah sebaliknya, menangis sejadi-jadinya karena gagal masuk universitas tujuannya.

"Fa, aku lulus meski di kampus pilihan kedua. Bagaimana denganmu?" Tanya Juna melalui pesan singkat, semakin membuatnya tak berdaya.

Sekedar untuk menekan mouse pada bagian tulisan kapital untuk melihat hasil pengumuman saja, Ifa tak mampu.

Ifa meminta bantuan pada teman disebelahnya yang juga kebetulan sedang membuka pengumuman kelulusan. Dengan membuka mata perlahan Fia melihat teks bertuliskan "Selamat".

Seketika Ia menghembuskan nafas lega dan mengucap syukur terhadapNya, yang sudah mengabulkan doa gadis belia yang terlahir dari keluarga tidak kaya, anak kampung yang mungkin sebagian orang mendefinisikan sebagai anak kampungan. Padahal jelas definisi kampung dan kampungan bagaikan langit dan awan, yang tampaknya satu kesatuan, padahal tak terukur jaraknya dengan meteran.

"Aku juga lulus dipilihan kampus kedua. Artinya kita satu kampus dengan fakultas berbeda. Selamat untuk kita, semoga ini menjadi langkah awal untuk terus mengukir asa." Balasan pesan Ifa untuk Juna.

Ifa kemudian memasukkan gawainya ke dalam tas kecil berwarna biru, lantas Ia segera melaju pulang meninggalkan kedai internet dengan hati dan energi yang sudah kembali normal seperti sedia kala, bahkan justru energinya bertambah membuat keluarganya ikut bahagia.

"Bu, apa hadiah untukku?" Canda Ifa pada Ibunya setelah memberikan kertas pengumuman hasil kelulusannya.

"Ibu bakalan gendong kamu, Fa. Seperti dulu waktu kamu masih kecil" Jawab Ibu dengan serius. Ifa merasa haru lantas Ia memeluk ibunya erat-erat.

"Ndak mau, Ifa terlalu berat untuk digendong. Ifa sudah lebih dari cukup merasakan gendongan ibu sedari Ifa lahir". Jawab Ifa dengan disertai mata sembab menahan tangis yang Ia bendung.

"Ibu ingin gendong anak gadis ibu" paksa Ibu membuat Ifa setuju.

"Tapi cuma jalan tiga langkah saja ya bu" pinta Ifa.

Ibu menggendong Ifa di pundaknya, meski hanya tiga langkah saja itu cukup mengingatkan kenangan indah semasa Ifa masih bocah. "

"Fa, apakah kamu lupa akan sesuatu?" Tanya Juna membuatnya tak bisa berkilah.
"Aku tidak lupa, Juna. Aku hanya sedang merangkai kata yang tepat." Balas Fia beralasan.


"Tak perlu jawaban dengan rangkaian puisi, Fa. Cukup dengan jawaban 'Iya' itu sudah membuatku bahagia." Tegas Juna.

"Iya" Balas Ifa singkat setelah itu Ifa mematikan gawainya kemudian manarik selimut, tapi bukan untuk memejamkan mata, melainkan menikmati rasa yang ada pada dirinya malam itu. Fase baru akan segera dimulai, baginya menjadi dewasa adalah sesuatu yang ditunggu sedari dulu.

Perpaduan berbagai rasa dalam waktu bersamaan begitu menarik baginya, seperti yang sedang Ia alami malam itu. Fia terbenam dalam angannya, rasa yang beberapa hari mengusiknya sudah mulai terurai perlahan dan Ia juga mulai mampu memahami definisi rasa apa yang dirasa.

***

Ya. Ifa adalah remaja yang baru lulus SMA, baru memulai belajar untuk mencari definisi dewasa itu seperti apa bentuknya.

Ifa tak sabar, menunggu waktu untuk memulai dunia barunya sebagai mahasiswa. Dibenaknya, perkuliahan adalah fase penentu masa depan. Keberhasilan ataupun kegagalan dalam fase kehidupan setelahnya ditentukan dari keberhasilan saat proses perkuliahan. Benarkah demikian?

Juna dan Ifa memulai fase barunya dengan kesepakatan untuk menjalin hubungan tanpa mengganggu aktifitas perkuliahan. Kesepakatan itu berlangsung tanpa terasa sudah dua tahun lamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Awang-Awang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang