"Selanjutnya tolong maju ke depan untuk pemenang lomba matematika tingkat kota dengan memperoleh juara satu atas nama Syaiadza Afwa dari kelas sembilan a silahkan maju"
Hari Senin yang katanya hari kramat karena upacara, tapi rasanya beda untuk hari ini. Seluruh pasang mata warga sekolah tertuju pada pengumuman juara lomba, dan namaku ada di dalamnya. Sedikit ada perasaan bangga tentunya.
Aku maju untuk mengambil piala dan berfoto bersama guru pembimbing dan kepala sekolah.
Cukup lama ya untuk hanya sekedar berfoto. Sekarang aku berada di lorong sekolah dengan berjalan sendirian. Aku ditinggal sendiri karena seluruh siswa sudah masuk ke kelasnya kecuali aku yang tadi sibuk mengurus perihal lomba.
Sedikit aku cepatkan langkah kakiku untuk menuju kelas, yang dimana ini ada di jam pelajaran matematika.
Tak ku sadari ada seseorang yang memegang puncak kepalaku dan mengelusnya, aku yang kaget sontak melihat ke sampingku, aku melihat anak laki-laki yang jauh lebih tinggi dari aku, dengan badan tegap, dan kacamata seperti opa-opa Korea yang yang dia kenakan.
Dia salah satu anak kelasku, memang cukup aneh atau entahlah aku tak mengerti maksudnya apa. Aku memicingkan mata tajam ke arahnya dan dia tersenyum lepas seperti tak ada beban.
"Cih tebar pesona" batinku.
"Ngapain sih pegang-pegang," kesalku.
"Ya nggapapa suka-suka aku," jawabnya.
"Nanti diliat guru, nih orang memang ngga jelas ya," jawabku dengan menatap tajam matanya. Terlihat jelas muka kesalku.
"Kalau ngga diliat berarti mau cil?" Godanya dengan senyum dan wajah yang didekatkan di hadapan wajahku. Terlebih-lebih dia memanggilku denga sebutan cil.
Cil apaan cil? Acil?
"Dih apaan sih, gila y," ucapku yang cepat berlalu pergi menuju kelas. Ku tinggalkan makhluk aneh itu di lorong sekolah. Cukup menakutkan untuk melihat tatapannya yang sangat AAAAAAAA.
Tok tok
"Assalamualaikum ustadzah permisi," ucapku sambil mengetok pintu kelas.
"Waalaikumsalam ya silahkan masuk nak," jawab guru matematika yang sedang berada di hadapanku ini.
Aku duduk di kursiku dan menyiapkan perlengkapan untuk mencatat materi yang ada di papan tulis.
Tak lama berselang datang seorang laki-laki yang membuat semua orang tertuju kepada pintu yang diketoknya. Aku melihat dia laki-laki yang tadi aku temui di lorong sekolah. Wajahnya memang sangat menyebalkan.
"Evan kenapa baru datang? Dari mana saja kamu selama jam pelajaran saya tadi?" Tanya guru matematika kepada laki-laki itu.
Ya namanya Evan Bagaskara, manusia yang kata orang tampan sampai-sampai membuat para kaum hawa di sekolah ini memuji-mujinya. Entah soal ketampanan, atau soal ekstrakurikuler yang dia pimpin. Dia memang punya daya pikat yang kuat, aku saja heran dimana letak keindahan dan kebagusan dari seorang Evan Bagaskara.
Setahuku dia menjadi pemimpin salah satu ekskul di sekolah ini, yaitu pramuka. Sepertinya dia sangat cinta mati dengan pramuka.
"Maaf Bu, tadi saya ke ruang guru untuk menemui pembina pramuka untuk acara besok," jawabnya dengan santai.
"Kenapa harus sekarang? Bisa nanti bukan? Kenapa di jam saya bukan di jam istirahat?"
Aku ingin tertawa nyaring melihatnya di tatar dengan banyak pertanyaan. Salah sendiri berani-beraninya dia di jam Bu Levi bertindak seenaknya.
"Ngga bisa Bu, Ustadz Ikhsan mau pergi jadi saya harus menemuinya pagi ini untuk membicarakan acara besok," jelasnya.
"Ya sudah kamu duduk di tempatmu sekarang, lain kali izin dulu ke saya," ucap Bu Levi.
Dia mengangguk-anggukan kepalanya, dan berjalan ke arah tempat duduknya yang berada di deret paling belakang, sedangkan aku duduk di deret tengah. Dia melihat ke arahku dan kembali menebar senyum yang menurutku cukup menakutkan.
Aku segera mengalihkan pandanganku melihat ke teman sebangkuku yaitu Shasta.
"Taaa Ta," panggilku agar makhluk di sampingku ini melihat ke arahku.
"Hah apa?" Tanyanya dan memberhentikan pekerjaannya yaitu mencatat. Ini makhluk memang suka mencatat.
"Evan dari tadi aneh,"
"Hah? Yang jelas ngomongnya Faaa, aneh gimana aneh, memang dia aneh kamu aja yang baru sadar,"
"Bukan gituuu, masalahnya ini anehnya ke aku. Tadi di lorong kepalaku di elus sama dia, terus tadi dia ngeliatin aku kek senyum yang AAAAA,"
"HAH," ucap Shasta dengan suara teriak.
Aku melotot ke arahnya, pengen ku cubit rasanya makhluk di sampingku ini.
"Shasta kenapa ya itu?" Ucap Bu Levi dengan memicingkan tatapannya ke arah tempat dudukku.
"Oh ngga Bu tadi ada kecoa di dekat kipas angin atas ini Bu," ucap Shasta dengan menunjuk ke langit atas.
Bu Levi hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja.
Aku menarik nafas lega huhhhh, hampir saja.
"Kenapa bisa Fa? Ih hati-hati modus barunya Si Evan itu," ucap Shasta yang berbisik kepadaku.
"Ya ngga tau, nanti aku mau cerita ke yang lain dulu," ucapku
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kacamata
Teen FictionAwalnya aku kira kamu bakal jadi sosok pelindungku dibalik senja tapi sekalinya kamu hanya bagian dari pembelajaran pahit yang ku terima