He Hated His Mother

12 5 0
                                    

"Berikut laporan yang diterima oleh pihak kami di tempat, kepada Mardini apa yang terjadi di-"

Suara tadi terputus, perpindahan arah pandang kini melaju pada sesosok wanita bertubuh semampai dalam balutan baju merah tua dan celana krem gelap yang lebar, kerut di bawah kedua mata menandai umurnya yang sudah tak lagi muda. Seisi ruangan tampak lebih muram dengan tatapan dari wanita itu, coklat tuanya menajam pada putra satu-satunya yang bersandar pada sofa.

Pemuda itu malah mendelik, melanjutkan kegiatannya untuk mendengarkan berita melalui benda kotak berlayar terang.

"Hanahaki saat ini-"

Laki-laki dalam berita kini bagai bisik-bisik sayup, tangan sang ibu sudah lebih dulu menghambat bunyi dari ponsel pintarnya.

Keduanya bertatapan, ruang televisi itu sudah bagaikan ring tinju. Saling beradu pukul dalam kilap dengus, lelah dengan adu ego pemuda tadi melemparkan bantal sofa ke dekat tangan dari furnitur empuk tersebut.

Baru saja akan beranjak, pergerakannya diinterupsi oleh wanita berambut sepanjang pundak di hadapannya.

"Mau kemana kamu?"

"Keluar," ketusnya.

Cuma sepatah kata yang ia beri, lalu berdiri dan berjalan pergi meski sang ibu berteriak-teriak.

Dia, pemuda berpesolek oke yang dipadu rambut kusut tiada disisir, memainkan sebuah gantungan kayu berukiran R. Kakinya dilangkah menuju salah satu sisi halaman rumah di mana sebuah kendaraan beroda dua terparkir manis, mukanya yang semula datar sedikit cemerlang sekarang.

Pemuda itu sudah membuka gerbang dan hendak melaksakan kegiatannya untuk mengungsi ke rumah kawan sejawatnya, kalau bukan karena sang ibu menunda dirinya lagi. Bintang-bintang yang ada di maniknya sekarang hirap, melompat dari kolam coklat keruh. Wanita tua itu menghadap di sebelah anaknya, mencengkeram lengan atas lelaki satu-satunya dalam hidup.

"Tadi Ren denger juga kan di berita?" Ibunya mengencangkan pegangan bahkan menarik-nariknya agar cepat turun dari motor.

Ren alias Renandra-nama pemuda itu-menaikkan alisnya, merampas tangannya dari jemari dan kuku sang ibu. "Kenapa?" tanyanya.

"Dengerin kata mama, ayo turun aja. Kalo kamu kena di luar sana gimana?"

"So?" Renandra berdecak habis mengucapkan katanya, dipijitnya tengah kening. "Kalo aku mati bagus buat Ibu, kan?"

Terkesiap mendengar ungkapan mati begitu mudah terlepas dari jeruji gigi anaknya sendiri, ia menutup mulut sedangkan Renandra melebarkan matanya sesaat tapi tetap menghidupkan mesin motornya, suara knalpot berderu terdengar makin menghampa manusia lain selain dirinya. Sadar hal yang akan dilakukan lelaki bersuara sedikit bas itu, si wanita sekarang meraih ujung baju kemejanya, mecengkeramnya dengan tatapan marah.

Renandra menarik lagi lengannya kasar agar terlepas dan langsung mengajak kuda besinya melompat hingga kecepatan 40 km/jam, meninggalkan pemilik rumah di halaman bersama manik yang berkaca. Dia makin mengencang bersama kepulan asap yang menyebar di udara, orang-orang bergantian menghujatnya setiap kali tubuh gesit motor hitam itu dibawa melewati mereka.

Pemuda tanggung itu tidak dalam kondisi fokus, pikirannya hanya melambung pada detik-detik keinginannya dipadamkan, ketika ramah berubah sedemikian rupa.

Kendaraannya dan ia melenggak-lenggok dengan awan batin melayang di atas kepala, bergelut dengan seisi hati dan rasa salah. Sampai, keduanya tiba, di sebuah rumah sederhana. Pagarnya yang minimalis berwarna hitam dibuka pelan.

He Hated His Mother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang