“Di dalam kertas ini terpampang jadwal anda selama satu minggu. Di mana weekend saja, anda sibuk. Jadi, bagaimana mungkin anda akan memiliki waktu bersama dengan kedua anak anda? Untuk berada di rumah saja ada tidak memiliki waktu?!” Khinanti Adithya menatap rival kliennya dengan tatapan tajam, kemudian melirik pengacara yang ada di sampingnya, tampaknya ia puntidak bisa membantah apa yang baru saja ia jabarkan tadi.
“Keberatan Yang Mulai!” Ramatama Mahendra mengangkat tangannya dan menatap Khinan tak kalah tajam.
“Itu hanya jadwal di siang hari, sementara sore menjelang malam, ibu Susan Sulistia masih memiliki waktu untuk memperhatikan kedua anaknya dan suaminya. Bahkan beliau masih bisa memasak menu makan malam kedua anaknya,” bantah Rama sekaligus membela kliennya, lalu sekilas melirik Khinan kembali.
Perdebatan itu terus berlangsung, dengan terus saling melemparkan argument yang rasa-rasanya jika disatukan bisa jadi alasan yang sempurna untuk mereka kembali bersama.
Tetapi mereka tetap berkeras dengan pemikiran mereka masing-masing, yang menurut mereka sama-sama benar, hingga akhirnya belum juga menemukan titik terang dan persidangan perebutan hak asuh anak yang direbutkan oleh pasangan yang hampir bercerai itu haru ditunda sampai persidangan berikutnya.
Kedua belah pihak masih sama-sama ngotot karena merasa memiliki hak untuk membesarkan anak-anak hasil pernikahan mereka di antara kesibukan yang mereka miliki.
“Kamu seharusnya sadar diri. Anak-anak selalu mencari kamu setiap malam. Itu sudah jelas, kalau kamu memang tidak memiliki waktu untuk mereka,” racau Reino. Saat mereka sudah di luar ruang persidangan. Menatap Susan dengan tidak percaya dan sengit.
“Hey, aku bekerja keras saat ini, supaya nanti anak-anak tidak kekurangan,” balas Susan tidak kalah sengitnya.
“Ini yang tidak aku suka dari kamu. Kamu selalu merasa kurang dari apa yang aku berikan.” Reino terlihat sangat kecewa.
Susan hanya diam dengan tatapan yang sama sekali tidak merasa bersalah.
Kedua pasangan itu, yang mungkin dulu pernah saling mencintai kini berebat tanpa bisa dicegah, bahkan pengacara mereka, yang berniat untuk meleraipun dipaksa untuk diam, karena itu urusan mereka.
Baik Rama ataupun Khinan memilih untuk diam dan membiarkan keduanya berdebat, sementara mereka bersikap menjadi penonton.
“Kamu habat tadi,” puji Rama pada Khinan tanpa menoleh lawan bicaranya.
Khinan menoleh dan tersenyum tipis nan sinis.
“Kamu takut karena akan kalah?” tanya Khinan yang tahu, bukti-bukti miliknya sudah bisa memenangkan kasus.
Rama menoleh pada Khinan tersenyum hingga menunjukan lesung pipinya, lalu menggeleng samar.
“Saya sama sekali tidak merasa terintimidasi. Bagaimanapun anak-anak di bawah umur masih perlu perhatian ibunya.” Rama mengingatkan.
“Bagaimana bisa hak asuh jatuh pada klien anda? Kalau untuk mengurus rumah saja tidak bisa, tidak ada waktu,” sindir Khinan mengingatkan dengan tatapan tajamnya.
“Nona Khinan! Ayo kita pergi,” seruan itu membuat Khinan dan Rama menoleh pada asal suara. Reino menghampiri pengacaranya dan mengajak pergi. Sementara Khinan merasa sedikit kecewa karena belum sempat mendengar penjelasan Rama tentang argumen yang ia lemparkan.
***
Persidangan yang baru ia lalui sungguh menguras tenaga, dua klien yang sama-sama tidak mau mengalah padahal sudah sangat jelas keduanya yang egois, ditambah, semakin panjang sidang yang ia hadapi, artinya dirinya akan semakin sering berhadapan dengan Ramatama Mahendra.
Khinan tidak suka dengan fakta itu, ia tidak suka dengan tatapan lelaki itu, tatapan yang membuatnya merasa ciut dan… Khinan menggeleng ia tidak suka, tetapi dirinya tidak bisa egois, apa yang sedang ia hadapi adalah satu risiko di dalam kariernya sebagai seorang pengacara.
Bertemu klien menyebalkan dan bertemu dengan pengacaranya yang pasti sama-sama menyebalkannya.
Lamunan Khinan buyar, saat mendengar suara pintu ruangannya diketuk. Setelah mempersilakan masuk, pintu terbuka.
Dari balik pintu muncul tubuh kecil Andiri dengan senyumannya.
“Bu, ada pesan.”
Khinan mengerutkan kening, terkejut, kenapa kliennya itu memberikan pesan pada Andiri bukan langsung menghubunginya.
“Pesan, apa?”
Andiri melangkah mendekat dan mengulurkan sticky note pada perempuan dengan rambut lurus sebagu itu, dengan cepat Khinan menerimanya.
“Klien ingin Bu Khinan menghubungi beliau dengan nomor tersebut,” jelas Andiri singkat.
Khinan hanya bisa mengangguk pelan. Klien yang beberapa hari lalu, ia tangani kasusnya kini memintanya untuk dihubungi.
“Saya permisi, Bu,” pamit Andiri, setelah tugasnya selesai.
Khinan mengangguk dengan mata yang tetap fokus pada kertas berwarna kuning cerah itu dengan deretan angka di dalamnya. Lalu, cepat-cepat Khinan mengambil benda pipih yang ia letakan di atas meja dan dihubunginya nomor tersebut.
“Halo?”
***
Rama sedang menikmati waktunya, dengan melamun, pertemuannya dengan Khinan hari itu, benar-beanr mengubah persepsinya tentang perempuan itu.
Khinan Adithya benar-benar banyak berubah. Pembawaannya yang lembut, langsung hilang saat perempuan itu buka suara. Berubah menjadi wanita yang tegas dan dominan. Benar-benar- wanita yang berbeda.
Dering ringtone berbeda di handphone-nya berbunyi. Menandakan jika ia memiliki panggilan dari klien, bukan anggota keluarganya. Dan itu menganggu lamunanya.
Diambilnya benda pipih itu dan melihat siapa yang menghubunginya.
“Halo, Bu Susan,” sapa Rama sesaat setelah tahu siapa yang menghubunginya.
“Halo, Pak Rama. Kamu sibuk weekend ini?” tembak Susan dari seberang sana.
Dengan gestur ragu, Rama menyugar rambutnya yang sedikit panjang ke belakang.
“Tidak, ada apa ya?” tanya Rama penasaran.
“Bisa kamu temui saya? Saya sedang berada di luar kota. Bisa kamu ke sini? Kamu tenang saja semua transportasi, akomodasi saya akan tanggung.”
Dari penjelasan Susan tampaknya wanita itu tidak ingin dibantah. Harus dilaksanakan.
“Saya kirimkan alamatnya.”
Terbukti Susan sama sekali tidak menunggu jawaban Rama yang masih berpikir.
Rama masih tampak ragu, weekend seharusnya ia pulang ke rumahnya untuk bertemu anggota keluarganya, tetapi ini adalah pekerjaan, dan mungkin saja kliennya memiliki bukti kuat untuk memenangkan persidangan yang terbukti alot itu.
Setelah menerima alamat yang harus ia datang Rama segera pulang ke apartemennya untuk mempersiapkan barang-barang yang ia perlukan selama menginap tiga hari dua malam itu.
Setelahnya, lelaki dengan tubuh berisi, dengan tinggi 180 cm dan wajah yang selalu ditumbuhi bulu halus itu menggerakan kakinya yang kekar menuju mobil Toyota rush miliknya. Hari ini ia menggunakan mobil itu, karena ia tahu ke mana dirinya akan pergi, meluncur menuju tempat yang bisa ia tempuh dengan waktu sekitar enam jam. Tapi karena ini menjelang weekend Rama tidak yakin jika waktu yang ia prediksi akan sesuai rencana.
Dan benar apa yang Rama pikirkan. Baru satu jam melajukan mobilnya. Lelaki itu harus terima kenyataan, jika mobilnya harus ikut mengantri dengan mobil yang lainnya melewati jalan raya yang padat merayap.
Belum lagi kabut hitam di langit saat ini terlihat jelas, mengindikasikan jika akan turun hujan. Sangat tidak baik dan sangat berbahaya. Apalagi daerah yang akan ia tuju adalah daerah dengan jalan yang meliuk karena menanjak. Akan sangat berbahaya jika hujan dan jalanan menjadi licin.
***
Menginap di hotel memang akan ditanggung oleh klien, setelah dirinya memberi kabar tentang keberadaan dan kondisinya. Tetapi, hal itu tidak membuatnya memanfaatkan hak istimewa yang ia dapatkan. Seperti menyewa kamar paling mahal di hotel itu. Presidential suite, misalnya.
Tetapi, tampaknya alam sedang berkonspirasi, atau sedang meledeknya agar tidak terlalu pelit terhadap diri sendiri? Karena dengan segitu kebetulannya, kamar yang tersedia di hotel tersebut adalah Presidential suite, dan hanya tersisa satu. Seperti tebakannya juga.
Menurut FDA atau Reception kamar dengan harga di bawah kamar tersebut, sudah full booking dengan alasan karena saat ini weekend, banyak yang menginap dan juga cuaca yang tidak mendukung untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Hingga banyak tamu yang menepi dan memilih menginap. Seperti dirinya contohnya.
“Saya pikir-pikir dulu ya, Mbak,” seru Rama dengan nada halus dan sangksi,
FDA dengan nama Wulan itu tersenyum dan mengangguk maklum, walau Rama tahu, pasti perempuan itu kesal karena dirinya sudah membuang waktunya.
Pelan-pelan Rama mundur, tetapi tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang yang berdiri di belakangnya dan dengan sigap menahan punggungnya.
“Maaf,” ucap Rama refleks menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang sudah ia tabrak.
Mata Rama membulat. Lelaki itu tidak percaya dengan penglihatannya, tetapi wajah itu membuatnya yakin jika ia tidak salah lihat.
“Khinan.”
***
YOU ARE READING
Mantan Kekasih
RomanceRama dan Khinan dipertemukan kembali di meja hijau. Di mana dulu mereka dipisahkan oleh ketukan di meja itu juga. Kali ini berbeda, keduanya bertemu sebagai rival untuk membela klien mereka yang menginginkan perceraian. Tapi siapa sangka dari kasus...