04. SISA RASA

4 0 0
                                    

“Apa masih bisa buat kita untuk bersama?” Rama menanyakan hal itu dengan sungguh-sungguh. Lelaki itu benar-benar masih sangat mencintai Khinan. Baik Khinan yang dulu ataupun yang sekarang.
“Apa masih ada aku di hati kamu?” tanya Rama seperti mengiba.
Rama menunggu jawaban Khinan, tetapi perempuan itu masih tetap pada ekspresinya. Tak goyah sedikitpun. Hal yang patut diacungi jepol, karena itu akan sangat beguna saat dipersidangan untuk tetap bersikap tenang saat kliennya menang ataupun kalah.
Pertanyaan mudah, namun terasa sulit untuk dijawab. Khinan tahu jawabannya, sangat-sangat tahu tapi mulutnya memilih untuk menutup rapat.
Dengan cepat Khinan mengambil gelasnya dengan Wine yang tersisa. Upaya agar otaknya tidak terlalu fokus dengan pertanyaan itu. Dan itu berada di bawah tatapan Rama yang masih berharap menuntuk jawaban tanpa paksaan.
Perempuan itu menghabiskannya dalam satu kali tenggak dan ternyata kapasitas mulutnya tidak sebesar minuman yang ada di gelas, hingga cairan itu tumpah dan hampir membasahi tubuhnya.
Reflesk tubuh Khinan mundur, berharap cairan itu tidak akan membasahi tubuhnya, tapi sial. Cairan itu mengalir dari sudut bibirnya dan mengenai bajunya.
Dengan refleks Rama mengulurkan tangannya dan mengusap sisa wine di sudut bibir Khinan. Khinan tertegun karena sentuhan itu masih semenyengat itu. Membuat tubuhnya meremang.
“Kamu masih aja ceroboh,” gumam Rama yang menghapus bercak itu dengan ujung ibu jarinya dan keempat jarinya menahan rahang Khinan yang membatu.
Rama harus menelan pil pahit, pertanyaannya tidak kan pernah dijawab oleh Khinan, tetapi Rama masih berharap ada saatnya ia memiliki keberuntungan itu untuk mendengar jawaban jujur dari Khinan.
Seperti tersihir. Khinan diam di tempatnya. Bahkan mata lelaki itu yang menatapnya, tidak bisa ia hindari. Saat wajah lelaki itu mendekat, ia tidak bisa mundur.
Khinan dapat melihat mata Rama, menatap bagian tubuhnya yang mana, sedang perhatikan. Bibirnya. Yah, bibirnya. 
Rama pernah mengaku dengan sangat polos dan jujur, jika lelaki itu sangat menyukai bibirnya. Sementara dirinya mengakui, sangat menyukai permainan lidah Rama di mana pun berada.
Wajah lelaki itu semakin dekat dan wajah Khinan dapat menangkap deru napas lelaki yang beraroma manis bercampur rasa yang mendominasi karena minuman yang mereka konsumsi.
“Dasar wine sialan,” kutuk Khinan yang rasanya tidak memiliki daya untuk menjauh, untuk menolak keadaan mereka saat ini.
Jarak mereka semakin dekat, dekat dan Khinan tidak bisa menolak, dirinya pun menginginkannya. 
Kilat datang, cahaya terang berpendar di langit malam, membuat keduanya refleks menjauh. Kecewa. Keduanya sama-sama kecewa. Tetapi tidak ada yang mau mengaku.
“Aku mau tidur, kamu enggak keberatan kan tidur di sofa?” seru Khinan terlihat salah tingkah dan sedetik itu bangkit dari tempat duduknya. Ia bersyukur kilat di luar sana muncul. Hemmm alam pun berkonspirasi, jika mereka berdua memang tidak bisa kembali bersama.
Sementara itu Rama hanya diam di tempatnya, mengutuk, apa yang akan terjadi dan baru saja terjadi seolah sebuah tamparan, jika antara dirinya dan Khinan mungkin tidak bisa bersama. Tapi untuk saat ini.
“Oke.” Rama menjawab singkat karena tenggorokannya masih tercekat.
Langit kembali berpendar dan kali ini diikuti oleh petir yang menggelegar seperti tumpukan batu yang dijatuhkan dalam sekali lempar, bertepatan Khinan yang mencoba berdiri tegak.
Namun, entah karena pengaruh minuman, suara petir yang menyambar atau tubuh perempuan itu yang tidak imbang. Seketika tubuh Khinan oleng dan hampir jatuh.
Beruntung Rama segera bangkit, meraih tubuh Khinan dan menahan pinggang ramping perempuan itu, memeluknya dengan begitu protektif. Memastikan perempuan itu baik-baik saja.
“Kamu enggak pa-pa, Khi?” tanya Rama khawatir dengan tubuh mereka yang tidak berjarak.
Bahkan tanpa Khinan sadari, kedua tangannya mencengrkam baju bagian depan Rama dengan sangat kuat karena takut jatuh, membuatnya lusuh dan kusut. 
“A… Aku…” Belum sempat Khinan menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba kilat kembali menyambar, menerangi sebagian langit malam ini, semakin menguatkan cengkraman tangan Khinan di baju Rama.
“Oke, kamu aman. Ada aku di sini,” janji Rama dengan mata yang begitu tajam menatap Khinan, menjanjikan bukan hanya lewat ucapan tetapi juga tatapannya.
Khinan mengangguk. Seharusnya ia tidak perlu takut, itu hanya kilat, bukan petir, karena suara yang ia takutkan, nyatanya tak kunjung datang menyusul.
“Ayo aku temeni di ranjang. Aku janji enggak akan ngapa-ngapain tanpa seizin kamu!” Rama menawari jaminan, jika dirinya benar-benar hanya ingin membuat Khinan nyaman dan juga aman.
Rasa hangat menjalar di seluruh tubuh Khinan. Bukan hanya karena pelukan lelaki itu, tetapi juga kata-katanya, tetapi entah kenapa kata-kata itu justru menggelitiknya, ditambah tatapan lelaki itu yang begitu dan selalu membuatnya tahu apa yang ia inginkan.
Entah karena pengaruh minuman yang membuatnya setengah sadar dan tak bisa memilah benar dan salah, atau Khinan ingin memberi jawaban atas pertanyaan Rama yang belum sempat ia jawab dengan tindakan. 
Tiba-tiba saja Khinan menarik tangannya, bukan untuk melepaskan cengkraman dari baju Rama, melainkan membuat jarak mereka yang tersisa, benar-benar tidak tersisa.
Bibir mereka bertemu, bukan hanya bersentuhan tetapi juga ingin disambut.
Rama tahu signal itu dirinya pun tidak tahu, apakah yang ia lakukan benar atau salah dan dengan mudahnya lelaki itu menyambut. Tubuh keduanya bergerak seirama, hingga akhirnya terjerembab di atas ranjang yang empuk hingga menghasilkan decitan di kaki ranjang, karena harus menanggung berat tubuh dua manusia dewasa.
Pagutan itu terlepas dengan napas yang memburu, tetapi tidak mempengaruhi kedekatan tubuh mereka.
Rama mencari jawaban dan juga peruntungan. Lelaki itu menarik diri hingga bibir mereka terlepas, tetapi dengan tubuhnya yang masih menginvasi tubuh Khinan di bawahnya.
Dari tempatnya, Rama menatap Khinan yang balas menatapnya. Dari sana Rama dapat dengan jelas melihat kekecewaan. Tetapi kekecewaan bagian apa yang Khinan rasakan terhadap dirinya.
Ciuman mereka yang terlepas atau sikap dirinya saat dulu? Saat ia yang Khinan anggap belum bisa mengambil keputusan sebagai kepala keluarga?
“Aku janji, Khinan. Aku akan jadi seseorang yang bisa kamu andalkan,” ucap Rama meminta peruntungan dan kepercayaan.
Khinan medengus, perempuan itu tampak tidak percaya dengan ucapannya.
“Apa yang harus aku lakukan? Supaya kamu percaya sama aku lagi?” tanya Rama masih berharap di antara kekecewaan yang terpancar.
“Jangan berpikir terlalu jauh, Tama. Biarkan kita nikmati apa yang sedang kita jalani saat ini,” ucap Khinan yang detik berikutnya mengangkat wajahnya lalu meraih bibir Rama dengan bibirnya dan menyesapnya dalam. Dapat lelaki itu rasakan sisa minuman yang mereka konsumsi dari bibir Khinan.
Rama tidak menduga Khinan akan berinisiatif duluan, Tetapi akal sehatnya masih bekerja dengan benar. Apa yang Khinan lakukan saat ini mungkin saja hanya karena pengaruh dari wine yang mereka minum. Khinan yang paling banyak menghabiskan minuman berwarna merah itu.
Rama mencoba menarik diri, ia tidak mau Khinan menyesali perbuatan mereka, hanya karena dirinya yang terlarut dan menyambut, tetapi saat Rama mencoba mengangkat tubunya, kedua tangan Khinan menahannya dengan menarik baju bagian depan Rama dan memeluk tubuh lelaki itu erat. Hingga Rama terjebak dalam pelukan perempuan itu yang nyaman.
“Kamu enggak bisa dipercaya, Tam. Kamu bilang masih mencintai aku. Tindakan dan ucapan kamu itu bertolak belakang,” racau Khinan.
“Aku masih mencintai kamu, Khinan,” bela Rama. Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk kembali meraih kepercayaan perempuan bertubuh mungil di bawahnya itu.
“Kalau begitu, buktikan,” pinta Khinan sungguh-sungguh dengan tatapan yang tak lagi sama. Tatapan penuh gairah dan ingin dituntaskan.
Rama terdiam sejenak dan detik berikutnya, lelaki itu mewujudkan apa yang perempuan itu inginkan baik dalam tatapannya dan tindakan tangannya yang sudah bergerak di bagian-bagian tubuhnya.
***

Mantan KekasihWhere stories live. Discover now