Waktu Tak Menunggu

1.2K 22 12
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa kasih   (vote), ya! Tinggal tekan ⭐  dan itu gratis, kok.

Aku berjalan terburu-buru memasuki Stasiun Gambir. Belum terlambat, baru pukul tujuh lewat dua puluh menit. Namun, aku harus mengantisipasi segalanya sebelum rencanaku berantakan. Tidak boleh! Ini momen penting.

Bukan tanpa alasan, aku pernah hampir ketinggalan kereta ketika berangkat bersama Danastri dulu. Hari ini, dua belas tahun yang lalu, kami berangkat dari stasiun yang sama dengan tujuan yang sama. Bedanya, kali ini, aku memilih kelas yang berbeda. 

Tak ingin duduk bersama orang lain, aku memilih Argo Bromo Anggrek Luxury. Memang cukup mahal harga tiketnya, tetapi aku tak mau ketenanganku terganggu basa-basi dengan penumpang yang duduk di sampingku. Gerbong kelas luxury memiliki pengaturan tempat duduk satu-satu yang membuatku leluasa untuk mengenang momen bahagia kami dulu.

Setelah mengurus segalanya, masih ada waktu lebih dari lima belas menit sebelum kereta berangkat.  Aku masih punya waktu berjalan-jalan di sekitar jalur kereta. Tidak seperti dulu, aku masih sempat berfoto dengan latar belakang Monas di kejauhan. Hal yang dulu tidak sempat kulakukan bersama Danastri karena harus bergegas naik kereta yang hampir berangkat.

Aku tersenyum sambil memandang posting yang baru saja kubuat di Instagram. Dulu, kami pernah akan melakukan itu andai punya cukup waktu. Meski kini aku tak bersamanya, setidaknya aku berusaha membuat keinginan itu terwujud.

"Selamat pagi," sapa seorang pramugari ketika aku akan memasuki gerbong. "Silakan, Mas." Mungkin, aku bisa melihat senyum manisnya jika tidak tertutup masker.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang percuma. Pramugari itu juga tidak akan melihat senyum di balik masker yang kupakai. Pandemi Covid-19 telah membuat kegantenganku tersembunyi di balik masker medis yang terpaksa harus kupakai.

Beberapa orang penumpang sudah duduk di tempat mereka masing-masing. Aku berjalan ke bagian tengah gerbong di mana tempat dudukku berada. Setelah meletakkan ransel bawaanku di tempat yang telah disediakan, aku duduk di kursi dan bernapas lega. Sejauh ini, rencana berjalan dengan semestinya.

Pilihanku bukanlah sebuah perjalanan yang ideal. Aku bisa saja naik pesawat terbang tanpa harus serepot naik kereta kali ini. Tinggal berangkat dari Palembang tanpa harus menginap di Jakarta. Paling-paling, hanya perlu transit seperti biasa sebelum melanjutkan penerbangan menuju Semarang.

Namun, aku sengaja menjalani semua ini. Tentunya untuk mengenang sebuah perjalanan yang manis bersama Danastri. Perjalanan ketika aku meminta dia menjadi pacarku. Apakah pantas untuk dikenang setelah kami berpisah sepuluh tahun lalu? Mungkin ... mungkin juga tidak. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku melakukan ini.

Perjalanan ini sekaligus sebagai pelarian. Kepedihan yang kurasakan akibat kenyataan menyakitkan dari pengakuan Arumi membuatku marah dan kecewa. Hampir satu tahun aku terpaksa menjalani hubungan dengannya demi memenuhi keinginan Mama. Orang tuaku yang tinggal satu-satunya itu berharap aku segera menikah di usiaku yang sudah di awal tiga puluhan.

"Mama pengin punya cucu," ujar Mama saat itu. "Sejak papamu meninggal dulu, Mama hanya hidup berdua denganmu. Mama mohon kamu tidak berlama-lama melajang. Usiamu sudah lebih dari cukup untuk menikah."

Aku tak kuasa menolak keinginan Mama. Tanpa protes sedikit pun, aku bersedia dikenalkan dengan Arumi, putri sahabat Mama. Meski tak menjalani hubungan yang manis seperti saat bersama Danastri, aku berusaha memantapkan hati untuk menikahi perempuan pilihan Mama itu.

"Maafkan aku, Kak." Wajah Arumi tak berlukis kegembiaan saat aku mengatakan padanya untuk segera melamarnya. "Aku terpaksa berterus terang. Aku sedang hamil dua bulan."

Waktu Tak MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang