Hai, apa kabar kamu sekarang? Aku sangat merindukanmu. Apakah kita bisa bertemu kembali, suatu saat nanti ....
Angin berhembus dengan kencang, kasar membelai rambutku yang terurai. Berantakan, kusam, dan semakin mengembang, itulah penampakan rambutku saat ini. Rambut hitam yang kini berwarna cokelat.
Kakiku tersapu oleh ombak yang menepi di bibir pantai, panasnya matahari seakan membakar kulit yang ada ditubuhku. Hari yang menjelang siang, namun entah kenapa aku memiliki keinginan untuk bermain di pantai. Pantai yang saat itu menjadi sebuah momen membahagiakan.
Birunya air seakan memanggilku untuk kembali ke tengah pantai. Suara ombak seakan berkata Hai, kemarilah. Apakah kamu tidak merindukan bermain denganku? Seperti saat itu. Aku merindukan pijakanmu.
Beberapa pria terlihat menepi dengan membawa papan selancar yang tadi dipakainya. Tubuh mereka basah karena termakan ombak yang dicari-cari. Beberapa terlihat seperti wajah orang lokal, banyak juga terlihat seperti orang bule.
"Anada!" Teriak lantang dari seseorang yang jauh dariku.
Aku membiarkan dia mendekatiku, karena tahu bahwa dia sedang mencariku. Sama seperti hari-hari sebelumnya, dia tidak akan bisa lepas dari diriku. Seperti bayangan yang tidak akan hilang ketika selalu ada cahaya.
"Aku mencarimu kemana-mana tidak ada. Bangun tidur kamu sudah tidak ada di hotel. Aku pikir kamu hilang, ternyata memang kabur."
"Kabur dari sisi mana, hah? Aku hanya bosan di kamar. Aku juga tidak sudi menatap kamu sampai kamu bangun, Jesi."
"Kamu lucu deh."
Jesi membalikan tubuhnya menjauhi ombak yang mencapai pantai, duduk di pasir pantai sembari menatap air laut yang ribut dengan ombak.
"Seperti kelas kita," ucap Jesi ketika aku telah duduk di sampingnya.
"Kelas kita?"
"Ya, kelas kita dipenuhi dengan keributan, disisi lain ada juga orang yang tenang. Itu bagaikan laut yang temang dan ombak yang ribut."
"Nggak paham."
"Emang tolol nggak akan bisa dilawan."
Aku mendengus, "jelasin!"
"Oke, ndoro."
"Rendi dan kawannya selalu berisik di kelas, hampir setiap hari. Dan kamu serta anak-anak ambis yang selalu diam seolah kalian itu nggak ada nyawa."
"Oh."
Jesi berdiri, membersihkan celana bagian belakang yang kotor lalu berjalan menuju warung yang ada di tepi pantai. Dia berteriak titip apa? berharap agar aku mendengar teriakannya. Namun sayangnya aku sama sekali tidak memdengar suara dia.
Aku menoleh kearah warung yang akan didatangi Jesi, tidak ada kehidupan. Warung itu sudah tutup bahkan sekarang beberapa kayu sudah terlihat lapuk. Jesi menghilang.
Bukan.
Bukan Jesi yang menghilang, namun itu hanyalah kenangan yang tidak sengaja aku ingat. Kenangan yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Aku yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas merencanakan liburan di pantai untuk merayakan kenaikan kelas kita. Aku, Jesi, Rendi, dan Galih yang saat itu menjadi kekasihku berkendara hingga ke pantai ini dengan sepeda motor.
Rendi dan Galih sangat pandai dalam berselancar, mereka pernah mendapat juara dalam lomba berselancar. Karena itu, sesampainya di pantai mereka langsung menyewa peralatan berselancar dari orang yang mereka kenal. Aku dan Jesi hanya bisa mengawasi dari bibir pantai.
Bodohnya aku saat itu karena membolehkan mereka berselancar di hari dimana cuaca sedang buruk. Ombak besar dan langit abu-abu, bahaya bagi para peselancar. Tentu saja, cuaca di laut memang susah ditebak, itupun cuaca buruk terjadi secara tiba-tiba.
Hujan turun, dan ombak semakin besar. Ombak besar memang yang diburu oleh para peselancar, namun tragedi yang terjadi menjadi sebuah penyesalan tersendiri. Gulungan ombak itu menyeret Rendi dan juga Galih ketengah lautan yang luas dan dalam.
Evakuasi dilakukn secepatnya, hanya Rendi yang berhasil ditemukan. Hampir di puncak hidupnya, Rendi selamat setelah mendapat pertolongan yang cepat.
Aku menangis, tentu juga dengan Jesi. Kami menangis sambil berdoa agar Galih ditemukan dengan keadaan swlamat. Namun sayang, tim evakuasi gagal menemukan Galih.
Satu minggu setelah kejadian, salah satu tim yang bertugas menghubungi orang tua Galih. Galih ditemukan dengan keadaan tidak bernyawa. Hatiku hancur ketika mama Galih bercerita didepan pintu rumahku dengan tangis tersedu-sedu. Aku tidak bisa memangis selama diperjalanan menuju pantai.
Namun saat melihat jasad Galih, air mata seolah meluncur bebas keluar dari kedua mataku. Aku menangis tersedu-sedu, orang yang aku sayangi meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Meninggalkan aku tanpa salam hangat perpisahan kami.
Beberapa menit aku tersadar dari lamunan karena ombak yang menghantam kakiku walau sudah jauh dari batas ombak beberapa menit yang lalu. Tanpa sadar air mataku keluar setelah mengingat Galih dan Rendi yang meninggal beberapa minggu setelah Galih ditemukan.
Aku berjalan menuju pantai yang sepi akan orang-orang yang bermain selancar. Berharap bisa menangis tanpa ada yang bertanya kenapa menangis? Aku ingin menangis agar aku tidak lagi menangis di kemudian hari.
Sebuah benda asing yang timbul diantara sampah dari laut. Benda yang terlihat seperti botol, namun terdapat gelang yang tidak asing bagiku. Aku mendekati botol tersebut karena penasaran, lalu mengambil dan membukanya.
Sebuah kertas bertuliskan To My Love yang berlanjut dengan tulisan yang panjang.
15 Desember 20xx
To My Love
Terima kasih telah menerima cintaku saat itu. Aku sangat menyayangimu, Anada. Kamu adalah gadis pertama yang aku cintai setelah Mama, dan juga akan menjadi yang terakhir. Aku ingin bersamamu selamanya. Jika kita berpisah, aku ingin mencarimu lagi. Jika kita putus karena suatu masalah, aku akan kembali kepadamu lagi untuk minta maaf dan memperbaiki hubungan kita. Aku bersyukur karena kamu mmilihku, dan aku bersyukur karena bertemu denganmu. Dua minggu sampai saat aku menulis pesan ini, aku sangat bahagia. Apakah kamu juga bahagia?
Kata orang, jika aku menulis pesan seperti ini, aku akan hidup dengan tenang. Aku akan melautkan surat ini dan berharap kamu yang akan menemukannya, Anada. Maaf jika aku telah pergi darimu lebih dahulu, aku harap semua yang kita lalui adalah kebahagiaan.
Dari pacarmu kala itu,
Galih
Aku menangis kembali ketika membaca surat ini, hatiku berteriak. Sakit rasanya membaca surat yang menjadi salam perpisahan dari mantan pacarku. Namun bagaimanapun, Galih telah bahagia diatas sana.
Aku tetap mencintaimu hingga sekarang, Galih.
♡End♡