OUR PRETTY BLUE

37 5 0
                                    

Ini adalah pemandangan terindah yang pernah Blue lihat. Pegunungan dengan pohon-pohon hijau tinggi menjulang yang mengelilingi seluruh jalanan aspal lurus berada di pinggir jurang.

Jujur saja Blue lebih suka dengan pantai. Karena pantai itu berwarna biru. Dan biru memiliki arti sama dengan namanya.

Kata Ayah, mereka sedang dalam perjalanan ke rumah kakek. Blue lupa kapan terakhir kali ia berkunjung ke rumah beliau, yang pasti itu sudah lama sekali entah kapan. Di dalam mobil merah yang sering Ayah panggil dengan sebutan Jimny itu hanya ada mereka berdua.

Istri Ayah meninggal 6 tahun lalu saat melahirkan putra mereka. Tetapi putranya juga tak dapat di selamatkan. Lalu setahun kemudian saat Ayah terlihat sangat kucel dan tak terurus, Blue tak sengaja menumpahkan es jeruknya ke celana Ayah, setelah itu entah karena Ayah telah merasa sangat kesepian atau apa, tiba-tiba menanyainya untuk menjadi anaknya.

Dan, disinilah dia sekarang. Ya, jadi anak Ayah.

Atap rumah kakek mulai terlihat, genting berwarna merah menantang bisa dilihat dari kejauhan karena memang hanya kakek saja yang tinggal disana. Di tengah-tengah hutan lebat. Rumah kakek cukup bagus untuk di bilang jelek apalagi di tempat seperti ini.

Rumah dua lantai dengan tiga belas kamar tidur, terbayang-kan seberapa lebarnya rumah beliau. Blue pernah sekali kesini, dan jujur rumah itu agak menyeramkan saat ia kecil. Sekarang, dia sudah kelas XI  SMA. Jadi masih sama seramnya.

Shalom, Kakek Brima” sapanya sopan begitu bertemu kakek.

Shalom, bapa” begitupun Ayah.

Bibir kakek merekah lebar menampakkan gigi-gigi dalamnya yang telah ompong beberapa. Di tangannya memegang tongkat kayu gunanya pegangan.

Aleichem shalom, anakku” balas kakek hangat.

“Mari-mari masuk” ujar kakek mempersilahkan kita masuk ke dalam rumah.

Blue dan Ayah beristirahat setelah lamanya dalam perjalanan sebelum menelusuri daerah lingkungan kakek yang terlihat asri untuk di tolak.

Saat langit mulai redup dan hawa mulai terasa tidak panas lagi, Blue berkeliling bersama Ayah. Mereka berdua menelusuri setiap jalan setapak yang ada di dekat sana. Jalan yang bergelombang bercampur antara tanah dan batu itu membuatnya seperti suasana sebuah perdesaan.

Samar-samar Blue mencium aroma laut. Entah hanya dia yang merasakannya atau ada orang lain, tetapi dia benar-benar bisa mencium bau laut seperti apa. Hanya dengan baunya saja wajahnya sudah senang, apalagi masuk ke dalam laut berenang bebas bersama air yang tak terbatas jumlahnya.

Benar saja, hamparan luas pasir putih sudah selayaknya sebuah lukisan yang pernah ia jumpai di sebuah museum. Lukisan yang hampir sama persis dengan tempat ia pijak sekarang. Begitu cantik dan elok dihiasi air laut yang berwarna biru terang. Adapun bebatuan besar yang menjulang tinggi di beberapa sudut area pantai.

“Wuah! Ayah ini keren sekali” decaknya kagum.

“Masuk?” ajak Ayah.

Blue mengangguk semangat, “ayo!”.

Ayah dan anak itupun berlarian menuju pantai. Melepas kaos yang mereka kenakan lalu menjeburkan diri ke air. Sensasi segar yang menerpa kulit membuat mereka tak henti-hentinya terkagum atas keindahan pantai disana.

Berenang bebas saat air laut sedang tenang dan tak dangkal membuat mereka dengan mudah menikmati keindahan bawah laut. Banyak jenis ikan-ikan kecil yang mengelilingi mereka. Seakan semua rasa lelah dan jenuh dalam perjalanan langsung tergantikan oleh keindahan itu, apalagi saat Ayah melihat tawa dari Blue putra kesayangannya.

Mereka senang, hati pun puas. Hanya ada satu masalah yaitu perut yang meraung minta di isi. Ayah lebih dahulu mentas dari air, beliau terduduk menatap Blue yang masih belum muncul ke daratan sibuk berenang kesana-kemari.

Sesekali Blue tampak hanya kepala mengambil oksigen dan sembari berdadah-dadah kearah Ayah yang langsung Ayah balas tentunya. Blue senang, Ayah pun senang.

Bagi Ayah, menemukan sosok Lucky Blue adalah sebuah hadiah dari Tuhan yang amat ia syukuri. Blue mengisi ruang kosong dalam benak Ayah dengan baik sempurna. Meski Blue tak banyak bicara dan terkesan hanya mengucap seperlunya, Ayah tetap bangga.

Jika bisa di bilang, Blue itu replika Ayah ketika muda.

Sama-sama tampan.

Sama-sama suka air.

Sama-sama memiliki mata berwarna biru.

Jika ingin tahu sosok Ayah seperti apa, ya lihat saja seorang Lucky Blue. Tidak ada yang berbeda, hanya usia yang tak sama.

Sibuk memuji Blue dalam otaknya, bola mata Ayah membelak besar. Beliau langsung berdiri dan berlari ke arah laut. Putranya meminta tolong. Blue tenggelam dan dia harus segera menyelamatkannya. Namun ia di tahan, badannya di pegangi oleh kakek.

Meski sudah tua renta, tenaganya jangan di ragukan. Beliau kuat menahan sosok putranya yang hendak berlari ke tengah laut. Ayah meronta, meminta di lepaskan pegangan kakek pada perutnya sembari meneriaki nama Blue berkali-kali.

“AYAH.... TO.... LONG....”

“A.... YAH.... TO.... LONG.... BLUE....”

Teriakan minta tolong yang kian memekik, membuat urat-urat Ayah menonjol saat kakek tak kunjung melepas pegangannya. Matanya merah menangis, dia merintih memanggil nama Blue yang sudah tak nampak lagi sosoknya.

“BLUE!! Nak....”

Kakek makin memperkuat cengkeramannya. Beliau ikut berteriak di telinga putranya agar tersadar.

“CHRIS SADAR! SADAR NAK!” teriak kakek.

“Lepaskan aku, bapa! Anakku tenggelam, aku harus menolongnya!” bantah Ayah.

“Chris sadar dia bukan anakmu!”

“ANAKMU TELAH MENINGGAL 6 TAHUN LALU!”

Plas,

Dunia Ayah seakan terhenti. Bahkan telinganya berdengung mendengar perkataan kakek yang sangat tak masuk akal. Anaknya memang telah meninggal 6 tahun lalu, akan tetapi ada Blue yang menggantikan sosok putranya.

Lucky Blue juga putranya, dan sekarang Blue sedang meminta tolong di laut sana.

Kakek menakup wajah anaknya sembari menangis tak kuasa, “sadar! Putramu sudah meninggal. Tidak ada yang namanya Blue disini!”

“Bohong, bapa bohong.! Blue disana, dia tenggelam dan aku harus menolongnya”

“Tidak, Chris. Dia bukan Blue. Dia ilusimu, tidak ada sosok Blue selama ini. Kamu hanya di hantui oleh rasa bersalahmu itu”

“Tidak! Lucky Blue itu putraku! Jelas-jelas dia datang ke sini denganku”

“Chris, sekarang ini petang. Kamu pikir untuk apa jam segini lari ke tengah laut? Mati?”

“Sadarlah!”

Chris tersadar lalu menangis. Lagi-lagi dia membahayakan diri seperti ini. Benar kata bapa tak ada sosok Lucky Blue selama ini. Kecewa memang ia rasakan ditambah rasa sakit saat mengingat dirinya bersama Blue bermain di lautan sana seperti tadi.

Berlibur di rumah bapa memang amat menyenangkan dengan disuguhi segala keindahan alam, namun pengalaman hari ini tak akan bisa ia lupakan seumur hidup.


Terima kasih.

Our Pretty BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang