06•96

3 0 0
                                    

Hai panggil saja aku Tio,

Ini kesekian kalinya aku berbagi cerita dengan apa yg ku alami beberapa tahun lalu.

Tepatnya tahun 2016, saat aku baru saja pindah ke kota Purwokerto. Aku harus memulai kehidupan baru yang jauh berbeda dengan keseharian ku di Jakarta.

Sebagai PNS baru saat itu, aku rela di tempatkan dimana saja. Sebenarnya ada perasaan berat ketika aku harus meninggalkan Jakarta. Namun demi cita cita orang tua ku, aku lakukan juga akhirnya.

Di Purwokerto aku tinggal bersama mas Rio dan mbak Putri (istrinya) mereka sudah memiliki 1 anak perempuan berusia 10 tahun namanya Sari. Mbak Putri juga sedang mengandung anak ke dua nya usia kandungannya sudah 7 bulan.

Saat tiba di purwokerto, mas Rio yg menjemputku di stasiun dan mangajak ku langsung ke rumahnya. Mas Rio adalah sepupu dari alm ayahku. Ibu yang menitipkan ku ke mas Rio selama aku belum mendapatkan tempat tinggal di Purwokerto.

Mereka baik, aku disambut dengan hangat oleh keluarga kecil ini. Rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas. Masih terdapat banyak pohon pohon besar di sekeliling rumah nya.

Terdapat satu jalan utama yang tidak terlalu jauh dari depan rumah mereka. Banyak angkutan umum yg melintasi jalan ini. Namun ketika malam, jalanan ini berubah menjadi sangat sepi karena masih minimnya lampu jalanan.

Aku menjalani hari hari ku dengan lancar, tidak ada hambatan atau kendala sedikit pun. Aku dan Sari sering bermain bersama di halaman depan ketika aku sedang libur. Kami sudah seperti kakak dan adik sungguhan. Mas Rio dan Mbak putri pun senang melihat kami akrab. Karena Sari tidak ada teman bermain selain di sekolahnya.

Oia, jarak rumah disini masih berjauhan bisa di bilang 100 meter untuk bertemu tetangga.

Singkat cerita, malam itu mbak Putri kesakitan ia merasa akan melahirkan. Padahal menurut dokter baru akan melahirkan minggu depan. Kami semua panik, Sari pun ikut menangis malam itu.

Jam sudah menunjukan pukul 23.30 sudah tidak ada kendaraan umum yg bisa membawa mba sari ke RS. Aku berinisiatif untuk menelfon ambulan agar mbak Putri segera dibawa ke RS.

Namun Mas Rio, beberapa kali melarangku menelfon ambulan alasannya biaya ambulan mahal. Mas Rio berlari ke jalan utama berharap masih ada angkot yang akan dia sewa untuk membawa istrinya ke RS.

Aku yang terus panik menghubungi ibu di Jakarta. Aku menceritakan semuanya. Ibu ku pun menyarankan untuk menelpon ambulan dan menyuruh untuk membayarnya. Aku pun meng iya kan nasihat ibuku.

Setelah sepuluh menit Mas Rio di jalanan, ia masuk lg dengan menggelengkan kepala. Aku bujuk ia lagi untuk pakai ambulan dan ia setuju karena tidak ada pilihan lagi.

Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, ambulan yang aku pesan pun datang. Mas Rio segera mambawa Mbak putri masuk ke dalam ambulan di bantu oleh 2 orang perawatnya. Aku diam di rumah menjaga Sari.

Ku kirimkan beberapa foto ke ibuku, memberi kabar kalau Mbak Putri sudah dibawa ke RS. Sekitar jam 2 dini hari perasaanku sedikit tak tenang. Aku coba mengubungi ponsel mas Rio namun ternyata poselnya tertinggal di rumah.

Keesokan paginya aku berangkat ke kantor dan menitipkan Sari ke tetangga kami. Sepulang dari kantor aku berniat untuk pergi ke RS untuk melihat kondisi Mba Putri.

Sore pun tiba, aku bergegas menjemput Sari dan mengajaknya ke RS.

Sesampainya di RS, ku temui Mas Rio sedang merenung sedih di samping Mba Putri.

"Bagaimana keadaan mba Putri, mas?" Aku bertanya

Mas Rio hanya menghembuskan nafas panjang yang membuat ku semakin bertanya tanya.

"Mba mu belum sadarkan diri setelah melahirkan semalam. Kondisinya masih kritis, dokter bilang telat penanganan"

Aku yg kebingungan, lagi lagi bertanya.

"Ko bisa telat mas?"

Mas Rio hanya menggelengkan kepala. Aku pun keheranan kenapa bisa telat pelayanan padahal jarak dari Rumah mas Rio ke RS sakit itu tidak terlalu jauh bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja, terlebih RS ini adalah salah satu yang terbesar.

Aku bertanya kepada perawat yang menangani proses kelahiran Mba Putri semalam dan Jawabanya mengejutkanku.

"Iya betul mas, pasien terlambat ditangani. Ketubannya sudah pecah dalam perjalanan kesini. Mungkin kelelahan berjalan kaki"

"Jalan kaki. Sus?" Tanyaku sedikit mengeras

"Iya, pasien dan suaminya tiba jam 02.30 pagi dengan berjalan kaki. Kedua kaki mereka saja luka luka."

"Gak mungkin sus, mereka kesini pakai ambulan. Saya sendiri yang pasan dan saya liat mereka masuk ambulan." Aku mulai marah

Perawat itu tidak menjawab lagi dan langsung pergi meninggalkan ku. Aku bergegas kembali ke kamar Mba Putri, ku lihat benar adanya kaki mba Putri terdapat beberapa luka.

Untuk meyakinkan ku, aku buka lagi chat dengan ibuku semalam. Aku mengirim beberapa foto kepadanya. Betapa terkejutnya ternyata ambulan yang mengantar Mba putri Semalam adalah ambulan tua. Mobil kijang keluaran tahun 90an dengan banyak karat di bagian body mobilnya. Dan di tahunnya tertulis 06.96

****

Dari kejadian itu aku mulai mencari tau dengan apa yg sebenarnya terjadi, berbagai informasi aku aku dapatkan dari warga sekitar yang sudah tak asing lagi dengan kisah ini.

Kini aku paham mengapa mas Rio tak mau pakai ambulan untuk mengantar istrinya ke Rumah sakit.

Ada perasaan bersalah yang timbul dalam diriku malam itu. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi apa apa pada mba Putri dan anak yang dilahirkannya.

Dua hari terbaring kritis di Rumah sakit, akhirnya mba Putri tersadar. Mas Rio segera membawa anak keduanya ke pelukan mba Putri.

Sekian.

06•96Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang