[1] Andai Dia Tahu . . .

11 0 0
                                    

"Makasih ya, Rie. Daahh... Klik!" ucap Raras mengakhiri percakapannya dengan Arie lewat pesawat telepon. 

Arie hanya menarik napas dalam. 

Sesak rasanya mendengar Raras curhat tentang hubungannya dengan Oghie. Muak. Ingin muntah. Tapi entah hal apa yang membuatnya bertahan dan senantiasa mendengarkannya. Mungkin karena dia menghormati Raras sebagai sepupunya. 

Sepupu? 

Rasanya betapa ganjil kata itu diucapkan. Betapa tidak? Arie dan Raras bukanlah sepupu. Dalam silsilah keluarga pun mereka nggak punya hubungan darah. Tapi mengapa Arie terikat oleh kata sepupu? Apakah dia harus menelan rasanya demi kata itu? Demi kata yang nggak jelas darimana datangnya? Salahkah dia menyimpan rasa ini? 

Ahh... 

Rasanya lagu KAHITNA mengalun dalam hatinya begitu saja. Liriknya jelas sekali. 

"Biar aku yang pergi bila tak juga pasti. Adakah selama ini aku cinta sendiri? Biar aku menepi bukan lelah menanti. Namun apalah artinya cinta pada bayangan? Pedih aku rasakan kenyataannya cinta tak harus selalu miliki..." 

Arie hanya semakin terpuruk pada pedih hatinya. Mengapa orang-orang menciptakan syair lagu yang rasanya menohok dan mengangakan luka dalam hati? Apakah merasa sama mereka dengan yang Arie rasa? 

Arie membuang jauh tanya itu. Dia rebahkan badannya dan berusaha membuang sumpek dadanya. Berharap rasa itu 'kan menguap bersama kantuknya. Berharap dan tak henti berharap....

Entahlah, rasanya hari ini Arie tak ingin terbangun dari tidurnya semalam. Dia tak ingin membuka mata dan hatinya. Dia tak ingin mendapati mentari mengelus pipinya dengan cahaya lembutnya. Andaikan dia bisa berlari dari kenyataan, ingin rasanya dia berlari. Ke ujung dunia sekalipun asalkan dia bisa mengubur rasa ini. Bila tidak, dia berharap setidaknya dia tak bisa membuka matanya atau nggak, dia ingin lenyap saja atau mati saja karena dia sudah tidak bisa membendung sakit perasaannya. Tapi lagi-lagi entah apa yang membuatnya mampu bertahan. Cinta, mungkin hanya kata itulah yang membuatnya mampu bertahan sampai dengan hari ini. Cinta tulus yang hanya dipersembahkannya pada seorang gadis yang telah seenaknya mencuri kepingan rasa dalam hatinya. Ah... Sial!!!

.

.

.

"Rie, bantuin dong. Please!" Oghie meminta tolong padanya, "Gue janji kalo ini terakhir kalinya gue minta tolong sama lo. Dan gue janji kalo gue nggak bakal bikin Raras marah lagi. Gue janji!" diangkatnya tangan kanannya yang dua jarinya membentuk huruf V. 

Arie diam. Dia bingung namun akhirnya dia tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang membuatnya setuju? Bukankah justru masalah yang dihadapi Raras dengan Oghie akan membuka celah harapannya? Tapi mengapa Arie mau membantu mereka berdua? Entahlah...

"Makasih ya, Rie. Lo emang sohib sejati gue. Sorry ya selalu ngerepotin!"

"Bukannya udah biasa? Gue kan udah biasa direpotin sama kalian berdua. Dari kelas 2 SMP kali!" ucapanya tersenyum yang perlahan memudar. 

Perlahan ingatannya membuka lembaran lalu. Tak terasa sudah lima tahun perasaannya tependam. Sakitnya teriris. Lukanya menganga. Lama sekali. Ingin rasanya menangis namun enggan. Sakit, terluka, dan patah hati selalu dia rasakan selama 5 tahun terakhir. Namun dia bertahan. Arie tetap tersenyum. Dia tetap tegar karena menikamati cinta yang tak pernah tergapai. Dia tetap tersenyum walaupun dia menangis dalam lubuk hatinya. Dalam tidurnya...

.

.

.

Arie ragu menyusuri gerbang sebuah rumah yang tak asing baginya. Langkahnya membawanya pada satu ruangan yang pintunya bertuliskan "SWEET GIRL, RARAS!!!". 

LOVA [Love Is Hurt To Feel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang