minyoon

54 11 0
                                    

Barangkali, ini hanya kebetulan.

Dengan Jimin yang pertama kali bertemu Pria manis berhoodie biru tepat di pertigaan jalan malam itu.

Air hujan mengguyur tanah yang ia pijak, bahkan mungkin atap keropos yang ia jadikan untuk tempat berteduh tidak terlalu cukup dijadikan pelindung kepala bagi mereka berdua. Cipratan airnya cukup buat ujung celana panjangnya basah, juga air dengan pelan menetes dari rambut melewati kening hingga hidung; lalu diusap karena jejak turunannya gatal mengganggu.

Jimin melirik ke sebelahnya, menemukan pundak si pria berhoodie basah karena tetesan air pada atap bocor. Berinisiatif bergeser sedikit ke sisi yang lebih kering untuk memberi jarak agar si pria ikut bergeser. Lalu dengan diam menunggu hujan reda agar bisa menuju tujuan masing-masing. Tidak ada interaksi saat itu.




Barangkali, Jimin hanya kebetulan membantu.

Pria berhoodie biru yang saat itu ikut berteduh bersamanya, terjatuh saat berjalan; tersandung batu kerikil di depan minimarket yang ia kunjungi untuk membeli kopi. Buku-buku pelajaran yang Jimin tidak tahu apa itu berjatuhan, sejenak ia lihat lutut si pria tergores berdarah.

Jimin membantu karena kebetulan ada dirinya disana. Menggenggam tangan yang dirasanya mendingin karena udara itu buat jadi topangan untuk berdiri, lalu mengambil buku yang berjatuhan dan menyusunnya jadi satu.

"Terima kasih,"

Hanya itu.

Si pria langsung buru-buru pergi. Jimin tidak tahu, mungkin ada keperluan mendesak. Tidak terlalu peduli karena bukan ranahnya untuk bertanya. Ia hanya kembali duduk pada kursi yang disediakan di depan supermarket lalu menyesap kopinya nikmat.

Sekali lagi. Ini mungkin kebetulan--

--atau mungkin tidak? Barangkali, Tuhan ikut andil mencampurkan tangannya pada takdir yang ia jalani, atau Jimin hanya perlu untuk menjadi manusia baik yang sedang menolong pria yang sama (si pria berhoodie biru) saat dirinya sedang merokok di halte pinggir jalan--menunggu bus yang akan mengantarkannya pulang.

Wajahnya belur, Jimin cukup meringis melihatnya. Pria berbadan besar yang sedang mengejarnya tadi sudah Jimin usir, berbekal ancaman menelepon polisi dengan handphone sudah siap di telinga, ia berhasil. Lalu mengajak pria mungil di genggamannya untuk duduk.

"T-terima kasih," ucapannya bergetar. Ada tangis yang ditahan disana.

Jimin tidak ingin tahu dan tidak ingin peduli, tapi ada satu rasa yang membuatnya demikian. Jimin menepis, mengutamakan kemanusiaan daripada rasa penasaran.

Dilihatnya wajah pucat dengan lebam kebiruan di tulang pipinya, itu ngilu, sangat. Jimin pernah merasakan saat bertengkar dengan temannya dulu, kena timpuk dengan batu di tulang pipi hingga bengkak kebiruan.

Tangannya meraih pipi, ia usap pelan, mengabaikan ekspresi bingung si pria pucat. Bus yang akan menuju apartemennya datang, ia tidak berpikir dua kali saat menarik tangan pria itu ikut bersamanya, lalu bergumam maaf saat sadar sudah didalam bus.

;

"Namaku Yoongi,"

Jimin dengar ketika tangannya sedang membantu mengompres tulang pipi si pucat Yoongi. Tidak mengerti kenapa dia dengan mudah membawa orang asing ke ranah pribadinya, bahkan Taehyung--temannya itu tidak ia biarkan tahu alamat miliknya.

Jari pucat memegang handuk di pipi, menggantikan jari Jimin yang sedari tadi disana. Sedangkan Jimin hanya terdiam, menelisik wajah Yoongi--tidak sampai buat si empu risih, tapi cukup membuatnya bingung karena diperhatikan.

"Aku Jimin,"

Lalu keduanya terdiam. Hanya ada suara tv yang sengaja Jimin nyalakan agar tidak terlalu sepi. Jimin tidak terlalu mengerti bagaimana sistem takdir, tapi kebetulan kali ini buat dirinya bertanya-tanya, apakah Tuhan sedang menguji dirinya agar menjadi manusia baik yang suka tolong-menolong atau bagaimana? Bahkan isi kepalanya sedari tadi hanya seputar itu. Karena Jimin sendiri bingung, ada rasa yang diikutsertakan disana; ada rasa familiar saat dirinya menatap wajah Yoongi.

it was only walking into a houseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang