Fitur alarm dari handphone yang ada di atas meja sebelah ranjang tidurku berbunyi. Dengan perlahan aku buka kelopak mataku. Ah, pusing. Kepalaku berdenyut, mataku perih. Aku raih handphone yang masih berbunyi itu, lalu kumatikan. Setelahnya, aku terdiam beberapa saat, kejadian semalam tiba-tiba kembali teringat. Suara bentakan, tangisan, dan lemparan sembarang benda masih terekam jelas dalam kepalaku. Sebelum aku kembali menangis, kupaksakan diri untuk bangun dari atas kasur. Dengan kepala yang masih berdenyut sakit, aku berjalan ke arah jendela. Kusibak tirainya, hujan.
Tadinya aku pikir dunia luar akan membuatku melupakan kesedihan. Sinar matahari pagi yang hangat dan langit biru yang cerah akan sedikit membantuku untuk sejenak merasa terhibur. Tapi, ternyata hujan malah membuatku terkurung di dalam kamar ini, dalam sebuah ruangan sepi yang hanya berisi kesendirian. Ah, kepalaku berdenyut lagi. Perlahan aku kembali naik ke atas ranjang, duduk sambil memeluk lutut. Dari dalam sini bisa terlihat dengan jelas bahwa hujan turun dengan semakin deras.
Semesta, butuh berapa lama lagi agar hujan reda?
Setelah cukup lama aku duduk sambil menatap ke arah jendela, tak terasa air mataku ternyata
tiba-tiba sudah mengalir dengan sendirinya. Padahal, semalaman sudah kuhabiskan untuk
menangis, tapi ternyata air mata ini belum juga habis. Aku tersenyum getir. Ini semua terjadi
karena Papa. Kenapa waktu yang Papa punya hanya digunakan untuk bekerja, bekerja, dan
bekerja? Memangnya Papa tidak bisa meluangkan waktu untuk sebentar saja sarapan bersama
seperti keinginan Mama? Padahal, dulu saat aku hendak marah karena Papa selalu sibuk sampai
tidak punya waktu untukku, Mama pasti selalu membela Papa. Mama selalu bilang padaku agar tidak marah pada Papa. Mama akan dengan sabar menjelaskan padaku kalau Papa sibuk bekerja untukku, untuk keluarga kita. Tapi, kenyataan yang ada malah Papa bekerja sampai lupa keluarga.Jadi, sekarang sudah boleh kan aku marah pada Papa?
Tak berselang lama kudengar pintu kamarku dibuka. Perlahan kudengar juga suara tapak kaki mendekat ke arahku. Suaranya pelan, penuh kehati-hatian. Aku belum menoleh, tapi bisa dipastikan kalau itu Mama.
Tidak tahu sudah berapa lama aku memandang lurus ke arah jendela, tapi baru kusadari ternyata hujannya sudah mereda. Sesaat setelah itu, terasa jika ada seseorang yang sedang berdiri di dekatku dan kemudian dengan perlahan duduk di sebelahku. Aku belum mau menoleh ke arahnya, meskipun sedari pintu kamar dibuka sudah kupastikan bahwa itu Mama.
Kalau tadi suara rintik hujan yang mengisi penuh ruangan ini, kini berganti suara jarum jam yang terdengar sangat nyaring seakan memekik telinga. Tiap detiknya terasa lama, seakan kecepatannya diperlambat beberapa kali lipat. Sesak.
Kami saling diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya Mama berucap sambil terisak, "Maafkan Mama, Sayang."
Deg...
Tuhan, suara Mama membuat dadaku jadi semakin sesak, nafasku kacau, air mataku kembali mengalir. Jangan menangis, Mama. Tolong, berhenti menangis.
"Jangan benci Mama, maafkan Mama," suara Mama kembali mengisi seisi ruangan. Suaranya
semakin lirih. Mama, aku tidak pernah benci Mama, aku selalu sayang Mama. Selanjutnya,
hanya isak tangis Mama yang terdengar. Aku melepas rengkuhan di lututku lalu menoleh kearah
Mama."Bukan salah Mama. Ini semua terjadi karena Papa. Papa yang menghancurkan semuanya," ucapku bergetar dengan tangan yang mengepal erat.
Mama yang tadinya menunduk kini menatap penuh ke arahku. Kulihat wajahnya pucat, matanya sembab. Kami saling menatap untuk beberapa saat, lalu dengan lembut Mama meraih kedua tanganku.
"Maafkan Mama, maafkan Papa. Maaf sudah menjadi orang tua yang buruk. Jangan hukum Mama dengan membenci Mama. Jangan, Sayang. Jangan. Kamu satu-satunya alasan Mama untuk terus menjalani hidup apapun masalahnya."
Aku tidak mampu menjawab. Lidahku kelu dan air mataku mengalir dengan semakin deras.
"Sayang, ini sudah menjadi keputusan akhir dari Mama dan Papa. Kami sudah lelah bertengkar, karenanya kami memilih berpisah. Maaf. Maaf karena menjadi orang tua yang egois dan melukai hatimu." Perkataan Mama membuat dadaku jauh lebih terasa sesak, badanku gemetar. Bahkan, di saat seperti ini Mama masih membela Papa.
"Ma, kalau Papa enggak selalu sibuk kerja, keluarga kita pasti baik-baik saja. Papa egois, kan, Ma? Ini salah Papa yang untuk sekadar sarapan bersama saja Papa enggak bisa. Aku benci Papa!" seruku pada Mama.
Badan Mama menegang, genggamannya melemah. Sedetik kemudian, Mama menatapku dengan lembut. Diraihnya kedua pipiku dengan kedua tangannya.
"Bukan, Sayang, bukan. Bukan salah Papa. Jangan benci Papa. Perpisahan ini atas kehendak Tuhan. Kamu jelas tahu kalau setiap hari Mama dan Papa bertengkar. Selesai bertengkar,
bukannya berdamai, Papa malah pergi sementara Mama mengurung diri. Ini enggak baik untuk
Papa, Mama, dan kamu juga. Kami berpisah karena itu jalan satu-satunya agar kami bisa
berdamai. Meskipun Papa dan Mama berpisah, tapi rasa sayang untuk kamu enggak akan pernah berubah. Kamu tetap anak kesayangan Papa dan Mama. Maaf jika keputusan ini membuat kamu marah dan kecewa. Maaf, Sayang."Ucapan Mama seakan menghantam jantungku. Benar, Mama pasti lelah setiap hari harus bertengkar dengan Papa. Keluargaku tidak akan bahagia jika terus dipaksa bersama. Sesuai
ucapan Mama, perpisahan ini atas kehendak Tuhan agar Papa dan Mama bisa berdamai, agar tidak ada lagi pertengkaran yang sungguh rasanya sangat melelahkan dan menyakitkan.Perlahan kuraih kedua tangan Mama yang mengelus pipiku, lalu kutatap mata cantiknya yang sendu, "Mama, berhenti minta maaf. Bukan salah Mama. Aku memang enggak baik-baik saja. Hatiku bahkan sangat hancur karenanya. Tapi aku mau mencoba kuat demi Mama, bersama Mama," ucapku lembut.
Mama tidak menjawab melainkan menghapus jejak air mata di pipiku. Di kecupnya keningku dengan sayang, lalu dipeluknya aku dengan sangat erat.
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mau mengerti dan menjadi kekuatan untuk Mama," ucap Mama disela pelukannya. Aku mengangguk dan balas memeluk Mama dengan lebih erat.
Di hari itu, di kondisi masih dalam rengkuhan Mama, aku menyadari satu hal. Dulu, aku pernah berdoa agar Mama dan Papa berhenti bertengkar. Sekarang, Tuhan mengabulkannya. Mama dan Papa tidak akan bertengkar lagi karena mereka sudah memutuskan untuk berpisah. Karena itu, aku tidak boleh berlama-lama larut dalam kesedihan dan kekecewaan ini. Sebab, perpisahan Mama dan Papa adalah jawaban Tuhan atas doa yang selama ini aku panjatkan.
Dan untuk Mama, jangan menangis lagi. Tangisan Mama lebih menyakitkan dibanding sakitku
sendiri. Tangisan Mama adalah hal yang paling kubenci di dunia ini. Aku ikhlas jika berpisah dengan Papa, Mama jadi bahagia. Jangan khawatirkan aku, karena aku..Aku akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
Short StoryKumpulan cerita pendek yang aku tulis sendiri. Cerita tentang apa dan siapa saja yang ingin aku tulis dan bagikan. Semoga teman-teman yang membaca bisa menyukainya. Luv, Ulfirst.