07

338 70 5
                                    

"Pagi, Pak Yosda."

Pria berumur itu langsung mengangkat kepala, matanya menyipit guna mengetahui sosok yang menyapanya dari jarak pandang sekian. Riak wajahnya berubah cerah, tubuh yang sempat membungkuk langsung berdiri tegak. "Mbak Sona!"

Sona melampaikan tangan sambil mendekat dengan langkah besar.

"Sudah lama nggak ketemu, Mbak," sambung Yosda, saat perempuan itu berdiri di dekatnya.

"Gimana mau ketemu, aku biasa ke sini malam, Pak. Bapak, kan, udah pulang jam segitu," ungkap Sona dengan senyum sopan. "Bunga baru, ya?" Tangannya menunjuk bunga matahari yang ditaruh pada gerobak lori.

"Ini." Yosda menunjuk lubang yang digalinya beberapa waktu lalu dengan ujung sepatu." Bunga krisan di bagian ini banyak yang mati. Jadi, Bu mentari minta diganti saja sama bunga matahari."

Sona bergumam panjang dan manggut-manggut. "Aku aja yang tanam, Pak."

Kedua alis Yosda terangkat. "Jangan, ah. Nanti tangan Mbak kotor."

Sona mengangkat kedua tangan yang berbalut kaus tangan, kemudian menyentuh topi jerami di kepalanya. "Aku emang udah niat buat bersih-bersih di sini. Lagian udah lama nggak jenguk hasil karya ibu."

Yosda tersenyum dan menurunkan bunga matahari yang tersisa pada gerobak lori. "Mbak tahu caranya?"

"Tahu, kok. Udah diajarin ibu." Sona duduk pada kursi plastik yang tersedia. Dia mengambil satu bibit, merobek polybag, dan hati-hati memasukkan bunga tersebut ke dalam lubang. Menekan dan menepuk-nepuk tanah agar lubang tertutup sempurna.

Senyuman masih terpasang pada wajah Yosda, semakin melebar saat Sona melakukan pekerjaannya dengan baik. "Kalau Mbak capek, bilang saja. Nanti saya gantiin." Pria itu bergeser ke petak bunga mawar dan membersihkan rumput liar.

"Keluarga Bapak apa kabar?" tanya Sona tanpa mengangkat muka dari bunga matahari yang kedua.

"Baik-baik, Mbak. Putri saya yang pertama udah nikah. Yang kedua baru diterima kerja."

"Wah... Bapak keren."

Yosna tertawa kecil, menghentikan pekerjaannya guna menatap Sona. "Ini semua karena ibu Mbak Sona. Kalau dulu beliau ndak ajak saya kerja di sini, anak-anak saya mungkin hanya lulus SMA. Bagaimana caranya sekolahin anak tinggi-tinggi dengan penghasilan kuli panggul di pasar."

Sona terharu mendengar cerita tersebut. Walaupun hidup mereka biasa saja, tapi ibunya selalu mengajarkan untuk membantu orang-orang yang kesusahan, hal baik pasti akan mendatangkan balasan yang baik pula, katanya.

Sebelumnya taman itu hanya lahan kosong yang ditanami rumput jepang dan beberapa pohon cemara. Ibunya memang sangat menyukai bunga, kalau pulang dari pasar beliau pasti membawa satu atau dua pot, menaruhnya pada teras paviliun. Lama-lama koleksinya semakin banyak, warna-warninya memanjakan mata. Hingga akhirnya Om Cakrawangsa memberikan lahan tersebut untuk menyalurkan hobi ibunya.

Hari demi hari ukuran tamannya meluas, diisi berbagai macam jenis bunga. Ibunya jelas kewalahan harus mengurus sendirian, karena dia masih punya tanggung jawab di rumah utama. Om Cakrawangsa memutuskan menambah pekerja untuk mengurus taman tersebut dan menyerahkan segala kuasa pemilihan karyawan baru itu pada ibunya. Tidak butuh waktu lama, sang ibu membawa Pak Yosda sepulang dari pasar.

"Itu karena Bapaknya baik, makanya dibantu sama Tuhan." Sona menatap Yosda dan melempar senyum. "Kenapa Bapak nggak pensiun? Anak-anak Bapak juga udah bisa membiayai keperluan rumah, kan."

"Anak saya udah pernah minta. Kata mereka saya udah tua, harusnya santai saja di rumah. Tapi, rasanya ndak enak, mungkin karena kebiasaan kerja makanya tinggal di rumah jadi bosan," jelas Yosda sembari mengaduk-ngaduk tanah untuk menggemburkan.

Setelah Kita Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang