"Mah, bangun yuk! Sarapannya udah siap."
Bima mengecup kening Lyora dengan lembut. Sesungguhnya ia tidak tega membangunkan istrinya yang sedang mengandung itu. Namun Ibu dan anak-anaknya sudah menunggunya di meja makan.
Lyora bergerak dalam tidurnya. Ia menguap sambil mengusap matanya dan memaksa diri untuk membuka mata, "sekarang jam berapa, Mas?"
"Udah jam enam, Sayang," jawab Bima sambil menciumi pipi Lyora, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya di pagi hari. "Ibu dan anak-anak udah menunggu di bawah," lanjutnya.
"Mas...." panggil Lyora lirih.
Mendengar nada bicara Lyora yang lesu membuat Bima sedikit cemas, "kenapa Mah? Kamu mual? Mau muntah?"
Lyora menggelengkan kepalanya. Ia justru menarik Bima ke dalam pelukannya. Di pagi hari yang dingin seperti ini, dirinya butuh kehangatan. Bukan segelas teh hangat melainkan pelukan dan sentuhan dari suaminya.
"Kamu mau sarapan di kamar? Biar aku bilang dulu ke anak-anak dan Ibu supaya mereka-"
"Aku cuma mau dipeluk, Mas," ujar Lyora manja. "Aku pengennya kamu," bisik Lyora saat Bima sudah jatuh memeluknya.
Bima hanya bisa menelan salivanya sendiri. Ia sudah cukup belajar dari pengalaman untuk mengontrol nafsunya terlebih ketika Lyora tengah mengandung. Tak ingin lagi ia kehilangan calon buah hatinya untuk kedua kali. Kecelakaan kemarin biarlah menjadi yang terakhir baginya. Sungguh Bima tidak ingin membuat Lyora larut dalam kesedihannya.
Sepuluh menit sudah Bima memeluk Lyora yang begitu memohon untuk itu. Biasanya akan lebih lama dari itu, sayangnya mereka sudah ditunggu di meja makan. Hal itu membuat Bima terpaksa menyudahi pelukannya pada Lyora. Karena tidak ingin membuat Lyora tersinggung, Bima pun menjanjikan satu hal, "pelukannya dilanjut nanti ya, Mah. Biar anak-anak berangkat sekolah dulu."
Bima membantu Lyora untuk beranjak dari tidurnya. Tak lupa ia mengingatkan Lyora agar mengenakan bra-nya sebelum mereka turun ke meja makan. Perut Lyora yang sudah membuncit tentu saja membuat ruang geraknya terbatas. Selain itu, Lyora pun masih lemas sehingga meminta Bima untuk membantu mengaitkan bra-nya di punggung.
"Thank you, Mas Bima Sayang," Lyora mengecup pipi Bima sebagai hadiahnya.
Bagaikan sang permaisuri, Lyora memeluk lengan suaminya sepanjang menuruni anak tangga dari lantai tiga tempat kamarnya berada. Begitupun dengan Bima yang sangat hati-hati menuntun Lyora menuruni satu per satu anak tangga menuju lantai bawah. Ketika Bima dan Lyora hampir sampai pada anak tangga terakhir, salah satu anak mereka meneriakinya, "Mama, ayo buruan! Aa udah laper...."
"Aa.... enggak boleh teriak kalau bicara sama Mama. Enggak sopan tahu!" tegur Khalid kepada adiknya.
"Abisnya Mama lama!" Ryan merajuk, "aku kan udah laper, Kak!"
"Sabar, Ryan......" Mirna membantu menenangkan cucunya.
Lyora tak segera mengambil hati ucapan anaknya tadi. Ia justru merendah hati, "Ryan Sayang, maaf ya kalau Mama lama."
"Loh, adek Gibran kemana?" tanya Bima ketika tidak mendapati putra bungsunya di meja makan.
Giffari yang sedang sibuk dengan ponselnya kemudian mendengus kesal, "udah, Pa, biarin aja. Kita makan duluan aja."
"Adek lagi pup, Pa. Biar Khal susul ke kamarnya dulu ya."
Sambil menunggu Khalid memanggil si bungsu, Mirna bercengkrama sebentar. Ia menanyakan keadaan Lyora yang sempat mengalami morning sickness hebat kemarin. Sementara Giffari dan Ryan menekuk wajahnya muram karena harus mengulur waktu sarapannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAK-ANAK BIMANTARA
General FictionHi, Hello! Selamat Datang di Sekuel Kali Kedua! Sebuah cerita tentang keluarga bahagia. Senang rasanya dapat membagi kisah penuh canda, tawa, sedih, kesal, amarah dan berbagai emosi yang menguras jiwa raga. Semoga kelak kisah anak-anak Bimantara...