kalau diberi kesempatan, saya akan ajak kamu ke kedai kopi yang jaraknya 5 menit dari rumahku.
disana kita bertemu satu sama lain, kembali. kedai kopi itu pernah jadi kandidat sebagai tempat kita bertemu. jika diberi kesempatan lagi, saya akan tumpahkan semua pikiran saya terhadapmu. pikiran telah menggangguku sejak perpisahan kita yang lalu.
tapi sepertinya harapan saya ini tidak mungkin terjadi ya?
saya menuliskan apa yang ada di otak saya. kamu dapat membacanya dan memberikan sudut pandangmu. barangkali, aku yang salah.
iya—perasaan saya masih sama, tidak berubah kok. empat tahun ya? atau lebih? otak saya bilang berhenti mengejarmu di tahun ketiga. namun ternyata, hati saya masih bergumul berjuang mengejarmu kembali walau tanpa suara sampai di tahun kelima. lanjut atau tidaknya saya juga tidak bisa ramalkan.
berani saya bersumpah, saya tak tahu bagaimana perasaan kamu hingga hari ini. ah, tidak—dari awalpun saya juga tidak paham. kamu sih, memberi sinyal yang campur aduk. saya ini berpikirnya kadang lambat, mana bisa langsung paham kalau kadang hati saya dibuat berdebar dan kadang dibuat gelisah? tidak tenang.
tahun itu, tahun yang sama ketika kita bertemu ternyata jadi awal yang cukup pesat bagiku. kamu tahu perasaan saya? kamu tahu darimana? kok sampai berani menghubungi saya untuk sekadar menyapa? saya memang lemparkan sinyal, tapi siapa sangka ternyata kamu lihai juga menangkapnya. bincang ringan sampai kamu berani ajak saya untuk bertemu.
kamu tau lelahnya menahan pipi yang terasa pegal akibat terlalu banyak tersipu? tapi sepertinya kamu enggan bertanggung jawab ya. sampai sesudahnya pun saya pusing ingin kembali bertemu, yang sampai sekarang saya belum menemukan caranya.
kamu bersedia habiskan makanan saya kala itu, sampai saya tidak enak hati. padahal sudah saya tawari di awal. pegawai kedai itu memberikan 2 garpu untuk seporsi makanan yang kupesan. terlalu berinisiatif, kata saya. padahal kita juga bukan apa-apa, kan? kamu juga pakai memuji kukis buatan saya. kamu itu maunya apa?
nyatanya rasa bahagia yang kau beri cepat hilang ya? pagi di awal tahun baru kamu buat saya menangis. hanya sebab ketikanmu yang asal itu, saya sampai mengadu ke tiga kawan baik saya. kamu main-main ya? atau dari awal saya memang cuma jadi bahan penghilang suntukmu saja?
habis napas saya, saya pakai untuk menangis entah berapa malam.
apa saya terlalu jujur?
apa saya hambar?
apa saya menggelikan?
apa saya bodoh?
apa saya aneh?
apa saya jelek?
apa saya terlalu menjadi diri sendiri?saya potong helaian rambut dan kulit saya, entah berapa banyak. sampai hati saya kecewa dengan diri sendiri. kata kawan saya, kamu pria brengsek.
dan saya setuju.
habis lebur mimpi saya untuk bertemu kembali dan bercerita bersamamu.
setelah saya menangisi kamu pun, kamu masih bisa menyapa kembali. seolah tak tahu apa yang kamu lakukan. atau memang begitu? mengetiknya tidak pakai hati? saya tanggapi pun kamu anggap itu angin lalu, kan?
otak saya memang marah, saya dipintanya untuk berhenti menyambutmu. saya sibukkan diri, bertemu dengan banyak orang hebat di luar sana. tapi hati siapa yang bisa bohong? kadang kupu-kupu itu masih mampu sampai ke perut, walau akhirnya tak sanggup naik ke kepala.
saya abaikan.
saya berusaha abaikan.
saya berhasil mengabaikan.perlahan loh! sampai saya merasa menang karena perbincangan kita berakhir saat hari raya. yang tak lama kemudian saya pun sadar, saya kalah ya?
tiba-tiba kamu sudah punya seorang yang baru. di bulan lima atau bulan enam? ah, siapa peduli. yang saya tahu, banyak juga waktu yang kamu habisnya dengan orang itu. yang saat kamu jadi kekasihnya, dia belum legal ya?
saya tidak tahu bagaimana urusan kamu dengannya. tapi saya tahu, khalayak sedang sadar akan tingginya child grooming saat ini yang juga membuat saya berpikir, wah bisa juga ya? seorang yang saat itu berada di semester akhir, bersiap untuk sidang, tiba-tiba punya hubungan dengan siswa sekolah menengah atas yang bahkan belum 18 tahun. saya jadi takut.
saya jadi tahu, kenapa kamu tidak memilih saya? saya mudah menjaga diri dari orang manipulatif. saya bukan orang yang inosen, saya juga tidak bisa menuruti kata-kata orang yang merasa punya kuasa.
saya tidak bisa kamu manipulasi.
walaupun saya kadang masih menangisi sekian banyaknya waktu yang saya gunakan untuk menyayangimu, saya berterima kasih pada Tuhan. kuasa-Nya mampu membuatmu menjauh dariku. entah hingga kapan jarak ini, tapi semoga kamu dapat menjadi seorang yang lebih baik (walaupun menurutku kamu sempurna).
walau gagal, saya nobatkan kamu sebagai cinta pertama saya. terima kasih sudah mengajak saya menikmati hari itu
lagi—saya menuliskan apa yang ada di otak saya. kamu dapat membacanya dan memberikan sudut pandangmu. barangkali, aku yang salah. aku siap mendengar, namun aku perlu bersiap.
terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
kedai kopi
Romancenaskah ini ditulis berdasarkan apa yang saya alami secara pribadi. kalau ia membacanya, silahkan. tulisan ini berisi tentang dirinya, yang terjadi pada kami di tahun 2020. kalau sudah membaca, harap lapor! terima kasih