Tak kala sunyi senyap
Gema itu datang
Sayup-sayup memang
Namun menenangkan..."Nada Bianabila?" Aku menoleh
"Gema?" Dia tersenyum. Ditariknya bangku yang sedari tadi kosong. Lalu kami berhadapan. Nyatanya dia memang seindah itu. Jas hitam dipadukan dengan dasi senada dengan motif kotak nuasa biru dark samar namun mengkilap, dipadu dengan dalaman kemeja biru muda sangat harmonis dengan kulit putihnya. Dan rambut hitamnya disisir rapih tidak berpomade tapi tetap tertata.
"Kamu udah lama nunggu?" Tanyanya sambil mengaduk es lemon tea yang aku pesannkan untuknya. Sejujurny aku hanya random saja. Mungkin di cuaca yang cerah ini dia ingin yang segar-segar.
"Belum begitu lama. Santai aja," ucapku kikuk
"Oh iya. Thanks lemon teanya." Ucapnya lalu meneguk seperempat gelas lemon tea itu.
"Kalau gitu gimana kita mulai dari perkenalan? Namaku Gema. Selebihnya kita bisa saling mengenal satu sama lain. Sambil jalan aja. Kamu ga keberatan kan?" Ujarnya. Aku mengganguk tanda mengerti.
"Sebenarnya aku ga mengharapkan perjodohan ini terjadi. Tapi kalau kamu setuju, aku akan setuju. Tapi kalau kamu ga setuju. Terimakasih berarti kamu bantu aku," Ucapan Gema barusan menyadarkan aku dari kehaluanku dengan karismanya.
Gema tidak ingin perjodohan ini, itu kesimpulanku. Tapi dia masih berbaik hati dengan tidak terang-terangan menolak. Dia menyerahkan keputusannya padaku. Tapi harapannya aku sebaiknya tidak setuju.
Jujur aku sangat bingung harus membalas berkata apa? Saat Ayah dan Om Wikarsa membuat perjodohan ini. Aku belum cukup besar untuk mengerti. Namu setelah dewasa Ayah sudah tidak ada untuk aku tanyai. Sedangkan ibuku, begitu terpukul dengan kepergian ayah.
Ya Tuhan aku harus bagaimana?
***
Tetesan hujan yang sejak tadi perlahan membasahi bumi, kini sangat bersemangat menemaniku dalam kegalauan. Beruntung atap halte ini begitu lebar sehingga aku tak kebasahan menunggu bus.
Setelah perkataan Gema tadi aku memutuskan untuk pamit pulang saja. Karena untuk sekarang aku tidak begitu bisa berpikir jernih. Hati dan otakku begitu keruh.
Kutengadahkan satu tangan mencoba menggapai hujan yang sempat mampir di atap halte. Nyaman sekali. Seakan hujan mengerti, keadaanku saat ini. Keadaan yang ingin menangis tapi tak mampu lagi.
Kembali teringat perkataan Om Firman pengacara Ayah dulu tentang hutang-hutang bisnis ayah setelah meninggal dan juga perkataan Om Wikarsa tentang perjodohan ini.
"Pak Rama memiliki hutang-hutang bisnis yang belum terbayarkan walaupun perusahaan berikut harta bendanya terjual. Tapi Pak Rama menitipkan sejumlah warisan kepadamu. Berupa Asuransi yang bisa dicairkan setelah kamu menikah dengan Gema. Saya rasa asuransi ini bisa untuk menutupi hutang-hutang ayahmu. Dan Pak Wirakarsa juga mengiyahkan jika memang dia memiliki janji dengan Pak Rama sewaktu dulu. Sehingga akan membantu."
"Tenang saja, Nada. Om akan menjaga kamu. Ayahmu telah menitipkanmu dengan Om, tante dan Gema."
Om Wikarsa memang sahabat Ayah sejak kecil. Dahulu Ayah sempat membatu usahanya. Sedangkan Gema. Aku sedikit lupa-lupa ingat tentang Gema. Sepertinya saat masih kecil aku pernah bertemu anak laki-laki tidak jauh usiannya denganku. Tapi itu hanya sesekali. Tak sampai mengenal satu sama lain.
Grogol! Grogol!
Suara nyaring kang kenek itu membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku memasuki bus, agar hujan tak segera membasahi bajuku.
Hari hujan ini bus begitu padat, saat dihalte tadi aku jadi teringat Ibu. Jadi aku memutuskan untuk menengok ibu. Sudah hampir sebulan aku tidak mengunjunginya. Dari halte ke RS tak begitu jauh hanya sekitar 5 sampe 10 menit.
"Sumber Waras kiri ya, bang!"
Tuk!
"Aduh!"
Ternyata sang supir berhenti tepat dijalan belubang yang tertutup genangan air. Jadinya basah. Lengkap sudah kesialanku hari ini. Sudah ketemu Gema, kehujanan dan kecebur becekan. Huft.
Sebelum bertambah lagi kesialanku aku bergegas memasuki rumah sakit.
Lantai keramik putih khas rumah sakit langsung menyambutku. Disekeliling ada perawat yang sedang bekerja merapihkan selimut dan obat-obat.
Beberapa juga terlihat sedang mengantri."Mba Nada!"
"Eh suster Lidia," balasku saat melihat siapa yang memanggil. Suster Lidia adalah suster yang merawat Ibu. Beliau amat baik. Selalu mengabari perkembangan ibu melalui WA.
"Ibu abis makan Mba. Alhamdulillah. Tapi kemaren sempat ngamuk malam. Untuk masih ada dokter Andre."
"Oh iyah? Maaf jadi merepotkan suster. Makasih ya sus. Oh iya dokter Andre masih ada?"
"Baru aja pulang, Mba. Ya udah silakan ya Mba. Saya mau lanjut lagi." Ujar Ramah suster Lidia dan berlalu pergi.
Aku melangkahkan kembali kakiku menuju ruang 603. Menapaki ubin-ubin putih ini dengan pikiran yang sangat kalut. Kata suster Lidia Ibu mengamuk lagi semalam. Setiap Ibu mengamuk pasti dia sedang ingat Ayah.
Karena Ibu adalah saksi kunci utama kecelakaan itu terjadi. Tapi ia begitu amat traumatis dan depresi hampir setiap hari teriak dan mengamuk. Hingga suatu hari Om Firman menyarankan aku untuk membawa Ibu ke rumah sakit ini. Agar Ibu bisa tertanganin dengan baik.Tess!
Air mata ini tak kuasa lagi. Hari ini begitu kalut. Tapi saat aku lihat Ibu yang hanya terdiam melihat ke arah jendela itu semakin membuatku hanyut. Tanganya di borgol ditempat tidur. Ia pun hanya berbaring lemas dan hanya melamun.
"Assalamualaikum,Bu. Ini Nada. Gimana Ibu kabarnya?"
Ibu tak bergemih. Hanya kelopak matanya mencoba berkedip. Tapi tatapannya masih kosong seperti pertama kali aku melihatnya setelah kecelakaan itu terjadi.
Aku peluk Ibu.
Semakin Erat
Dan Semakin pecah air mata ini
Semakin hancur pula hatiku****
Hatiku luruh
Pertahananku Runtuh
Air mata yang tak mesti jatuh
Terlanjur jatuh
Meninggalkan isak
Meninggalkan bekas
Meninggalkan hati yang tak utuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Untukmu
General FictionSemua orang memiliki standart bahagia masing-masing. Untuku lulus kuliah, bekerja dan dapat penghasilan yang dapat membantu Ibu dan Kakek, itu sudah membuatku bahagia. Tapi salah satu alasan bahagiaku hilang. Dan berganti kehidupanku yang berubah d...