Kita di Masa Depan yang lain

1.4K 185 23
                                    


Dia memohon dengan segenap hati bahwa darah yang bercucuran ini bukan dari kekasihnya.

Ia menyaksikan tubuh itu bergetar sebelum jatuh ke tanah yang bertumpahkan darah. Beberapa percikan darah tersebut mengenai tubuhnya di kala ia menggapai dirinya yang terjatuh.

Mata terbelalak.

Kata-kata tertahan di bibir.
 
Seketika, ia merasa setengah jiwanya tercabik-cabik. Detik demi detik. Terasa dingin di awal lalu menyiksa lebih dari kematian itu sendiri.

Air mata jatuh di pipi. Bersamaan dengan sebuah teriakan memanggil nama terkasih.

NARUTOOOOOOOOOO!”



XXX




“Aku pulang dulu, Guru Kakashi," Naruto melambaikan tangan lesu ke Hokage Keenam yang duduk di belakang meja. Lelaki pirang itu memakai celana panjang orange dengan baju panjang hitam. Hokage berkata, "Ajak anak-anakmu ke sini sesekali."

Telah lewat 5 tahun setelah Naruto kembali ke masa dimana dia berasal. Dia menikah dengan Sasuke dan sekarang sedang dalam didikan Kakashi untuk menjadi Hokage selanjutnya setelah melahirkan anak kembarnya, Menma dan Suma. Tahun lalu, Yuma, anak ketiga, juga lahir. Biasanya, jika bukan Iruka yang membantunya merawat mereka, maka ia akan meminta bantuan Sakura atau Hinata atau Ino.

Naruto nyetir dan berpendapat, "Kalau mau anak-anak, lamar Guru Iruka dong. Kan sekarang Orochimaru sedang mengembangkan lagi jurus untuk membuat laki-laki hamil kayak dulu berdasarkan gulungan medisnya Kakek Shodaime? Masih hilang tuh dari ruangan dimana seharusnya gulungan itu ada."

Kakashi terkekeh, “Kau sadar itu rupanya.”

“Tentu saja,” ia senyum bangga, “Aku kan bakal jadi Hokage! Aku harus tahu dong isi gulungan-gulungan dari pendahuluku."

"Santai, Naruto. Masih banyak yang harus dipelajari," sang Hokage mengingatkan.

Naruto hormat, "Siap!" Lalu, ia melangkah ke pintu dengan senyuman, "Aku mau jemput anak-anakku dulu. Dah, Guru Kakashi!"

Di jalanan, matanya memperhatikan Gunung Hokage di mana para wajah Hokage dipahat di sana. Wajah Kakashi dengan maskernya pun sudah terpahat di sana dan Naruto membayangkan wajahnya suatu hari nanti akan dipahatkan juga. Suatu hari nanti. Latihannya lebih susah dari bayangannya karena dia harus paham politik, budaya dan aspek sosial. Tidak hanya strategi di pertarungan atau pengetahuan akan jurus tingkat tinggi. Dia dapat banyak bantuan dari banyak orang dan merasa bersyukur akan itu. Naruto tak akan menyerah seberapa sulitpun yang ia harus pahami.

Ia melanjutkan langkah sampai berhenti di rumah Sakura. Ketika diketuknya, seorang bocah laki-laki membukakan pintu. Anak berusia 4 tahun itu nampak persis seperti seseorang ahli Taijustu di Konoha. "Paman Naruto!" Sapa anak itu dengan senyum.

Naruto membalas dengan senyuman juga, “Hai, Lee kecil, apa mamamu ada di dalam?"

"Ada siapa, Nak?" Tanya Sakura keluar dari rumah dengan Yuma di gendongannya. "Oh, Naruto," senyum Sakura, "Apa sudah waktunya jemput?"

“Ya,” ia tersenyum pada temannya berambut merah muda, tangan Naruto mengarah ke putra bungsunya dan Sakura memberikan bayi berusia satu tahun itu ke sang ayah. "Yuma rewel tidak hari ini?"

“Cuma waktu aku terlambat menyiapkan makanan ya, tapi selebihnya dia anak baik kok," jelas Sakura.

"Bagus," Naruto mencium pipi Yuma dan bayi pirang itu tertawa senang. "Terima kasih sudah membantu, Sakura."

Detik KebenaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang