Chapter 4

17 2 0
                                    

Kami melanjutkan kembali kegiatan belajar mengajar, walaupun tidak terlalu aktif untuk hari pertama. Jam sekolah telah usai, kumasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. Ada yang langsung pulang ke rumah, banyak juga yang masih mengobrol di sekitar sekolah. "Rumahmu di mana Fa?" Bintang yang terlihat ingin tahu itu menghampiriku. Aku pun menyebutkan rumahku di salah satu perumahan yang jaraknya agak jauh dari sekolah. Kata dia rumahnya searah denganku, hanya saja rumahnya lebih dekat jaraknya dari sekolah.

Ekhm... hehehe..

Ekspresiku menjadi datar karena sudah tahu apa maksud dari Ekhm-nya itu. "Tidak usah dilanjutkan, aku sudah tahu maksudmu. Yaudah ayo bareng aku pulangnya, tetapi aku hanya bawa satu helm saja.". Dia segera naik ke motorku dan kami pun pulang. Dia mengarahkan ke arah rumahnya. Di perjalanan dia bilang kalau tadi pagi dia melupakan uang jajannya yang tertinggal di meja belajar, dan akhirnya sekarang dompetnya menipis lalu ongkosnya kurang, karena itulah dia memintaku untuk mengantarnya.

Setelah aku menurunkannya di area perumahannya, aku pun segera pulang. Di halaman rumah, terlihat Nessa sedang duduk dan asyik membaca novel biru dengan sampul bergambar mata yang bola matanya diganti dengan bulan purnama itu, kepalanya merunduk mirip padi di sawah. lembar demi lembar dia pindahkan, entah sudah berapa lama dia membaca novel itu, jam pulangnya lebih cepat dariku. Terasa seperti angin lewat, dia mengabaikan salamku. "Sepertinya Seru banget novelnya, sampai salam kakak saja gak kamu jawab" Sindirku sembari menaruh sepatu di rak sepatu teras.

Kepalanya mendongak sedikit melihat ke arahku, dia melanjutkan bacaannya seakan tidak mempedulikanku. Aku rebut saja bukunya, mencari di mana letak seru dari novel itu. "Purnama di Matamu? Judulnya lebay sekali." Dengan cepat, tangannya kembali merebut novel dari genggamanku. "Bisa gak sih kak, sehariiii saja jangan ganggu aku dulu!" Dia marah, tapi tidak menakutkan karena tertutup wajahnya yang lucu itu. Aku mengiyakan saja, lagian aku juga ingin istirahat setelah delapan jam berada di sekolah.

Tepat jam tujuh malam, ayah masih belum pulang juga, kami pun makan bertiga lagi. "Bagaimana kak, hari pertama sekolah tadi?" Ibu bertanya dengan antusias. "Ya begitu deh, biasa saja. Teman baruku bermacam-macam, ada yang berisik, pendiam sepertiku, dan ada juga yang nyebelin kayak Nessa." Mataku melirik ke arah Nessa yang sedang menyuap nasi, wajahnya terlihat kesal. "Aku gak nyebelin tauuu!" Ucapnya sembari mengunyah. Selesainya aku segera pergi ke kamar, Nessa pun juga langsung mengambil kembali bukunya yang ia tinggalkan di depan tv ruang tamu.

Grup kelas ramai sekali, membicarakan jadwal pelajaran yang telah dibagikan. Besok pagi ada pelajaran Matematika, pelajaran yang paling tidak aku suka, tetapi aku masih bisa mengerjakannya kok. "Haduh, pagi-pagi bukannya menghirup udara segar, malah disajikan rumus-rumus menyebalkan" Ucap salah satu temanku di grup obrolan. Iya, matematika ada di jam pertama dan akan dilaksanakan dua jam pelajaran. Sebaiknya aku menyiapkan mental, menyegarkan pikiran agar besok bisa menghadapi pelajaran itu. Semoga saja gurunya tidak galak deh.

.........................

Ayah sudah memanaskan mobil dan siap pergi dengan Nessa yang sudah ada di dalam mobil. Pikiranku sudah segar, udara segar telah kuhirup sebanyak mungkin, tetapi semua itu seakan hilang saat mataku tak sengaja mengarah ke mobil. Nessa menjulurkan lidahnya, meledekku yang baru saja memakai helm. 

Saat kelas sudah mulai, guru matematika kami melakukan perkenalan, namanya bu Ida. Setengah jam pertama bu Ida masih menceritakan pengalaman mengajarnya di sekolah ini, katanya tahun lalu ada kakak kelas yang bernama Ravindra selalu saja telat masuk jam pelajaran ini. Tugas yang diberikan bu Ida juga katanya sering tidak ia kerjakan, pernah sesekali dia kerjakan, tetapi salah semua. Akhirnya bu Ida pun memberi hukuman agar dia berjoget di depan kelas sambil memegang kupingnya, kalau aku jadi dia sih pasti pikirannya hanya ingin pulang saja di detik itu.

Sekarang dia sudah di kelas dua belas, kata bu Ida, sebenarnya dia anak yang populer dan pintar, tetapi tidak untuk pelajaran matematika. Perbincangan itu pun telah usai sampai bu Ida berbicara "Oke, sekarang kita masuk ke pelajaran bab pertama ya". Semuanya kaget, kami kira hari ini hanya perkenalan saja. Setelah satu jam mengajar, ternyata bu Ida tidak galak dan asyik saat mengajar. Tadi si Bintang mengantuk dan tidak sengaja tertidur di mejanya. Aku sudah mencoba membangunkannya, tetapi dia menolak. Bu Ida berjalan kemari, mengambil minyak angin dari saku celananya. "Ssshhh" Bu Ida mengoleskan minyak angin ke kelopak mata Bintang dengan hati-hati. Efeknya perlahan-lahan membuat kelopak matanya panas. "Eemm, kamu ngapain sih Fa nyentuh kelopak mataku pakai pulpen, jangan ganggu tidurku dong" Bisiknya dengan matanya yang masih tertutup rapat.

"Panaaaaaaas, kamu ngolesin apa sih Fa?" Dia teriak menyalahkanku. Aku bilang saja kalau bukan aku yang melakukannya, tanganku menunjuk ke arah bu Ida. Bintang seketika diam, dan tetap menahan rasa panas. Mulutnya terbuka perlahan mengucapkan maaf karena sudah tidur di kelasnya. Semua tertawa melihat perlakuan bu Ida ke Bintang. "Kalau kamu tidur lagi di kelas ibu, keningmu akan ibu tuliskan rumus matematika dengan lipstick!" bu Ida kembali ke depan kelas dan melanjutkan kegiatan belajar mengajarnya. Bintang menyalahkanku karena tidak segera membangunkannya, "nyee... nyee....nyee, aku sudah membangunkanmu tahu sedari tadi!".

............................

Saat istirahat tiba, semua bergegas pergi ke kantin. "Lihat Fa, itu perempuan yang kemarin. Gak mau kamu ajak kenalan?" Kebetulan saat kami sedang melewati lorong kelas, ada perempuan itu sedang membaca novel di bangku depan kelas. Jarang sekali murid menggunakan waktunya untuk membaca buku daripada harus jajan camilan di kantin. Bintang mendorongku dengan perlahan, menyuruhku untuk berkenalan. Katanya aku harus pintar mencari topik pembicaraan, dia memberiku tips untuk melihat ke objek sekitar yang bisa menjadi topik pembicaraan. Padahal dia tahu sendiri aku tidak bisa memulai perbincangan, apalagi mencari topik pembicaraan. Tetap saja dia memaksaku untuk menjadi berani, ah apa boleh buat, akan kulakukan untuk membuat Bintang berhenti memaksaku. Kutengok ke belakang, Bintang terlihat bersembunyi dan menyemangatiku dari balik salah satu pilar pembatas. Aku gugup, mulutku seperti tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun.

Ekhm...

Perempuan kelas X1 IPA itu mendongakkan kepalanya, melihat kearahku sama seperti yang Nessa lakukan kemarin. "Kenapa?" Suaranya lembut sekali, aku menjadi tambah gugup. Keringat perlahan mengucur dari keningku. Sebentar, itu kan novel yang sama seperti punya Nessa, Purnama di Matamu! Mungkin aku bisa memulainya dari itu. "N-novelmu, sama seperti yang dibaca adikku. Memangnya seseru itu ya? Adikku bisa sampai lupa menjawab salamku karena buku itu" Tentu saja aku mengatakan kalimat itu dengan gugup dan terbata-bata.

"Iya, memang seru kok"

Krik... krik... krik

Tiba-tiba hening, aku tidak tahu harus membicarakan apa lagi. Bagaimana ini Tang, gara-gara kamu aku jadi canggung begini. Perempuan itu terlihat kebingungan melihatku canggung. Bintang mengucapkan sesuatu, tapi tidak terdengar olehku. Aku hanya bisa membaca gerakan mulutnya, sepertinya dia berbicara "Tanya namanya". Sialan, mau tidak mau aku harus bertanya namanya. "Hai, kamu gak apa-apa?" Dia melambaikan tangannya di depan mataku. "Ah, aku tidak apa-apa! Ngomong-ngomong, namamu siapa?" Aku kaget dan spontan bertanya namanya dengan cepat. Ini pertama kalinya aku bisa memulai perkenalan dengan perempuan, biasanya aku yang diajak berkenalan.

"Namaku Bulan. Sebenarnya kamu bisa melihat name tag-ku sih". Bagaimana bisa aku melihatnya ketika name tag-mu tertutup rambut panjang nan indahmu itu, Lan. "Ehh maaf.." Dia pun menyibakkan rambutnya ke belakang agar name tag-nya terlihat. Bukan name tag yang kulihat, melainkan wajah cantiknya yang semakin jelas ketika dia menyibakkan rambut. "Ssstt, Fa!" Bintang memanggilku dengan mengacungkan ibu jari ke arahku sembari tersenyum. "Maaf, sudah dulu ya Ndra, aku mau melanjutkan buku ini dulu".

Ehh, bagaimana dia bisa tahu namaku, oh iya aku lupa. Saking gugupnya aku melupakan kalau aku juga punya name tag yang terpasang di atas saku seragamku. Bintang menghampiriku, mengajak untuk melanjutkan perjalanan ke arah kantin. "Sampai nanti Lan, kamu bisa panggil aku Affa!!" Ucapku sembari dipaksa jalan ke depan oleh Bintang. Dia.. Maksudku Bulan, dia tersenyum saat aku menyebut nama panggilanku. Bintang memastikan kalau aku tidak apa-apa setelah apa yang terjadi karenanya. Katanya wajahku memerah, dia senang sekali melihat aku bisa mengajak berkenalan perempuan yang sedang dikagumi beberapa teman kelasku. Seperti sedang bermimpi, katanya. "Aku tahu kalau kamu pasti bisa berani juga Fa!".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang