Prolog

9 3 2
                                    

Malam itu, dinginnya salju memasuki sela sela kecil di atap rumahnya. Terlihat perempuan kecil yang "Terkutuk" meringkuk kedinginan di loteng tempat Jina beristirahat. Menutupi dirinya dengan kain tipis berharap dapat menahan dingin tersebut.

Jina, seorang putri bungsu di keluarga petani. Paras cantik dengan rambut panjang hitamnya, dan hazel sebagai warna matanya. Namun, dibenci semua orang karena kemampuannya yang bisa membaca hati manusia dan hewan. Jina dianggap sebagai 'Anak Terkutuk" oleh keluarganya. Untuk itu mereka menempatkan Jina di loteng, karena dianggap aib oleh mereka.

Tak lama kemudian, Jina terbangun karena mendengar suara yang meminta pertolongan. "Sakit sekali.. Aku tidak mau mati. Tolong aku..". Jina duduk dan terdiam, mengingat dari mana suara itu berasal sembari menatap satu satunya jendela berbentuk setengah lingkaran tersebut. "Apakah itu berasal dari sana?". Gumam Jina.

Jina keluar dari rumahnya dan berlari kearah suara tersebut. Satu persatu butiran salju mulai berjatuhan dirambut panjang Jina. Suara itu terdengar kembali, "Kumohon.. siapa saja tolong aku..". Jina menghembuskan nafas dari mulut. Jina sangat kedinginan. Namum ia tetap mencarinya.

Terlihat dari jauh sesosok kecil hitam yang tergeletak di hamparan salju. Semakin didekati, Jina percaya itu adalah seekor kucing berbulu hitam. Jina terdiam didepan kucing itu. Kucing itu terlihat memiliki nasib yang buruk seperti Jina, itulah yang dipikirkannya

Dan kemudian menggendongnya perlahan dengan mengelus kepalanya. "Tidak apa-apa kok. Tidak akan sakit lagi. Namaku Jina. Senang bertemu denganmu, Nay".

Tiba-tiba pandangan Jina menjadi gelap, hanya menyisakan warna hitam. Dan muncul suara Nay yang bergema di tengah kegelapan. "Tenanglah Jina. Kamu akan baik-baik saja. Jangan menangis dan bangunlah. Aku akan selalu disisimu Jina".

Suara Nay menyadarkan Jina dari mimpinya. Jina membuka matanya perlahan. Melamun sejenak tentang mimpi itu. Mimpi itu memutar kembali saat dimana ia menemukan Nay di malam bersalju itu. Pertemuan itu merupakan hadiah terindah untuk Jina. Karena kucing tersebut adalah teman pertama kalinya.

"Cepat lah bangun, dan seka air matamu". Suara itu terdengar dari jendela, itu suara Nay si kucing hitam. Jina duduk dan tersenyum ke arah Nay. Wajah Jina begitu cantik terkana silaunya matahari. "Iya Nay, makasih ya..". Jawab Jina.

Tak lama setelah itu, Kakak perempuan tertua Jina, Rumi. Berteriak agar Jina segera turun. "Jina! Bangun dasar lacur! Berapa lama lagi kamu akan tidur?!".

Jina bergegas turun agar kakaknya tidak lebih marah. Musim di awal tahun adalah musim salju, untuk itu Jina memakai selimut agar mengurangi rasa dinginnya.

Setibanya dibawah, terlihat sosok besar dengan wajah marahnya. Itu kakak Jina. Selimut Jina ditarik kasar dan dilempar ke lantai oleh kakaknya. "Apa apaan ini?! Kamu masih ingin tidur hah?". Setelah itu kakaknya memasang wajah jijik kepada adiknya itu sambil menutup hidungnya. "Kamu bau sekali, sana pergi mandi. Ini hari upacara kedewasaan. Kita harus hadir!", cemooh kakaknya.

Mendengar hal tersebut, Jina hanya bisa terdiam. Karena jika ia menyela maka Jina akan dipukuli olehnya. Karena kakaknya memiliki badan gemuk dan besar. Itu membuatnya bersikap semena mena. "Jawab aku! Dimana memangnya telingamu?!", teriak kakaknya. Dengan suara pelan Jina menjawab,"Iya aku akan bersiap".

Kakak Jina pergi sambil berkata "Hm! Dasar anak terkutuk.. Kenapa tidak mati saja kamu".

Upacara kedewasaan. Merupakan upacara yang dilakukan hanya di kota tempat tinggal Jina, Ekora. Upacara ini diadakan bagi anak laki laki dan perempuan yang berumur 19 tahun dan lahir pada tahun yang sama. Upacara ini dilaksanakan saat hari ketiga pergantian tahun. Tujuan dari upacara ini agar mereka menjadi orang dewasa yang baik.

Hari ini adalah waktunya upacara kedewasaan. Dari awal Jina enggan untuk datang. Karena ia tau, semua orang tetap akan membencinya. Namun, ia takut keluarganya marah.

Jina melihat dari dalam jendela rumahnya terdapat sumur di samping rumahnya. "Apakah disana?". Jina biasanya pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Karena ia tak punya kamar mandi ataupun tempat membuang kotoran. Namun karena hari ini masih bersalju. Itu akan terlalu dingin untuknya.

Akhirnya Jina mengambil air dari dalam sumur dan membasuh tubuhnya. Bukan kemauan Jina untuk mandi di sumur, namun ia tak bisa berbuat apa apa lagi. Jika ia menentang, hukuman akan menantinya.

Basuhan pertama, dingin menusuk sampai tulang Jina. Tubuhnya gemetar dan mulutnya terkatup katup kedinginan. Dia memaksa menyiram kedua kalinya. Tubuhnya memerah dan wajahnya semakin pucat.

Tiba tiba datang Nay sambil menyeret mantel hangat dengan mulutnya. "Hadiah", pinta Nay sembari menaruh mantel disamping Jina. Jina berjongkok dan mengelus kepala Nay dan tersenyum menahan dingin. "Nay aku senang melihatmu, darimana kamu mendapatkanya?", tanya Jina.

"Hadiah". Jawab Nay masih singkat. "Terima kasih ya.. aku akan memakainya". Jawab Jina dengan senyumnya. Seketika Jina melihat ingatan Nay.

Gill membantu seorang anak kecil yang akan tertabrak kereta kuda. Kemudian anak kecil itu bertanya, "Apa yang kamu inginkan? Terima kasih sudah menolongku". Tanya anak kecil tersebut.

Memang aneh berbicara dengan kucing, namun karena itu anak kecil itu wajar saja. Nay yang memahami bahasa anak kecil tersebut. Melihat sebuah mantel hangat di sebuah toko pakaian. Akhirnya ia membawanya menuju Jina.

Setelah melihat itu, Jina menggendong sambil mengeluskan pipinya ke Nay. "Terima kasih Nay sudah berbuat baik. Ayo kita berangkat ke upacara". Jina sangat senang memiliki Nay disisinya.

** Terima kasih sudah membaca **

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JeojuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang