"Bang Jovan bilang, tugas akhir sinematografi tahun lalu ... satu kelompok cuma dua orang. Ngeri nggak, tuh.”
Masih jelas dalam ingatan Ghaniya bagaimana Risa dengan muka seasam sayur basi mendumel perihal kabar burung yang Jovan–kakak Risa sekaligus kakel mereka–bawa, tentang tugas akhir mapel sinematografi. Kegiatan wajib kelas XI Keterampilan. Alternatifnya bisa membuat film pendek, poster, karya ilmiah, atau film dokumenter seperti yang buatan Jovan tahun lalu, mengusung bank sampah di kota mereka.
“Bagus, dong. Nanti kita bisa satu kelompok.” Yang ada di kepala Ghaniya, dia bisa menyelesaikan tugas akhir–banyak yang bilang gudangnya bikin mumet–bersama Risa. Meski harus mumet, paling enggak mumet bersama sahabat sendiri, kan?
“Nggak! Nggak! Nggak bagus!" Risa menggeleng.
"Pak Rizki khususon mengatur tugas pakai sistem acak. Pakai kocokan kertas gulung, kita ngambil berdasarkan presensi. Ngeri nggak, sih?” Risa menyentuh dadanya. Belum tiba waktu pembagian, aura kelam sudah menerpa. Siapa ya yang jadi partnernya? Risa suka overthingking, bagaimana kalau mereka enggak cocok dan gagal menyelesaikan tugas akhir? Gagal juga dapat sertifikat, dong.
Sementara Ghaniya menyimak sambil menyantap soto. Libur semester satu sudah usai. Tidak ada yang berubah begitu memasuki semester dua, kantin tetap ramai. Denting sendok dan mangkuk beradu. Teriakan minta dua porsi sampai minta es teh porsi jumbo memekak bagai orkestra pernikahan. Belum menjelang pukul dua belas, tetapi Ghaniya sudah bisa menyapa bau keringat gerombolan anak futsal yang duduk dua baris di depannya. Ramai-ramai memesan soto Bu Yus dan selusin es teh penghilang dahaga.
“Ngeri gimana? Bagus kali. Meski nanti kita nggak satu kelompok. It's okay, Sa. Yang penting usaha bikin gitu.”
Ghaniya menuding Risa dengan garpunya. “Temen-temen kita seru semua kali,” sambungnya. Senyum Ghaniya melebar. Sedikit berharap satu kelompok dengan Risa, sih. Walau mereka sama-sama masuk katagori siswi biasa-biasa saja. Namun, nggak masalah, yang biasa kalau bekerja bersama bisa luar biasa.
Risa menggeleng. Dia banting sendok pada mangkuk yang sudah bersih dan mengkilap karena minyak lalu merapat ke depan. “Lo nggak lupa kita punya temen yang namanya Baswara, kan?” tanyanya hati-hati.
Pandangan Ghaniya naik, memindai serius Risa. Baswara : teman satu kelasnya. Meski terlibat obrolan dengan Baswara mampu terhitung jadi, dungunya dia lupa bagaimana bisik-bisik tentang Baswara beredar. Dia berdehem, jantung Ghaniya kontan menggila, sekaligus di serang perasaan takut. Dia eja nama cowok itu pelan dalam hati.
Bas-wa-ra.
Ghaniya kerap mendengar: rumornya Baswara pecandu dan punya kehidupan gelap. Ada yang bilang pernah melihat cowok tersebut beberapa kali melipir ke bawah terowongan kereta untuk menemui seseorang bertubuh mengerikan. Ada juga yang memergoki dia merokok di belakang sekolah.
Namun, tidak satu pun rumor-rumor tersebut menyeretnya ke ruang bimbingan konseling. Entah karena guru ikut takut, atau rumor hanya sekadar berita bohong lewat saja. Tetap saja, Ghaniya menjadi salah satu siswi yang enggan berurusan dengan Baswara. Tidak-akan-pernah-mau.
“Memangnya ... kenapa dengan Baswara?” Padahal sudah tahu alasannya.
“Kalau tugas akhir pakai sistem kocokan, gue atau lo,” tunjuk Risa pada Ghaniya.
“Bisa jadi partner Bawara," imbuhnya.
Bisa jadi partner Baswara. Kalimat terakhir Risa pekan lalu–sebelum bel masuk menjerit–kembali menari dalam ingatan Ghaniya. Tangannya bergetar memegang secarik kertas bertulis nama yang cemas dia sebutkan. Ghaniya ingin mengumpat. Kenapa dari sembilan belas orang yang hadir di kelas sinematografi, hanya dia satu-satunya siswa yang mendapat kertas ini? Ghaniya takut-takut melirik cowok yang duduk pada bangku pertama paling ujung kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Mr. Dark Angel
Teen FictionBaswara menjadi murid paling tidak tersentuh di SMA Srikandi. Nggak punya teman. Ada yang bilang pernah melihatnya melipir ke bawah terowongan kereta untuk bertemu seseorang bertubuh mengerikan. Ada yang memergokinya merokok di belakang sekolah. Beb...